Beranda OPINI Revolusi Mental

Revolusi Mental

“Bertobatlah dan percayalah pada kabar sukacita”.

DEMIKIANLAH  perkataan Sang Nabi muda itu mengawali pengajaranNya. Demikianlah pokok ajaranNya di hadapan publik.

Kala itu, siang belum beranjak jauh namun sang mentari telah terasa terik. Kegelapan malam telah sirna. Orang telah berjaga. Orang telah sadar akan terang mentari. Kemabukan malam telah berlalu. Aku seolah turut bergabung di kelimpahan orang yang antusias itu.

Ribuan orang dari berbagai tempat mulai berkerumun. Laki-laki, perempuan, usia belia maupun lansia. Pejabat ataupun rakyat. Pegawai atau juragan. Berandalan dan arapat. Semua tertumpah. Setiap orang ingin datang dan mendengarkan. Magnet begitu kuat. Kerinduan hati begitu mendamba.

Aku hadir mendengarkan sabdaNya. “Bertobatlah…….”

Aku turut merasakan antusiame serta permusuhan yang muncul lantaran sabdaNya itu. Aku mendengarkan kesaksian orang yang tersentuh hatinya. perkataanNya langsung menusuk hati laki-laki maupun perempuan. Ia tidak mengutip kata-kata atau kebijaksaan masa lampau.

Aku memperhatikan pula reaksi permusuhan dari antara khalayak. Mereka mulai bertanya apa artinya “bertobat” itu.

Yang lain lagi mulai menanyakan apa artinya “kabar sukacita” itu. Tengah hari merambat cepat. Orang tidak gentar dengan teriknya. Kudengarkan bagaimana Nabi muda itu memberi jawab atas tanya yang gegap gempita….

Sore harinya, aku seolah duduk bersama Sang Nabi muda itu. Ia mempersilahkan aku merangkum pengajaran siang itu dalam empat kalimat. Rumusannya mesti melenyapkan rasa takut, dan membawa sukacita. kabar itu begitu jernih dan penuh api membakar dunia yang kotor. Kabar itu begitu berkuasa hingga membangunkan dunia yang tidur ini. Kabar itu begitu “baik” hingga segenap manusia ditantang untuk “percaya” padaNYA.

Aku teringat jelas, aku masih duduk di beranda. Saat itu angin sepoi-sepoir membawakan keheningan. Entah dari mana datangnya, aku bicara tentang arti bertobat, revolusi itu, perombakan total dari hati dan budi…..

Sesudah itu kubayangkan Sang Nabi muda itu menumpangkan tanganNya atasku. Dia merestui diriku untuk mulai melaksanakan perubahan total dalam diriku….

Lalu aku bangkit, malam gelap namun ada terang, ada seperti api yang menyala-nyala, terkurung-kurung dalam tulang-tulangku, aku berlelah-lelah untuk menahannya tetapi aku tidak sanggup.

Aku mulai hari baru
Dengan hati dan semangat yang baru, sambil memperhatikan dampak perubahan itu,
Dalam kelakuanku… dalam perasaanku, dalam cara hidupku.
Kulihat juga perubahannya, kurasakan juga bedanya
Saat aku bersembahyang….
atau menghirup udara pagi dan memandang pohon-pohon hijau
atau membaca koran dan majalah….
atau membantu sesama..
atau memimpin rapat….
atau memikirkan kematian…

Bdk. Anthony de Mello: Sumber Air Hidup