MIRIFICA.NET – Musik inkulturasi harus menghasilkan kreasi baru bukan sekadar menggantikan syair dari lagu lama dengan syair baru (kontrafaktur). Selain itu musik liturgi juga bagus kalau diambil dari musik tradisional yang masih hidup dan yang membentuk sikap religius.
Demikian disampaikan pakar musik liturgi Romo Karl-Edmund Prier, SJ dalam Kelas Musik Liturgi bertema “Inkulturasi Musik Liturgi Masa Kini” yang diselenggarakan secara daring pada Sabtu, 3 Juli 2021.
Menurut Romo Prier, begitu pria asal Jerman ini disapa, musik gereja berkembang terus selama 2.000 tahun, mulai mazmur dan kidung, gregorian, polifoni, hingga kini ada beragam musik gereja, seperti taize, karismatik, oikumene, pop rohani, juga lagu inkulturasi.
Inkulturasi, kata Romo Prier, bukanlah pelestarian budaya. Melainkan proses timbal balik menimba dari nilai budaya dan menyumbangkan nilai pada budaya. “Inkulturasi adalah interaksi antara budaya asli, dalam arti tradisi Gereja, Injil, dengan budaya baru yaitu budaya lokal, musik tradisional, dimana keduanya mengalami suatu transformasi sehingga muncul kreasi baru,”ujar Prier.
Secara umum, kata Romo Prier, inkulturasi merupakan upaya gereja membudaya. Mengutip pendapat Giancarlo Collet dalam buku berjudul “Inkulturasi Musik Liturgi”, Romo Prier menyebut bahwa inkulturasi merupakan proses yang berlangsung terus-menerus dimana Injil diungkapkan dalam situasi sosio-politik dan religious-budaya atau seluruh aspek kehidupan.
“Sedemikian rupa sehingga inkulturasi tidak hanya diwartakan melalui aspek-aspek tersebut melainkan juga menjadi daya yang menjiwai, bersatu dan sejalan dengan budaya sehingga memperkaya budaya gereja secara universal,”ujar Prier.
Prier menyebutkan, pemahaman tentang inkulturasi seperti ini menandakan inkulturasi sebagai suatu proses dan berlangsung terus. Proses ini juga telah dan masih terjadi pada music litrugi masa kini seperti yang dilakukan Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
Pada dasarnya, inkulturasi musik Gereja diperlukan karena Tuhan ingin menjelma terus di tiap negara dan zaman. “Tuhan ingin hadir dalam feeling kita. Maka kita pakai bahasa pribumi dalam liturgi, maka kita pakai lagu yang menyentuh hati,”ujar Prier.
Hampir 100 Tahun
Musik inkulturasi di Indonesia, menurut Romo Prier telah berkembang selama hampir 100 tahun. Diawali oleh C. Harjosubroto pada 1926 yang mengarang lagu gereja pelog untuk mengungkapkan perasaan iman sebagai orang Jawa (Bdk Madah Bakti 341 “Segenap Jiwaku”).
Di Manggarai, Flores, Uskup van Bekkum SVD pada 1945 mendorong para guru musik untuk memperkaya lagu gereja dengan keindahan lagu Manggarai. Dilanjutkan Mgr. Soegijapranata yang memperjuangkan gending Jawa sebagai tanda 100 persen Indonesia dan 100 persen Katolik.
Tahun 1971, Pusat Musik Liturgi ( PML) didirikan untuk memajukan musik gereja yang khas Indonesia. Tujuan tersebut terwujud dalam penerbitan buku Madah Bakti pada 1980. Selain itu, peran PML dalam musik gereja di Indonesia juga terwujud dalam kegiatan-kegiatan lain seperti kegiatan-kegiatan lokakarya ( 57) yang telah diselenggarakan di pelosok Nusantara, menerbitkan beragam buku serta mengadakan kelas-kelas pelatihan.
Kelas Musik Liturgi bertema “Inkulturasi Musik Liturgi Masa Kini” diselenggarakan menyambut pesta emas ( 50 tahun) PML di Indonesia. Diikuti lebih dari 240 orang peserta, acara yang diselenggarakan oleh Penerbit Kanisius bekerja sama dengan Pusat Musik Liturgi ini selain dihadiri oleh para peminat musik liturgi dari berbagai daerah di Indonesia, juga diikuti peserta dari Keuskupan Sabah, Malaysia.
Alexander Louiciano [ Praktisi Paduan Suara, Peminat Musik Liturgi dan Dirigen dan Pelatih PS St. Caecilia Katedral Jakarta ]
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.