Tit. 3:1-7 : Luk. 17: 11-19
Kita beriman karena keselamatan itu hadir secara cuma-cuma dalam diri kita. Kita sungguh beriman bila kita tidak secara sepihak mencintai yang lain sementara di satu waktu yang sama kita juga membenci orang lain. Beriman itu penting. Yesus dengan tegas mengatakan hal itu ketika ia temui dalam diri orang Samaria. Dari kesepuluh orang kusta yang disembuhkan, yang kembali untuk menyatakan syukur hanyalah seorang. Ini bukti. Tingkat keberimanan kitapun pada akhirnya dapat ditakar dengan belajar dari pengalaman ke sepuluh orang kusta yang ditahirkan oleh Yesus.
Tidak mudah untuk mengetahui sejauh mana kita sebagai manusia selalu bersyukur. Bersyukur pada Tuhan atas kasih yang telah Ia limpahkan pada kita. Kesembilan orang yang disembuhkan dan tidak kembali untuk menyatakan syukurnya pada Tuhan adalah pribadi-pribadi yang tidak menyadari sungguh terhadap apa yang telah terjadi dalam diri mereka melalui Yesus. Dan memang situasi demikian juga masih sangat aplikatif dengan kepribadian kita zaman ini. Kita mengatakan bahwa kita adalah pengikut Kristus tetapi tindakan-tindakan kita tidak mencerminkan keikutsertaan kita sebagai pengikut Kristus.
Kita mengatakan bahwa kita adalah orang kristiani yang sangat beriman kepada Kristus. Tetapi bukti keberimanan kita yang paling kecil sekalipun akhirnya dipertanyakan. Terkadang kita hanya beriman bila kita berada dalam kesulitan hidup. Kita selalu memohon dengan mengatakan bahwa “saya sungguh mengimani Dikau Tuhan yang maha kasih” namun bila kita telah berhasil, iman akhirnya mendapat porsi yang kesekian dari sederetan kepentingan duniawi lainnya. Berkaca dari hal-hal sederhana ini, lantas apakah kita sungguh beriman secara baik dan benar?
“Orang asing” dalam hal ini orang Samaria lebih memperlihatkan iman yang benar kepada Siapa yang telah menyembuhkannya, (baca: Tuhan). Saat ini, kita ketahui bersama bahwa justru persoalan yang menguak ke permukaan adalah tentang perwakilan setiap anggota keluarga kristiani yang mengutus anak-anak mengikuti doa rosario dan orangtuanya justru berada di rumah. Atau sebaliknya. Akibatnya, kesatuan sebagai keluarga kristiani tergerus oleh arus perwakilan. Beriman bukan soal wakil/mewakili. Kesaksian iman justru dapat juga diperoleh selain dari individu yang bersangkutan tetapi juga dapat diperoleh dari komunitas kristiani yang lebih besar. Dalam hal ini ketika perjumpaan itu terjadi diantara sesama. Kekuatan itu akan semakin kuat dan akan mampu melahirkan iman yang semakin kokoh bagi setiap pribadi. Hal ini adalah secuil pengalaman yang tidak asing lagi didengar bahkan dialami sendiri. Selain tentang permohonan dikala susah. Dan tentang lupa yang akut untuk bersyukur pada Tuhan, manakala kesuksesan dan kesembuhan kita peroleh dari pada-Nya.
Keterangan foto: sepuluh orang kusta, ilustrasi dari estheryuliani.blogspot.com
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.