St. Cuthbert hidup di Inggris pada abad ketujuh. Ia seorang bocah penggembala miskin yang sangat suka bermain bersama teman-temannya. Ia seorang yang ulung dalam bermain. Salah seorang temannya mencacinya oleh sebab ia terlalu amat suka bermain. Sesungguhnya, teman bermainnya itu mengucapkan kata-kata yang tampaknya bukan berasal dari dirinya sendiri. Katanya, “Cuthbert, bagaimana mungkin engkau menghabiskan waktumu dengan bermain-main saja, padahal engkau telah dipilih untuk menjadi seorang imam dan seorang uskup?” Cuthbert amat terperanjat, dan juga amat terkesan. Ia bertanya-tanya apakah sungguh kelak ia akan menjadi seorang imam dan seorang uskup.
Pada bulan Agustus tahun 651, Cuthbert yang saat itu berusia limabelas tahun memperoleh suatu pengalaman rohani. Ia melihat langit yang hitam pekat. Tiba-tiba, suatu sorotan cahaya yang amat terang melintasi langit. Dalam sorotan cahaya itu tampaklah malaikat-malaikat membawa sebuah bola api ke atas langit. Beberapa waktu kemudian, Cuthbert mengetahui bahwa pada saat yang sama dengan penampakan tersebut, Uskup St. Aiden meninggal dunia. Cuthbert tidak tahu bagaimana semua peristiwa itu mempengaruhi dirinya, tetapi ia telah membulatkan tekadnya untuk memenuhi panggilannya dan masuk biara. Cuthbert kemudian menjadi seorang imam.
St. Cuthbert berkeliling dari desa ke desa, dari rumah ke rumah, dengan menunggang kuda atau pun dengan berjalan kaki. Ia mengunjungi umat untuk membantu mereka secara rohani. Sungguh menguntungkan, Pastor Cuthbert dapat berbicara dalam dialek para petani sebab ia sendiri dulunya adalah seorang penggembala domba yang miskin. St. Cuthbert berbuat kebajikan di mana saja dan membawa banyak orang kepada Tuhan. Ia seorang yang periang serta baik hati. Orang tertarik kepadanya dan tak seorang pun segan kepadanya. Ia seorang yang banyak berdoa, seorang imam yang kudus.
Ketika Cuthbert telah ditahbiskan sebagai uskup, ia tetap bekerja keras seperti sebelumnya untuk membantu umatnya. Ia mengunjungi mereka, tak peduli betapa sukar perjalanannya melewati jalan-jalan yang sulit atau pun betapa buruk cuacanya. Sementara ia terbaring menghadapi ajal, Cuthbert mendesak para imamnya untuk hidup dalam damai serta penuh belas kasihan kepada semua orang. Ia wafat dalam damai pada tahun 687.
Marilah pada hari ini kita berdoa bagi mereka yang dipanggil untuk memimpin Gereja – di paroki-paroki kita, di keuskupan-keuskupan kita dan di seluruh dunia – agar mereka memperoleh kebijaksanaan serta keberanian yang mereka butuhkan agar dapat mempergunakan segala bakat serta kemampuan mereka bagi pelayanan.
Sumber: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”
Credit Foto:S. Cuthbert, www.katakombe.net
Imam diosesan (praja) Keuskupan Weetebula (Pulau Sumba, NTT); misiolog, lulusan Universitas Urbaniana Roma; berkarya sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) KWI, Juli 2013-Juli 2019