Kudus sejak kecil
Santo Óscar Arnulfo Romero y Galdámez, lahir di Ciudad, San Miguel, El Salvador pada 15 Agustus 1917. Ia adalah anak kedua dari tujuh bersaudara buah hati pasangan katolik yang saleh Santos Romero dan Guadaleupe de Jesus Galdamez. Oscar kecil dikenang telah menunjukkan ketertarikannya pada kehidupan religius. Ia selalu rajin ke gereja, rajin berdoa, dan sering berdoa berlama-lama dalam gereja setelah misa selesai. Pada usia tiga belas tahun Oscar masuk Seminari Rendah di kota San Miguel. Catatan di Seminari ini mengungkapkan bahwa ia pernah meninggalkan Seminari selama tiga bulan demi merawat ibunya yang jatuh sakit setelah melahirkan adik bungsunya (yang meninggal dunia sesaat setelah dilahirkan).
Lulus dari Seminari San Miguel, Romero melanjutkan studi ke Seminari Tinggi di San Salvador. Studi Teologinya kemudian dilanjutkan di Universitas Gregoriana Roma, di mana ia lulus dengan predikat Cum Laude pada tahun 1941. Akan tetapi Oscar tidak segera ditahbiskan menjadi imam. Ia masih harus menunggu selama setahun karena usianya lebih muda dari batas usia yang tentukan. Pentahbisannya baru digelar di kota Roma setahun kemudian tepatnya pada tanggal 4 April 1942. Tidak ada seorang pun keluarga dan kerabatnya yang bisa menghadiri misa pentahbisannya akibat Perang Dunia II. Setelah menjadi imam, Romero masih tinggal di Italia dan melanjutkan studinya hingga meraih gelar Doktor Teologi.
Menjadi Uskup
Pada tahun 1970, secara mengejutkan bapa suci paus Paulus VI mengangkat Oscar Romero menjadi Uskup Auksilier (Auxiliary Bishop atau Uskup Pembantu) untuk Keuskupan Agung San Salvador. Selanjutnya pada tahun 1974, ia ditunjuk sebagai Uskup Keuskupan Santiago de María, sebuah keuskupan di wilayah pedesaan yang miskin.
Pada tanggal 23 Februari 1977, Uskup Oscar Romero diangkat menjadi Uskup Agung San Salvador. Penunjukkan ini, walau disambut gembira oleh Pemerintah El Salvador, namun mengkhawatirkan beberapa pihak terutama kaum militer sayap kanan dan para pendukung Marxis. Reputasi Uskup Romero sebagai seorang yang dekat dengan kaum miskin papa, dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap agenda kaum Marxis yang gencar menyebarkan ideologi mereka pada kaum buruh dan petani di El Salvador. Uskup Romero juga dibenci oleh paramiliter sayap kanan karena selalu bersuara keras menentang berbagai aksi teror, intimidasi dan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan aparat militer terhadap rakyat miskin.
Pada tanggal 12 Maret 1977, Rutilio Grande SJ, seorang imam Jesuit yang aktif berkarya dalam pembinaan dan pemberdayaan kaum miskin papa di San Salvador, tewas terbunuh. Kematian sahabatnya itu berdampak besar pada Uskup Romero. Beberapa hari setelah pembunuhan keji tersebut, Romero berkata : “Ketika saya melihat padre Rutilio tewas terbaring di sana, saya jadi berpikir, ‘Jika mereka membunuhnya karena karya yang dilakukannya, maka saya pastinya berjalan di jalur yang sama’.” Ia berupaya sekuat tenaga mendesak pemerintah untuk menyelidiki kasus pembunuhan ini, tetapi permintaannya diabaikan. Pers nasional bahkan disensor untuk tidak memberitakan peristiwa pembunuhan ini. Namun pembunuhan ini sama sekali tidak menyurutkan langkahnya. Ia bahkan semakin lantang berbicara menentang berbagai pelanggaran hak asasi manusia seperti penculikkan, penyiksaan dan pembunuhan yang marak terjadi seiring semakin tidak menentunya situasi politik di El Salvador.
Pada tahun 1979, The Revolutionary Government Junta of El Salvador (Spanyol : Junta Revolucionaria de Gobierno, JRG) mengambil alih pemerintahan di El Salvador. Kediktatoran Militer ini berkuasa di tengah-tengah meningkatnya kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia oleh kelompok Paramiliter sayap kanan pro pemerintah dan gerilyawan komunis FMLN. Eskalasi kekerasan dua kelompok yang bertikai ini kemudian meletus menjadi Perang Sipil El Salvador.
Ditengah pertempuran dan perang Ideologi antara Pemerintah Junta Militer dan Gerilyawan Marxis FMLN, Uskup Romero memimpin Gereja Katholik El Salvador untuk tidak memihak dan tetap bersuara lantang membela umat yang menderita ditengah perang. Hal ini membuatnya semakin dibenci, baik oleh Junta Militer maupun oleh FMLN.
Perang terus berkobar, kekejaman dan teror terus berlangsung. Puluhan ribu orang tewas dalam perang ini dan jutaan lainnya menjadi pengungsi. Bapa Uskup dengan hati perih menyaksikan umatnya menjadi korban dan menderita berkepanjangan akibat perang. Ia kemudian mendanai dan mengorganisir berbagai relawan kemanusiaan untuk membantu para korban perang.
Kemartiran
Pada 23 Maret 1980 di San Salvador, Uskup Romero berkotbah dengan lantang dan memohon agar para tentara El Salvador, sebagai orang Kristiani, supaya lebih mematuhi perintah Tuhan untuk saling mengasihi, dan menghentikan aksi teror, penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan atas nama pemerintah. Tanggal 24 maret ia menghadiri rekoleksi yang diorganisir oleh orgnisasi Opus Dei, dan ikut dalam pertemuan bulanan para imam yang dipimpin oleh Mgr. Fernando Sáenz Lacalle.
Malam itu, Uskup Agung Romero merayakan Misa di sebuah kapel kecil di Rumah Sakit de la Divina Providencia, sebuah Rumah Sakit yang dikelola para suster Penyelenggaraan Ilahi. Ia tengah menyelesaikan khotbahnya dan melangkah dari mimbar menuju ke meja altar. Sebuah mobil merah berhenti di jalan di depan kapel dan seorang pria bersenjata turun dari kendaraan. Pria ini melangkah ke pintu kapel, dan melepaskan satu (mungkin dua) tembakan terukur yang tepat menembus jantung Uskup Agung Romero. Gembala umat ini terjungkal dihadapan altar dan tewas saat itu juga. Para pembunuhnya kemudian melarikan diri.
Uskup Oscar Romero kemudian dimakamkan pada 30 Maret 1980 di Katedral Metropolitan San Salvador (Catedral Metropolitana de San Salvador). Misa Pemakaman dihadiri oleh lebih dari 250.000 pelayat dari seluruh dunia. Seorang imam Yesuit, John Dear,SJ mengatakan, “Pemakaman Uskup Romero adalah demonstrasi terbesar dalam sejarah El Salvador, beberapa orang mengatakan dalam sejarah Amerika Latin.”
Sumber: Katakombe.org
Inspirasimu: Santo Turibius dari Mongrovejo : 23 Maret
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.