YESUS DAN HUKUM
Injil Markus 7:1-13
Hari ini kita memperingati St. Skolastika, saudari dari St. Benediktus. St. Skolastika lahir di Nursia, Italia sekitar tahun 480. Ia membaktikan diri kepada Allah dalam kesunyian dan keheningan hidup membiara. Dia meninggalkan hiruk pikuk dunia karena telah memilih mengikuti Kristus dalam keheningan bathin.
Dewasa ini ketika kita dihadapkan dengan situasi dunia yang hingar bingar, kita butuhkan keheningan bathin. Hingar bingar dunia membuat manusia sampai sulit membedakan antara yang baik dan yang jahat, atau sengaja membungkam nurani atas hal-hal baik lalu memilih yang jahat. Banyak rationalisasi dilakukan. Kritik Yesus atas sikap legalistik kaum Farisi dalam Injil yang kita renungkan hari ini pun berhubungan dengan sikap rationalisasi, di mana yang salah dibenarkan oleh dalih yang terkesan logis lagi saleh. Itu terjadi karena tidak ada pembatinan nilai-nilai.
Ketika merenungkan bagian Injil Markus ini, saya teringat sebuah ulasan di Metro TV pada awal Januari 2015 tentang dua orang ibu yang digugat di pengadilan masing-masing oleh anak kandungnya sendiri. Intinya, kedua ibu yang malang itu terancam diusir dari rumah karena rumah itu dikuasai oleh anak-anak mereka. Anak-anak mereka merasa berhak atas rumah karena dokumen-dokumen telah dialihkan atas nama mereka. Bukti hukum atas kepemilikan rumah menjadi alasan untuk dengan tega mengusir ibu kandung dari rumah. Seorang anak perempuan yang menggugat ibunya, walaupun ia telah disekolahkan oleh ibunya sehingga mendapat gelar Sarjana Hukum itu berargumen seperti ini: di luar persoalan hukum dia menghormati ibunya tetapi dalam gugatan itu dia menjadi kuasa hukum ayahnya yang kini telah menjadi mantan suami ibunya.
Karena merasa memiliki kekuatan hukum, anak tega menggugat ibu kandungnya dan mengancam mengusirnya dari rumah. Hukum buatan manusia seakan-akan mengalahkan “hukum ilahi” yaitu relasi tak terputuskan antara anak dan ibu kandung.
Saya tidak bermaksud mengulas lebih jauh persoalan moralitas perbuatan anak yang menggugat ibu kandungnya. Di sini saya melihat hal yang mirip dengan salah satu kritikan Yesus kepada sekelompok orang Farisi dan ahli Taurat yang begitu legalistik. Karena alasan peraturan agama dan adat isti adat, kaum Farisi dan ahli taurat membenarkan tindakan mengesampingkan tanggungjawab anak untuk memelihara orangtua di masa tuanya.
Kaum Farisi dan ahli taurat membenarkan bila anak berkata kepada orangtuanya: “apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban – yaitu persembahan kepada Allah”. Tetapi hal seperti ini tidak dapat diterima oleh Yesus. Bagi Yesus perintah “hormatilah ayahmu dan ibumu” jauh lebih penting daripada mempersembahkan korban kepada Allah. Apa gunanya persembahan kepada Allah bila perintahNya “hormatilah ayahmu dan ibumu” diabaikan? Lebih buruk lagi bila persembahan kepada Allah hanya menjadi dalih semata untuk membenarkan diri sehingga anak melepaskan tanggungjawab terhadap orangtua.
Kaum Farisi dan ahli taurat memperhatikan pelaksanaan hukum dan adat isti adat keagamaan secara cermat, seperti persoalan najis dan tahir, persoalan membasuh tangan sebelum makan. Semuanya itu bagi Yesus hanya berhubungan dengan hal-hal lahiriah saja. Yang utama bagi Yesus adalah persoalan bathiniah. Dan mesti ada kecocokan antara yang batiniah dan yang lahiriah. Hal yang ada dalam bathin itulah yang terungkap secara lahiriah melalui tindakan, tidak terkecuali tindakan ritual. Bila dalam bathin terdapat kehendak yang positif dan ikhlas, tindakan lahiriah yang mengungkapkannya menjadi ikhlas pula. Sebaliknya bila bathin berkata lain tetapi pengungkapan lahiriahnya hanyalah sandiwara, itulah kemunafikan. Orang yang munafik dapat saja mengatur sikap dan argumennya sedemikian rupa sehingga seolah-olah benar berdasarkan adat isti adat, hukum dan peraturan agama. Tetapi pada saat yang sama kebenaran yang asli telah dengan sengaja diingkari dan diabaikan.
Berhadapan dengan kemunafikan kaum Farisi dan ahli taurat Yesus mengutip nabi Yesaya: “Bangsa ini memuliakan aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaku. Percuma mereka beribadah kepadaku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan adalah perintah manusia.”
Dengan sengaja mengabaikan kehendak Allah karena alasan peraturan dan hukum adalah sebuah kemunafikan. Tetapi Adat, kebiasaan, peraturan dan hukum buatan manusia juga pada dasarnya positif. Semuanya semestinya bertujuan menolong kita untuk semakin memuliakan Allah dengan hati dan bibir yang serentak dan selaras. Bila suatu kebiasaan tidak lagi mampu mewakili ungkapan hati yang memuliakan Allah, kebiasaan itu dapat diubah. Niat hati memuliakan Allah lebih utama, sedangkan pengungkapan lahiriahnya dapat disesuaikan. Maka keheningan bathin dalam doa seperti telah dijalani St. Skolastika dapat menjadi jalan bagi kita untuk mengenal kehendak Allah serta mewujudkannya dalam hidup nyata.
Foto: Sepak bola menyihir dunia, ilustrasi dari www.enciety.co
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.