IKA aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran” (1Tim. 3:15).
Pertanyaaan refleksi bagi kita: “Bagaimana kita harus hidup sebagai keluarga Allah?” Nasehat Santo Paulus dan penegasan Yesus di dalam Injil hari ini menjadi pedoman kita. Dalam hidup bersama kita harus mendasarkan diri kita pada Kristus sebagaimana pokok iman kita. Kita harus memiliki suatu prinsip dan keputusan dan tidak hidup dala garis “abu-abu” sebagaimana dalam Injil hari ini dikatakan: “kami meniup seruling bagimu tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak menangis” (Luk. 7:32). “Jika “Ya” katakanlah “Ya”dan jika “Tidak” katakanlah “Tidak” selebihnya adalah dari setan”.
Dalam konteks hidup kita yang kadang membuat ambigu oleh karena berbagai tawaran hendaknya kita memiliki suatu prinsip hidup bersama, yakni supaya kita sama-sama membangun tubuh mistik Kristus, yakni Gereja. Ini berarti kita harus menyingkirkan segala kepentingan pribadi, egoisme, demi hidup bersama sebagai keluarga Allah: hidup rukun, damai, saling memaafkan, saling membantu dengan ikatan kasih dan persaudaraan.
Tuhan Yesus, semoga aku selalu mengusahakan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi atau kelompokku. Mampukanlah aku untuk bertindak tegas pada diriku sendiri. Amin.
Sumber: Ziarah Batin 2017
Kredit Foto: Ilustrasi (Ist)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.