Ada seorang anak laki-laki hidup dengan bibinya, sejak orangtuanya meninggal. Bibinya adalah satu-satunya saudari dari ibunya. Karena dia tidak menikah dan tidak mempunyai anak, si bibi memanjakan anak itu.
Pada suatu hari anak itu mencuri sebuah buku di toko. Pemilik toko itu marah dan melaporkan hal itu kepada si bibi. Akan tetapi si bibi tidak menghardik anak laki-laki itu. Ia hanya tersenyum mendengar laporan itu dan bahkan memberinya permen.
Sampai waktunya anak itu tumbuh menjadi dewasa. Dia menjadi pencuri terkenal. Akhirnya ia ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Orang banyak berkumpul di sekitar tiang gantungan ketika tali dipasang pada lehernya. Tiba-tiba seorang wanita menyibak kerumunan orang banyak, maju menjumpai si terhukum. Wanita itu adalah bibi yang telah membesarkan dia. Ia naik ke atas panggung, meratap sambil merangkul orang terhukum itu.
Tetapi orang terhukum itu berpaling dan menggigit telinga si bibi. Dengan jeritan menahan sakit wanita itu pergi. Orang banyak marah atas perlakuan yang mengejutkan dari orang terhukum itu. Akan tetapi orang terhukum itu segera memberi isyarat kepada orang banyak supaya diam. Lalu dia menjelaskan, “Wanita itu adalah penyebab semua ini. Jika saat aku kecil dia menghardik kesukaanku mencuri, aku tidak perlu menghadapi kematian hari ini.”
Kisah di atas memang sebuah tragedi yang hitam dalam hidup manusia. Suatu kemanjaan dibalas dengan kekejaman. Namun kita tidak bisa begitu saja menyalahkan salah satu pihak. Ini kesalahan dari sebuah proses pendidikan.
Ada proses pendidikan yang sangat efektif bagi kehidupan manusia. Namun ada proses pendidikan yang menjerumuskan manusia. Dalam hal ini orang punya kebebasan untuk memilih proses pendidikan yang efektif bagi pertumbuhan manusia. Namun hal yang paling penting dalam pendidikan adalah menanamkan nilai-nilai yang baik bagi kehidupan. Artinya, nilai-nilai kasih dan kesetiaan yang wajar. Bukan kasih yang egois yang membawa manusia terjerumus ke dalam kegelapan hidup.
Proses pendidikan yang baik itu memberikan rangsangan kepada mereka yang sedang berada dalam proses itu. Tujuannya agar mereka secara kreatif menerima dan mengembangkan nilai-nilai yang diberikan. Ada kalanya ada teguran ketika ada pelanggaran terhadap nilai-nilai yang diberikan. Bahkan bisa juga ada hukuman yang diberikan kepada mereka. Tentu tujuannya bukan untuk mematikan kreativitas mereka. Tetap tujuannya agar mereka bertumbuh dan berkembang secara baik.
Setiap orang beriman dipanggil untuk senantiasa menumbuhkan nilai-nilai yang baik dalam proses pendidikan manusia secara utuh. Karena itu, mari kita berusaha untuk menghidupi nilai-nilai yang baik itu. Dengan demikian, kita dapat bertumbuh dan berkembang dalam kasih dan kesetiaan satu terhadap yang lain.
Tuhan memberkati.
Keterangan foto: Kristus gembala yang baik, ilustrasi dari willypredistinasi.blogspot.com
Imam religius anggota Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ); sekarang Ketua Komisi Komsos Keuskupan Agung Palembang dan Ketua Signis Indonesia; pengelola majalah “Fiat” dan “Komunio” Keuskupan Agung Palembang.