06 Juli, katekese, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Para Kudus di Surga, Santa Maria Goretti, Santo Antonius Maria Zaccaria, Santa Elizabeth dari Portugal, Santo Otto dari Bamberg, Santo Oliver Plunkett, Santo Santa, Teladan Kita, Bunda Maria, Rosario, Katekese, Para Kudus, Katolik, Sabtu Biasa XIII, Gereja Katolik Indonesia, Katolik, Katekese, Umat Katolik, Lawan Covid 19
Ilustrasi: catholicnewsagency.com

“……Para remaja terkasih, yang dicintai secara istimewa oleh Yesus dan oleh kami semua, katakanlah, maukah kalian bertekad -dengan bantuan rahmat Ilahi- untuk dengan tegas menolak segala macam godaan yang dapat menodai kekudusan kalian…….? (Homili Paus Pius XII pada upacara Kanonisasi St. Maria Goretti, 24 Juni 1950)

Berbagai macam pikiran dan perasaan berkecamuk menjadi satu dalam diri Assunta Goretti, ibunda St. Maria Goretti, ketika ia mendengarkan homili yang disampaikan oleh Paus Pius XII pada upacara kanonisasi puterinya. Lamunannya membawa Assunta kembali ke masa-masa yang silam.

Santa Maria Goretti

Maria Goreti dilahirkan pada tanggal 16 Oktober 1890 di Corinaldo, Italia. Luigi Goretti, ayahnya, seorang petani miskin. Pada tahun 1899, pasangan Luigi dan Assunta Goretti beserta keempat anak mereka yang masih kecil: Angelo, Maria, Marino dan bayi Allesandro, meninggalkan Corinaldo dalam usahanya mencari penghidupan yang lebih baik.

Di tengah perjalanan mereka mendengar kabar tentang tanah pertanian milik Count Mazzoleni di Ferriere yang hendak disewakan. Mereka menuju ke sana dan Luigi Goretti diterima bekerja sebagai petani bagi hasil di pertanian. Tanah pertanian itu telah lama dibiarkan terbengkalai, maka Luigi harus bekerja keras untuk membangunnya kembali. Kerja keras tanpa henti menyebabkan Luigi akhirnya jatuh sakit dan tidak dapat bekerja sama sekali. Saat panen tiba dan Count Mazzoleni datang meninjau, tanahnya baru sebagian saja yang telah dikerjakan. Mazzoleni amat marah dan tanpa mau mendengarkan penjelasan apa pun, ia mengirim Giovanni Serenelli dan Alessandro, putera bungsunya yang berumur sembilan belas tahun, untuk menyelesaikan pekerjaannya. Keluarga Serenelli tinggal bersama dalam rumah keluarga Goretti.

06 Juli, katekese, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Para Kudus di Surga, Santa Maria Goretti, Santo Antonius Maria Zaccaria, Santa Elizabeth dari Portugal, Santo Otto dari Bamberg, Santo Oliver Plunkett, Santo Santa, Teladan Kita, Bunda Maria, Rosario, Katekese, Para Kudus, Katolik, Sabtu Biasa XIII, Gereja Katolik Indonesia, Katolik, Katekese, Umat Katolik, Lawan Covid 19
Ilustrasi: trinitychurchsupply

Giovanni ternyata seorang pemabuk. Ia cepat naik darah dan suka memaksakan kehendaknya. Alessandro berperangai buruk, suka bertengkar dan selalu cemberut. Ia biasa menghabiskan waktu di kamarnya yang terkunci dengan melihat-lihat majalah porno. Dinding kamarnya dipenuhi dengan gambar-gambar gadis berpakaian tidak sopan.

Sementara itu penyakit malaria yang diderita Luigi bertambah parah. Setiap malam isteri beserta anak-anaknya berlutut di sekeliling tempat tidurnya dan berdoa. Luigi menyesali kepindahannya ke Ferriere. Ia membisikkan pesannya yang terakhir kepada Assunta: “Kembalilah ke Corinaldo”  Akhir bulan April 1902 Luigi Goretti meninggal dunia. Sejak itu setiap malam Maria akan mendaraskan Rosario bagi keselamatan jiwa ayahnya.

Dengan meninggalnya Luigi Goretti, hak atas rumah berpindah kepada Giovanni Serenelli. Giovanni mengijinkan Assunta beserta anak-anaknya tetap tinggal dan bekerja untuknya. Assunta ingin segera kembali pulang ke Corinaldo. Tetapi tidak terbayangkan olehnya seorang wanita dengan tujuh anak yang masih kecil-kecil dan tanpa bekal uang menempuh perjalanan balik sepanjang 200 mil. Oleh karena itu mereka tetap tinggal. Giovanni memerintahkan Maria, yang sekarang berumur sebelas tahun untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sementara Assunta harus bekerja di ladang.

Beban berat yang ditanggung Maria menjadikannya lebih cepat dewasa dan matang dibandingkan dengan anak lain seusianya. Ia telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang beriman dan saleh, serta tekun berdoa. Devosinya kepada Yesus serta ketaatannya kepada ibunya sungguh luar biasa. Nasehat ibunya terpateri kuat di dalam hatinya. “Kamu tidak boleh berbuat dosa, apa pun alasannya”.

Meskipun tidak dapat membaca dan menulis, Maria ikut pelajaran Katekumen dan beberapa bulan sebelumnya, yaitu pada tanggal 16 Juni 1901, ia telah menerima Komuni Kudusnya yang Pertama. Saat-saat menerima Komuni Kudus di gereja terdekat yang jaraknya dua jam perjalanan kaki itu sungguh amat membahagiakan hatinya.

Bulan Juli 1902. Assunta memperhatikan adanya perubahan pada perilaku puterinya. Sifat kanak-kanaknya sudah tidak tersisa lagi. Sinar matanya memancarkan kesedihan. Waktu doanya semakin panjang. Tubuhnya yang kecil bergetar dan air matanya mengalir. Telah beberapa waktu Alessandro Serenelli mengamatinya, mengganggunya serta mengejarnya dengan niat buruk. Ancaman Alessandro masih terngiang-ngiang di telinganya, “Jika kamu memberitahu ibumu, aku akan membunuh kalian berdua!”  Hanya dari doalah Maria memperoleh kekuatan dan kelegaan.

Hari Sabtu, tanggal 5 Juli 1902 kira-kira pukul setengah empat sore. Alessandro memanggilnya, “Marietta  (demikian para tetangga memanggil Maria), kemejaku robek dan perlu dijahit. Aku mau memakainya untuk pergi ke gereja besok. Aku letakkan di tempat tidurku.”

Kemudian pemuda itu keluar untuk mengurus sapi-sapinya. Tidak berapa lama, Alessandro meminta Assunta untuk menggantikannya.

“Saputanganku ketinggalan,” katanya. “Aku akan segera kembali.”

Sementara itu Maria duduk di lantai atas menjaga adik bayinya, Teresa, sambil menjahit baju Alessandro. Dari dapur Alessandro berteriak,

“Marietta, datanglah kemari!”  Maria tidak mau. Maka Allesandro datang, mencengkeram lengan Maria, menyeretnya ke dapur, menekankan sebilah pisau belati ke lehernya dan mengunci pintu. Maria berteriak minta tolong, tetapi suaranya lenyap di telan mesin pengirik gandum.

Alessandro mengancam Maria untuk menuruti kehendaknya. Maria meronta sekuat tenaga dan berteriak, “Tidak! Tidak Alessandro! Itu dosa. Tuhan melarangnya. Kamu akan masuk neraka, Alessandro. Kamu akan masuk neraka jika kamu melakukannya!”  Karena Maria berontak, Alessandro menjadi kalap. Ia menikamkan belatinya ke tubuh Maria, sekali, dua kali, tiga kali dan terus berulang kali tanpa ampun. Melihat tubuh kecil itu kemudian rebah dengan wajah pucat pasi, Alessandro sangat ketakutan. Ia melemparkan pisaunya, masuk ke kamarnya serta mengunci pintunya.

Assunta kemudian mendapati Maria terkapar di lantai dapur bermandikan darah. Jeritan pilu yang nyaring segera terdengar.  Dengan berurai air mata Assunta bertanya kepada putrinya,

“Siapa yang melakukan ini padamu?”

“Alessandro, Mama”.

“Tetapi, mengapa nak?”, Assunta terisak.

“Sebab ia ingin aku melakukan dosa yang mengerikan dan aku tidak mau.”

Dengan kereta ambulans, Maria dilarikan ke rumah sakit di Nettuno. Para dokter mendapatkan empat belas luka tikaman serta banyak luka memar di tubuh yang kecil itu. Karena mereka mengoperasinya tanpa obat bius, Maria menderita kesakitan yang luar biasa hingga akhirnya tidak sadarkan diri. Dalam keadaan tidak sadar ia berulang kali berteriak, “Alessandro, lepaskan! Tidak, tidak, kamu akan masuk ke neraka! Mama, tolong…!!!”

Keesokan harinya seorang imam datang untuk memberikan Sakramen Terakhir. Pastor mengingatkan Maria bagaimana Yesus telah mengampuni mereka yang menyalibkan Dia dan ia bertanya apakah Maria juga mau mengampuni Alessandro. Maria mengarahkan pandangannya pada Salib yang tergantung di dinding dan dengan tenang mengatakan, “Saya juga memaafkan dia. Saya juga berharap agar kelak ia datang dan menyusul saya di surga.”

 

06 Juli, katekese, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Para Kudus di Surga, Santa Maria Goretti, Santo Antonius Maria Zaccaria, Santa Elizabeth dari Portugal, Santo Otto dari Bamberg, Santo Oliver Plunkett, Santo Santa, Teladan Kita, Bunda Maria, Rosario, Katekese, Para Kudus, Katolik, Sabtu Biasa XIII, Gereja Katolik Indonesia, Katolik, Katekese, Umat Katolik, Lawan Covid 19
Ilustrasi

Setelah mengakukan semua dosanya, Pastor memberinya Komuni Kudus, dan air mata kebahagiaan memenuhi pelupuk matanya. Maria memandang patung Bunda Maria yang diletakkan di kaki tempat tidurnya dan saat itulah Yesus datang menjemput gadis kecilnya untuk masuk dalam perlindungan-Nya yang abadi.  Maria Goretti meninggal dalam usia 11 tahun pada tanggal 6 Juli 1902, pada pesta Tubuh dan Darah Kristus.

Empat puluh lima tahun kemudian, pada tanggal 27 April 1947, Maria Goretti dibeatifikasi oleh Gereja Katolik. Selanjutnya, pada tanggal 24 Juni 1950 bertempat di Basilika St Petrus, Bapa Suci Paus Pius XII memimpin upacara kanonisasi St. Maria Goretti dengan dihadiri lebih dari 250.000 umat.

Dalam homilinya Paus Pius XII menekankan bahwa keutamaan St. Maria Goretti bukan hanya pada kemurnian jiwa dan raga, tetapi juga keutamaan-keutamaannya dalam mengutamakan kepentingan rohani di atas kepentingan duniawi, kasih dan ketaatannya kepada orangtuanya, kerelaannya untuk berkorkan dalam kesulitan, pekerjaan sehari-hari, menerima kemiskinan, kecintaannya dan doanya yang mendalam kepada Yesus dalam Ekaristi, kemurahan hatinya dalam mengampuni (pembunuhnya).

Segera setelah upacara kanonisasi berakhir, dengan segala kerendahan hati Assunta menyatakan:

“Ya Tuhan, aku tidak layak Engkau memberiku seorang kudus!….”Assunta, yang saat itu telah berumur 82 tahun, hadir dalam upacara kanonisasi dengan ditemani kedua anaknya serta pembunuh puterinya. Pesta St. Maria Goretti dirayakan setiap tanggal 6 Juli.