AJA Ahab telah melakukan “apa yang jahat di mata Tuhan”, maka nabi Elia menyampaikan hukuman dan kemalangan yang akan menimpa dia. Kenyataannya, Ahab menyesali perbuatannya dan merendahkan diri di hadapan Tuhan (bdk. 1 Raj. 21:27), maka Tuhan tidak mendatangkan malapetaka dalam zamannya, tapi baru kelak pada zaman anaknya. Dalam Injil, Yesus melampaui firman untuk mengasihi sesama manusia dan membenci musuh, dengan mengajarkan: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 5:44). Ajaran Yesus ini menampilkan sifat Bapa yang menghendaki pertobatan dan keselamatan semua orang, yang jahat maupun yang baik. Ajaran kasih terhadap musuh ini bahkan pernah dianggap seolah-olah ‘membenarkan’ tindakan musuh, padahal Yesus mau menghadirkan sosok Allah yang memberi kesempatan yang sama kepada setiap orang agar bertobat dan menyesali kejahatannya.
Kita kadang-kadang berpikir bahwa kasih terhadap musuh merupakan ajaran yang sangat sulit kita jalankan. Meskipun demikian, kita memahami bahwa setiap orang memang harus diberi kesempatan yang sama untuk bertobat, sebab kita pun mungkin sudah berkali-kali berbuat salah dan berkali-kali diterima kembali oleh sesama kita. ‘Musuh’ merupakan sebuah kategori yang kita ciptakan sendiri, padahal di balik sebutan itu kita melihat seorang manusia lemah seperti kita.
Tuhan Yesus, Engkau berkali-kali memberi kesempatan kepadaku untuk bertobat. Semoga aku mau memberi kesempatan yang sama kepada orang lain. Amin.
Sumber: Ziarah Batin 2018
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.