Pembukaan Sidang para uskup, 2013

Saudara-saudari terkasih,

Mgr. Ignatius Suharyo
Ketua Presidium KWI Mgr. Ignatius Suharyo

 Tahun 2014 ini Konferensi Waligereja Indonesia genap berusia 90 tahun.

Dalam rubrik “JEJAK” yang secara khusus dihadirkan kepada umat, terlebih para pembaca setia Mingguan Hidup Katolik, saya sebagai Ketua KWI ingin menyampaikan beberapa hal menggembirakan yang merupakan buah perjumpaan para Bapak Uskup (yang disebut “Waligereja”) di Indonesia ini.

Saya ingin mengungkapkan empat poin kegembiraan sehubungan dengan persaudaraan para Uskup, lalu hubungan KWI dengan saudara-saudari agama lain dan dengan Gereja lain, serta terakhir hubungan KWI dengan Pemerintah Indonesia. Mungkin dalam ungkapan kegembiraan ini terselib juga satu dua hal yang merupakan ungkapan keprihatinan.

Pertama-tama, dalam hal persaudaraan para Uskup saya merasakan bahwa di kalangan para Uskup terdapat kerelaan untuk berbagi pengalaman serta kekayaan tanpa memperhitungkan status. Hal itu menjadikan persaudaraan para Waligereja ini sangat menarik dan menggembirakan. Suasana itu tampak dalam rapat-rapat dan juga semakin nyata kalau ada peristiwa penting di keuskupan-keuskupan (misalnya ada tahbisan uskup baru). Semangat ini menjadikan konferensi Waligereja Indonesia menjadi sangat istimewa, dimana hal serupa tidak mudah ditemukan di konferensi waligereja negara lain.

Kebersamaan lain yang juga begitu terasa adalah ketika konferensi harus menyiapkan  pesan-pesan khusus dan juga pesan Natal bersama. Semua uskup mengemukaan pendapat yang mendasar dan juga yang teknis kecil-kecil. Demikian juga ketika mengeluarkan Surat Gembala dan Nota Pastoral semua terlibat dan itu merupakan wujud kolegialitas yang konkret. Kebersamaan itu semakin menggarisbawahi semangat para Uskup dalam kesadarannya sebagai yang memiliki perutusan sama guna menyampaikan pesan iman kepada umat.

Persaudaraan bentuk pertama adalah pertemanan (rekan sejawat) yang sifatnya sangat manusiawi dan bentuk kedua adalah apa yang disebut kolegialitas sebagai gembala umat. Dalam keduanya sungguh dapat dirasakan hubungan yang sangan mendalam. Mengapa demikian? Karena situasi keuskupan  sangat berbeda satu sama lain. Kalau tidak ada persaudaraan dan semangat kolegialitas yang kuat, maka bisa saja terjadi “perkelahian” tanpa ujung karena perbedaan pendapat dan pemikirannya. Tetapi sungguh menggembirakan bahwa KWI selalu dapat merumuskan entah pesan sidang, Surat Gembala, Nota Pastoral maupun Pedoman Pastoral bagi umat tanpa menemui hambatan. Pasti dengan  harapan  bahwa para Uskup akan menerjemahkan sendiri untuk pastoral di keuskupannya.

Kemudian menyangkut karya KWI bersama agama-agama lain, saya merasa bahwa kehadiran Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) dapat merupakan representasi yang konkret. Tentu saja Komisi HAK bukan pelaksana dialog tunggal, tetapi lebih-lebih memberikan bahan-bahan untuk dikembangkan di keuskupan-keuskupan. Meskipun demikian  sejauh saya tahu komisi HAK mewakili juga kehadiran Gereja Indonesia khususnya  di pusat pemerintahan di Jakarta ini.

Semoga kehadiran Komisi HAK juga memperkaya dan mendorong dikembangkannya dialog di tingkat keuskupan, dimana masing-masing keuskupan berbeda satu sama lain. Komisi HAK harus rajin mengumpulkan cerita-cerita sukses seputar dialog yang terjadi di akar rumput, sehingga bisa dijadikan referensi untuk bercerita hal-hal baik yang telah dilakukan di tengah umat bersama warga masyarakat yang berbeda agama lainnya. Kisah-kisah sukses berdialog itu tentu akan mencerahkan dan meneguhkan serta memberi inspirasi bagi terlaksananya hal serupa di tempat lain.  Dialog adalah cita-cita dan realita yang tidak pernah akan selesai. 

Selanjutnya, mengenai kerjasama oekumene yang paling nyata dilakukan oleh KWI adalah bersama PGI sejak tahun 1980-an membuat Pesan Natal Bersama. Di samping itu, ada hal yang sering dilupakan dan tidak banyak diceritakan adalah salah satu keputusan ekumenis  yang sangat penting yang diambil oleh Gereja katolik adalah ketika pada tahun 1970-an tidak lagi mencetak sendiri Kitab Suci  dengan judul Kitab Suci terjemahan katolik. Padahal Kitab Suci terjemahan katolik ini merupakan hasil kerja  sampai tahun 1970-an yang luar biasa berat.

Namun demi oekumene, ketika Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) mengeluarkan Alkitab, maka atas usulan Lembaga Biblika Indonesia (LBI) KWI memutuskan tidak mencetak dan  menerbitkan sendiri kitab suci terjemahan katolik, tetapi menerima terjemahan bersama dan mengirim ahli-ahli dalam rangka ikut menerjemahkan bersama Alkitab itu hingga muncul terbitan Alkitab  Deuterokanonika. Itu suatu keputusan yang tidak banyak diketahui orang tetapi suatu keputusan yang bukan main  berani  dan pengorbanan yang besar sehingga sejak saat itu kerjasama oekumene menjadi sangat kuat.

Akhirnya, mengenai hubungan KWI dengan Pemerintahan Indonesia, saya dapat mengatakan bahwa sangat tidak mudah merumuskan hubungan Gereja dan Negara dalam konteks sekarang ini. Mengapa demikian? Karena masing-masing agama di negara ini memiliki pemaknaannya sendiri mengenai relasi agama dan negara. Maka juga menjadi tidak mudah bagi para pejabat negara untuk memahami pendapat Gereja tentang hal-hal yang menyangkut pandangan Gereja mengenai Negara dan pemerintah.

Misalnya, Gereja membedakan antara ranah publik dan ranah privat, forum externum dan forum internum atau suara hati. Sebut saja contoh kasus mengenai perkawinan campur beda agama atau kasus lain tentang pengguguran. Gereja memandang perkawinan itu adalah hak setiap warga negara (termasuk perkawinan beda agama), tetapi hal itu tidak dengan sendirinya mudah dan diterima oleh pihak lain. Demikian juga tentang pengguguran kandungan, bagi Gereja katolik adalah final bahwa kandungan tidak boleh digugurkan, tetapi dalam pemikiran komunitas agama lain boleh asal ada syarat-syarat tertentu dipenuhi.

Hal-hal seperti itu memang sangat rumit dan tidak mudah untuk dituntut adanya kesamaan prinsip. Namun yang terpenting bagi saya sekurang-kurangnya  negara tidak memaksakan kehendaknya terhadap Gereja. Dalam hal-hal yang berhubungan dengan masalah politik, ekonomi, lingkungan hidup, dll sebaiknya Gereja tidak berbicara sendiri tetapi hendaknya bersama dengan yang lain. Membangun kebersamaan dengan pimpinan agama-agama adalah jalan yang harus ditempuh, selain untuk mengembangkan persaudaraan tetapi sekaligus menyuarakan suara kenabian. 

 Saya ucapkan selamat berulang tahun ke-90 KWI dan saya terus berharap bersama para Uskup mampu menafsirkan tanda-tanda jaman dan melihatnya sebagai sapaan Tuhan serta menanggapinya dalam kebersamaan. Konkretnya, menjawab tanda-tanda jaman itu para Uskup akan selalu hadir memberikan panduan moral dan iman bagi umat. Semoga semua yang ada di konferensi ini mendukung dengan mengembangkan sistem guna merealisasikan cita-cita bersama tersebut. Baca juga: Perjalanan Sejarah Konferensi Waligereja Indonesia