MIRIFICA.NET – Tentang revisi Buku VI, saya jadi teringat cerita seorang profesor hukum Gereja. Adalah Paus Emeritus Benediktus XVI, si teolog jenius paling disegani dan pembela ulung ajaran Gereja, yang memulai semuanya ini. Pada tahun 2009 ia menginstruksikan Dewan Kepausan untuk Teks-Teks Legislatif untuk memulai revisi Buku VI Kitab Hukum Kanonik. Sebuah kelompok studi yang terdiri dari para ahli hukum pidana pun dibentuk. Pekerjaan untuk merevisi Buku VI ini dikembangkan dalam konteks kolaborasi kolegial yang sangat luas dan pertukaran ide dan observasi yang berkelanjutan, yang melibatkan banyak orang di seluruh dunia. Setelah kurang lebih 12 tahun pekerjaan raksasa ini pun rampung seluruhnya. Paus Fransiskus sebagai Legislator Universal Gereja katolik mempromulgasikannya pada tanggal 23 Mei 2021 melalui Konstitusi Apostolik Pascite gregem Dei (www https://press.vatican.va/content/salastampa/it/bollettino/pubblico/2021/06/01/0347/00751.html); sebuah nama (Konstitusi) yang kental dengan aroma pastoral dan diinsipirasikan oleh Surat Pertama Petrus 5: 2: “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah”
Tulisan ini tidak lebih dari sebuah catatan selayang pandang. Tidak ada maksud untuk memberikan gambaran yang komprehensif menyangkut revisi Buku VI, selain karena masih terbilang baru, juga karena membutuhkan waktu yang cukup untuk membedahnya secara tuntas. Apalagi, Buku VI ini termasuk materi yang sulit. Bukan mengada-ada tetapi memang begitulah adanya. Bagi mereka yang pernah studi Hukum Gereja, khususnya di Kota Abadi Roma, pasti ingat baik bagaimana materi Buku VI yang berisikan tentang sanksi dalam Gereja (De Sanctionibus in Ecclesia) ini seringkali menjadi momok menakutkan bagi para mahasiswa yang membikin kepala pening dan membunuh selera makan spaghetti al dente.
Mengapa Direvisi ?
Pertanyaan ini penting. Menurut Juan Ignacio Arrieta, Sekretaris Komisi Kepausan Untuk Teks-Teks Legislatif dan pakar hukum Gereja, revisi ini dibuat karena pada tahun-tahun awal setelah diundangkannya Kitab Hukum Kanonik 1983, disiplin pidana yang termuat dalam Buku VI tidak dapat berperan sebagai instrumen yuridis sebagaimana yang diharapkan pada awal penetapannya. Sekalipun kanon-kanon yang berbicara tentang hukum pidana telah dikurangi jumlahnya secara signifikan dibandingkan dengan Kodeks 1917; namun orientasi dasar sistem pidana telah mengalami perubahan. Teks-teks baru yang termuat dalam Kodeks 1983 seringkali tidak pasti, justru karena dirasakan bahwa masing-masing Uskup Diosesan dan Superior, yang tugasnya menegakkan disiplin pidana, dapat menentukan sendiri dengan lebih baik kapan dan bagaimana menghukum dengan cara yang paling pantas (https://press.vatican.va/content/salastampa/en/bollettino/pubblico/2021/06/01/210601e.html)
Jika teks-teks lain dari Kodeks 1983 didefinisikan ulang menurut pengalaman berbagai norma yang diberikan ad experimentum pada periode pasca-Konsili Vatikan II, perubahan-perubahan penting yang terkandung dalam Buku VI tidak memiliki kesempatan untuk menghadapi realitas Gereja sebelumnya, tetapi langsung dipromulgasikan pada tahun 1983. Hal ini membawa tantangan tersendiri bagi para para Ordinaris dalam menggunakan norma-norma pidana di tengah ketidakpastian tersebut, ditambah lagi dengan kesulitan praktis di mana kebanyakan Ordinaris seringkali menggabungkan tuntutan cintah kasih dengan tuntutan keadilan secara tidak seimbang. Selain itu, adanya perbedaan tanggapan di antara para pemegang otoritas gerejewi yang berwenang dalam menyikapi persoalan tertentu menimbulkan rasa suntuk dan gamang di tengah komunitas kristiani.
Dengan argumentasi yang kurang lebih sama, Filippo Iannone, Presiden Komisi Kepausan Untuk Teks-Teks Legislatif, menambahkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir hubungan interpenetrasi antara keadilan dan belas kasih kadang-kadang disalahartikan. Hal ini membawa dampak negatif terhadap penerapan hukum pidana yang terlalu longgar atas nama oposisi antara pelayanan pastoral dan hukum, khususnya hukum pidana (https://press.vatican.va/content/salastampa/en/bollettino/pubblico/2021/06/01/210601e.html).
Dewasa ini Gereja dihadapkan dengan begitu banyak tantangan dan persoalan yang tidak ringan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Sebagai contoh, kasus bocornya rahasia kepausan, percobaan tahbisan wanita, merekam pengakuan dosa, korupsi jabatan, sakrilegi Ekaristi, pelayanan sakramen kepada orang yang secara hukum dilarang untuk menerimanya, pengalihmilikan harta benda Gereja secara sepihak tanpa konsultasi yang seharusnya, berbagai situasi irregular dalam komunitas umat beriman dan yang paling membikin gerah adalah the tragic and painful events kejahatan pelecehan seksual terhadap anak-anak dibawah umur yang dilakukan oleh imam dan cara penanganan yang salah (menutupi-nutupi kasus atau pemindahan ke tempat lain) dari sebagian Uskup Diosesan dan Superior. Berbagai fakta problematis ini menuntut Gereja untuk bersikap responsif dan tegas dengan menghidupkan kembali hukum pidana kanonik, mengintegrasikannya dengan reformasi legislatif yang tepat; menggunakannya lebih sering dan meningkatkan kemungkinan penerapan konkritnya demi mendefinisikan lebih baik kerangka kerja yang sistematis dan up to date dari realitas yang terus berkembang.
Pada titik inilah, kita menjadi maklum mengapa perlu dibuat revisi atas Buku VI. Dengan adanya revisi ini berbagai ketentuan pidana universal semakin responsif untuk melindungi kebaikan bersama dan melindungi umat beriman secara individu, serta semakin sesuai dengan persyaratan keadilan dan semakin efektif dan cocok untuk konteks gerejawi dewasa ini , yang jelas berbeda dari tahun 1970-an, ketika Buku VI disusun. Perundang-undangan yang direformasi ini dimaksudkan untuk menanggapi secara tepat kebutuhan kekinian, menawarkan kepada para Ordinaris dan para hakim gerejawi instrumen yuridis yang ringkas dan jelas dan mendorong penerapan hukum pidana sejauh perlu, dan dengan jalan ini rasa keadilan, iman dan cinta kasih dapat bertumbuh di tengah umat beriman.
Dalam Pascite gregem Dei, Paus Fransiskus mengatakan bahwa di tengah perubahan sosial yang begitu cepat, disiplin hukum pidana yang dipromulgasikan oleh Santo Yohanes Paulus II pada tanggal 25 Januari 1983 perlu direvisi demi merespons secara memadai kebutuhan Gereja di seluruh dunia. Hukum pidana tersebut perlu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga para gembala dapat menggunakannya sebagai instrumen keselamatan dan korektif yang lebih gesit untuk dipakai segera dengan cinta kasih pastoral demi mencegah kejahatan yang lebih serius dan untuk menyembuhkan luka yang disebabkan oleh kelemahan manusia.
Dengan pemahaman atas konteks yang melatarbelakangi revisi Buku VI ini, sebagaimana diuraikan secara singkat diatas, pertanyaan menyangkut mengapa direvisi kiranya telah terjawab. Namun masih ada pertanyaan lebih lanjut:
Apa Kekhasannya ?
Berkaca pada Konstitusi Apostolik Pascite gregem Dei, isi Revisi Buku VI( https://press.vatican.va/content/salastampa/en/bollettino/pubblico/2021/06/01/210601b.html) dan komentar para ahli hukum kanon, kita dapat dapat menarik beberapa hal penting yang boleh dikatakan menjadi kekhasan Buku VI yang direvisi ini, yakni:
Pertama, berbeda dengan Buku VI yang lama, dalam buku yang baru ini ditetapkan secara memadai norma-norma pidana yang memberikan pedoman yang tepat dan pasti bagi mereka yang wajib menerapkannya. Norma-norma baru juga telah mengurangi ruang lingkup diskresi yang sebelumnya diserahkan kepada otoritas gerejawi demi memastikan adanya penerapan norma pidana yang seragam di seluruh Gereja katolik sedunia, tanpa sepenuhnya menghilangkan diskresi yang diperlukan menurut jenis pelanggaran yang by law memerlukan discermen dari pihak gembala. Selain itu, jenis-jenis pelanggaran ditetapkan secara eksplisit, kasus-kasus yang sebelumnya dikelompokkan bersama ditata kembali dan hukumannya secara lengkap tercantum dalam kan. 1336; serta teks-teks beisikan parameter referensi untuk memandu evaluasi dari mereka yang harus menilai keadaan tertentu.
Kedua, fokus perhatian terarah pada perlindungan komunitas umat beriman, perbaikan skandal dan kompensasi kerusakan. Teks baru berusaha menjadikan instrumen sanksi pidana sebagai bagian dari pemerintahan pastoral yang biasa bagi komunitas umat beriman dan menghindari formula hukum yang sulit dipahami yang sebelumnya ada. Secara konkrit, teks-teks baru itu menganjurkan pemberlakuan perintah pidana (kan. 1319 §2), atau dimulainya prosedur pemberian sanksi (kan. 1341), selama pihak berwenang menganggapnya perlu atau bila telah dipastikan bahwa pemulihan keadilan, koreksi pelaku, dan perbaikan atas skandal tidak dapat cukup dicapai dengan cara lain (kan. 1341). Hal ini sesungguhnya merupakan tuntutan caritas pastoralis, yang kemudian tercermin dalam berbagai elemen baru dari sistem pidana dan, khususnya, dalam kebutuhan untuk melakukan perbaikan atas skandal dan kerusakan yang ditimbulkan, untuk membatalkan hukuman atau menunda penerapannya. Secara umum, kan. 1361 §4 dimulai dengan pernyataan bahwa penghapusan hukuman tidak diberikan sampai – menurut penilaian yang bijaksana dari Ordinaris – pelanggar telah memperbaiki kerusakan yang mungkin ditimbulkannya.
Ketiga, memberikan kepada para Ordinaris sarana-sarana yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran, mengintervensi pada waktunya, memperbaiki situasi yang bisa menjadi lebih serius, tanpa mengabaikan tindakan pencegahan yang diperlukan untuk melindungi pelaku yang dituduh melakukan pelanggaran tertentu , sebagai jaminan atas apa yang sekarang dinyatakan dalam kanon 1321 §1 tentang asas praesumptio innocentiae bahwa setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya. Selain itu, mereka juga diberi seperangkat penawar pidana (remedia poenalia) atau obat yang bersifat menghukum untuk mencegah pelanggaran, seperti peringatan, teguran, perintah pidana dan pengawasan. Dalam Buku VI ini pengawasan disebut secara eksplisit (kan. 1339, §4) dan perintah pidana diberi peraturan khusus (kan. 1339, §3). Penting untuk diingat bahwa remedia poenalia ini bukanlah sanksi pidana dalam arti tegas, dan dapat juga digunakan tanpa prosedur penyelidikan khusus, namun demikian penerapannya harus sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh norma hukum terkait tindakan administratif.
Tindak Pidana Baru
Jika kita membandingkan dengan yang lama, dalam Buku VI hasil revisi ini, ada beberapa tindak pidana baru yang dimasukan ke dalam Kitab Hukum Kanonik, khususnya pada Bagian II yang berbicara tentang berbagai tindak pidana khusus dan hukuman atasnya, yakni:
Pertama, dalam hubungan dengan tindak pidana melawan otoritas Gereja dan pelaksanaan kewajiban-kewajiban (Judul II Revisi Buku VI). Ada beberapa tindak pidana baru yang ditambahkan, yakni yang melanggar kewajiban yang diancam dengan hukuman, dihukum dengan hukuman yang disebut dalam kan. 1336, §§ 2-4 ( kan. 1371, §2); yang melanggar kewajiban menjaga rahasia kepausan, diancam dengan hukuman yang disebut dalam kan. 1336, §§ 2-4 (kan. 1371, §4); yang yang lalai menjalankan kewajiban untuk melaksanakan putusan eksekutif dihukum dengan hukuman yang adil, tidak termasuk censura (kan.. 1371, §5); yang lalai melaporkan tindak pidana, menurut hukum kanonik, dihukum menurut ketentuan kan. 1336, §§ 2-4, dengan tambahan hukuman lain sesuai dengan beratnya tindak pidana; yang dalam menjalankan suatu jabatan atau fungsi meminta sesuatu di luar apa yang telah ditetapkan, atau memintah jumlah tambahan, atau sesuatu untuk keuntungannya sendiri, dihukum dengan denda uang yang sesuai atau dengan hukuman lain, tidak terkecuali pencabutan dari jabatan, tanpa mengurangi kewajiban untuk memperbaiki kerusakan tersebut (kan. 1377, §2).
Kedua, dalam hubungan dengan tindak pidana melawan sakramen-sakramen (Judul II Revisi Buku VI). Ada beberapa tindak pidana yang ditambahkan, yakni yang mencoba untuk menabhiskan seorang wanita dan wanita yang mencoba untuk menerima tahbisan suci tersebut, dikenai hukuman ekskomunikasi latae sententiae yang direservasi kepada Takhta Apostolik dan bahkan jika seorang imam, dapat dihukum dengan dismisal dari status klerikal (kan. 1379, § 1, 3°); yang dengan sengaja memberikan sakramen kepada mereka yang dilarang menerimanya dihukum dengan suspensi dan dapat juga ditambahakan dengan hukuman-hukuman lain yang disebut dalam kan. 1336, §§ 2- 4 (kan. kan. 1379, § 1, 4°); yang bersalah karena mengonsekrasikan untuk tujuan sakreligi satu unsur saja atau kedua unsur di dalam atau di luar perayaan Ekaristi dihukum sesuai dengan beratnya tindak pidana , tidak terkecuali dismisal dari status klerikal (kan. 1382, § 2); yang dengan sarana teknis apa pun merekam apa yang dikatakan imam atau peniten dalam pengakuan sakramental, baik nyata maupun simulatif, atau yang menyebarluaskanya melalui sarana komunikasi sosial dihukum sesuai dengan beratnya tindak pidana , tidak terkecuali dismisal dari status klerikal jika pelaku seorang imam (1386, § 3); yang hendak menerima tahbisan suci namun terkena censura atau iregularitas yang secara sengaja disembunyikan ipso facto penabhisannya ditangguhkan, di samping ketentuan lain yang ditetapkan dalam kanon 1044, §2, n. 1 (kan. 1388, § 2); yang, selain kasus-kasus yang disebutkan dalam kan. 1379-1388, secara tidak sah menjalankan tugas seorang atau pelayanan suci lainnya, dihukum dengan hukuman yang adil, tidak terkecuali censura (kan. 1389).
Ketiga, dalam hubungan dengan tindak pidana melawan kewajiban-kewajiban khusus (Judul V Revisi Buku VI).Ada beberapa tindak pidana yang ditambahkan, yakni klerus yang secara sengaja dan secara tidak sah meninggalkan pelayanan suci, selama enam bulan dengan maksud menarik dirinya dari otoritas Gereja yang berwenang dihukum sesuai dengan beratnya tindak pidana, dengan suspensi atau hukuman tambahan yang ditetapkan dalam kan. 1336 §§2-4, dan dalam kasus-kasus yang lebih serius dapat diberhentikan dari status klerikal (kan. 1392); klerus atau religius yang, selain dari kasus-kasus yang telah ditentukan oleh undang-undang, melakukan tindak pidana dalam hal keuangan, atau secara berat melanggar ketentuan-ketentuan dalam kan. 285, § 4, dihukum dengan hukuman-hukuman yang disebut dalam kan. 1336, §§ 2-4, tanpa mengurangi kewajiban untuk memperbaiki kerusakan (kan. 1393, § 2); klerus yang dengan kekerasan, ancaman atau penyalahgunaan wewenangnya melakukan tindak pidana melawan perintah keenam Dekalog atau memaksa seseorang untuk melakukan atau tunduk pada tindakan seksual, dihukum dengan hukuman yang adil, dan tak terkecuali dismisal dari status klerikal jika kasusnya mengharuskan untuk itu (kan. 1395, § 3).
Keempat, dalam hubungan dengan tindak pidana melawan kehidupan manusia, martabat dan kebebasan (Judul VI Revisi Buku VI). Ada beberapa tindak pidana yang disebutkan, yakni: klerikus yang merawat atau membujuk anak di bawah umur atau orang yang secara habitual menggunakan akal budi dengan tidak sempurna atau orang yang kepadanya hukum memberi perlindungan yang sama, untuk mengekspos dirinya secara pornografis atau untuk mengambil bagian dalam pertunjukan pornografi, baik nyata atau simulatif, dihukum dengan pencabutan jabatan dan hukum adil lainnya, tak terkecuali, jika kasusnya menuntut untuk itu, dismisal dari status klerikal (kan. 1398, § 1, 2°); klerikus yang secara tidak bermoral memperoleh, menyimpan, memamerkan atau mendistribusikan, dengan cara apa pun dan dengan teknologi apa pun, gambar-gambar pornografi anak di bawah umur atau orang-orang yang secara habitual menggunakan akal budi secara tidak sempurna, dihukum dengan pencabutan jabatan dan hukum adil lainnya, tak terkecuali, jika kasusnya menuntut untuk itu, dismisal dari status klerikal (kan. 1398, § 1, 3°); anggota Tarekat Hidup Bakti atau Serikat Hidup Kerasulan, atau siapapun dari umat beriman yang memiliki jabatan atau menjalankan fungsi dalam Gereja, yang melakukan tindak pidana yang disebut dalam § 1 atau dalam kan. 1395, § 3 dihukum menurut ketentuan kan. 1336 §§ 2-4, dengan tambahan hukuman lain sesuai dengan beratnya tindak pidana (kan. 1398, §2).
Tantangan Untuk Ordinaris
Paus Fransiskus dalam Pascite gregem Dei menegaskan bahwa ketaatan terhadap hukum, demi kehidupan gerejawi yang tertib merupakan sesuatu yang penting. Dalam hubungan dengan ketaatan dan penghormatan terhadap disiplin pidana, beliau mengatakan bahwa hal ini merupakan tugas dan kewajiban seluruh Umat Allah, namun demikian tanggung jawab dalam hal penerapannya yang benar merupakan tanggung jawab khusus para Gembala dan para Superior dari masing-masing komunitas. Sebuah tanggung jawab yang tidak dapat dipisahkan dari munus pastoralis yang dipercayakan kepada mereka, dan itu harus dilaksanakan sebagai tuntutan cinta kasih yang nyata dan tidak dapat dicabut terhadap Gereja, komunitas kristiani dan calon-calon korban, tetapi juga terhadap pelaku, yang tidak hanya membutuhkan belas kasihan tetapi juga koreksi dari Gereja.
Dalam kata-kata Konsili Vatikan II, para gembala dipanggil untuk melaksanakan tugas mereka dengan petunjuk-petunjuk, nasehat-nasehat dan teladan hidup serta dengan kewibawaan dan kuasa suci (bdk. Lumen gentium, 27), dan, jika perlu menjatuhkan atau menyatakan hukuman sesuai dengan ketentuan hukum jika ia menilai bahwa baik peringatan persaudaraan maupun teguran atau sarana-sarana keperihatian pastoral lain tidak mencukupi untuk memperbaiki skandal, memulihkan keadilan dan memperbaiki pelaku pelanggaran (kan. 1341). Jika seorang gembala lalai atau gagal untuk menerapkan sistem hukum pidana sebagaimana seharusnya maka jelas ia tidak memenuhi fungsinya dengan benar dan setia” (Bdk. Paus Fransiskus, Lettera Apostolica, Come Una Madre Amorevole, art. 1, §1).
Sesungguhnya, cinta kasihlah yang mengharuskan para gembala untuk menggunakan sistem pidana sesering yang diperlukan, dengan memperhatikan tiga tujuan, yakni pemulihan keadilan, perbaikan pelaku pelanggaran dan reparasi skandal. Dan sanksi kanonik itu memiliki fungsi penyembuhan dan medisinal dan bertujuan terutama untuk kebaikan pelaku dan umat beriman seluruhnya.
Penutup
Pada bagian akhir Konstitusi Apostolik Pascite gregem Dei, Paus Fransiskus mengingatkan umat beriman, khususnya para Ordinaris bahwa norma-norma pidana, seperti semua norma kanonik, harus selalu dibawa kembali kepada apa yang menjadi suprema lex dalam Gereja, yakni keselamatan jiwa (salus animarum). Norma pidana harus menjadi instrumen untuk kebaikan jiwa-jiwa.
Buku VI Kitab Hukum Kanonik yang baru direvisi ini akan mulai berlaku efektif pada tanggal 8 Desember 2021 tepat pada hari raya Santa Perawan Maria Yang Dikandung Tanpa Noda. Masih ada waktu beberapa bulan ke depan bagi para Ordinaris dan para ahli hukum kanon untuk mempelajarinya dengan seksama, khususnya menyangkut hal-hal teknis penerapannya yang memang membutuhkan ketrampilan tersendiri. Tentu bukan cuma Ordinaris atau para ahli hukum gereja, tetapi semua imam harus mempelajarinya. “Nulli sacerdotum suos liceat canones ignorare”, kata Paus Celestinus, ‘janganlah ada seorang pun dari para imam tidak mengetahui kanon-kanonnya’. Saya pikir peringatannya tetap relevan dan aktual untuk konteks kita saat ini.
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.