LOUIS Grignon lahir di Monfort, Prancis, dari sebuah keluarga miskin pada tahun 1673. Di masa mudanya, ia dikenal lekas marah bila ada sesuatu yang tidak memuaskan hatinya. Namun ketika ia meningkat dewasa, ia mampu mengendalikan sifatnya itu dan berubah menjadi seorang yang penuh pengertian dan rendah hati. Perubahan ini menjadi suatu persiapan yang baik baginya untuk memasuki perjalanan hidup yang panjang sebagai seorang imam.
Pendidikannya yang berlangsung di Paris dirintangi oleh banyak kesulitan, terutama karena kekurangan uang, baik untuk biaya pendidikannya maupun untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hidupnya sungguh memprihatinkan. Biliknya sangat sempit, tanpa pemanas ruangan di musim dingin. Untuk memperoleh sedikit uang, ia berusaha bekerja malam di sebuah rumah sakit sebagai penjaga jenazah-jenazah. Namun semua penderitaan yang menimpanya dihadapinya dengan penuh ketabahan demi mencapai cita-citanya yang luhur.
Setelah beberapa tahun berkarya sebagai imam misionaris di dalam negeri dan menjadi pembimbing rohani di sebuah rumah sakit, ia berziarah ke Roma untuk bertemu dengan Sri Paus Klemens XI (1700-1721). Di Roma ia diterima oleh Sri Paus. Melihat karya dan kepribadiannya, Sri Paus memberi gelar “Misionaris Apostolik” kepadanya. Oleh Sri Paus, ia ditugaskan untuk mentobatkan para penganut Jansenisme yang sudah merambat di seluruh Prancis. Tugas suci yang berat itu diterimanya dengan senang hati dan dilaksanakannya dengan sangat berhasil. Dua kali ia lepas dari usaha pembunuhan oleh para penganut Jansenisme. Sekali waktu ia sempat diracuni oleh mereka di La Rochelle. Ia berhasil selamat walau harus menderita sakit berkepanjangan akibat keracunan. Saat beristirahat memulihkan diri dari efek keracunan, ia menulis sebuah buku yang indah; “Devosi Sejati kepada Santa Perawan Maria”.
Di Poiters, ia meletakkan dasar bagi Kongregasi Suster-suster Putri Sapientia, sedangkan di Paris ia menyiapkan Anggaran Dasar bagi tarekat imam-imamnya. Ia menghayati kaul kemiskinan dengan sungguh-sungguh dengan menggantungkan seluruh hidupnya kepada kemurahan hati umatnya. Tahun – tahun terakhir hidupnya dihabiskannya dalam doa dan menditasi di sebuah gua yang sunyi sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1716 dalam usia 43 tahun.
(Katakombe.org)
Inspirasimu: Santa Zita : 27 April
Staf Komisi Komunikasi Sosial, Konferensi Waligereja Indonesia, sejak Januari 2019-…