Tit 2:1-8, 11-14 : Luk. 17: 7-10
Tuhan, seberapa besarkah kami sehingga harus menjadikan yang lain sebagai hamba bagi kami? Apakah kami pantas menghambakan yang lain? Apakah sesama kami tidak lebih setara dengan kami?
Setiap kita disegala generasi perlu menanamkan semangat pengajaran. Pengajaran yang tentunya telah terlebih dahulu tertanam dalam diri kita secara kuat. Dengan ini, kita dapat menjadi teladan bagi sesama kita yang kita ajarkan. Seorang mama harus mampu menjadi dirinya sendiri dalam mendidik dengan tidak menjadikan dirinya bersosok dualistis. Begitupula dengan seorang bapa dan juga anak-anak. Mereka semua harus tampil dalam pembawaan diri apa adanya. Konsekuensinya, pengajaran kita dapat memiliki kekuatan dan teladan bagi orang lain karena kita sendiri telah dan mampu memberikan kesaksian hidup yang baik dan benar.
Yesus Kristus membicarakan hal ini dalam kaitannya dengan konsep tuan dan hamba. Hamba bukan sebagai objek tetapi justru dia adalah subjek manusia. Hamba bukan seorang pekerja murahan yang sama sekali tidak mendapatkan perhatian dari tuannya. Yesus, sebaliknya mengatakan bahwa hamba patut mendapatkan perhatian. Patut mendapatkan ucapan “terimakasih”. Paling kurang. Bukankah sebenarnya kita yang mengatai diri sebagai tuan juga adalah hamba yang patuh pada Tuhan?
Sebagai manusia, kita adalah hamba yang selalu diperhatikan oleh Tuhan yang maha kasih. Kita sebagai hamba hanya mengerjakan apa yang telah diamanahkan Tuhan kepada kita. Alam, lingkungan tempat tinggal kita adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita untuk dikelola dengan baik. Kebebasan yang diberikan Tuhan ini berdampak salah satunya pada kesombongan kekuasaan yang dibuat oleh kita untuk kepentingan diri sendiri. Kita, lantas tidak lagi menjadi hamba/pelayan yang mengerjakan pekerjaan yang diberikan Tuhan tetapi malah menjadi tuan bagi orang lain. Alhasil, sesama kita menjadi hamba yang bukan sebagai subjek tetapi sebaliknya sebagai objek. Mereka sebagai sasaran. Mereka sebagai alat kerja. Mereka sebagai motor kerja tanpa perhatian yang baik. Sementara Tuhan secara sangat jelas mengatakan pada kita bahwa perhatian kepada sesama kita bukan antara subjek kepada objek tetapi subjek kepada subjek. Tuan yang sejati adalah tuan yang siap melayani sesamanya. Tuan yang sejati adalah tuan yang memimpin dengan kerelaan untuk berkorban. Tuan yang sejati adalah tuan yang siap sebagai pelayan dan bukan sebagai pemimpin yang otoriter. Selamat berjuang menjadi pemimpin yang selalu melayani sekalipun itu menggoncang keberimanan kita.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.