“Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak menangis” (Luk. 7:32). Yesus hendak melukiskan betapa sulitnya manusia untuk bersikap terbuka dan memiliki kerendahan hati menghargai serta menerima tawaran-tawaran kebaikan dalam diri orang lain. Kekerasan hati dan keangkuhan religius semacam inilah yang membutakan orang Farisi dan ahli-ahli Taurat untuk menerima kebaikan Allah melalui baptisan Yohanes (bdk. Luk. 7:30). Tawaran cinta Allah bahkan ditolak dengan pengabaian dan penistaan kehadiran Yohanes dan tindakan Yesus (bdk. Luk. 7:33-34).
Sikap acuh tak acuh, pengabaian dan pelbagai keangkuhan religius acapkali terjadi dalam kebersamaan hidup dengan sesama. Betapa sering tindakan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang dilabeli dengan nada sumbang. Betapa sering kita berdiam dalam menara gading religiusitas dan label ideologi, tanpa mau terbuka terhadap kebersamaan dengan sesama. Apa artinya bila kita menyebut diri beragam dan beriman kalau hidup dipenjara oleh kepentingan diri, suku, kelompok atau agama tertentu? Tawaran cinta Allah terbuka untuk semua orang. Sifat universalitas kasih Allah dikaruniakan kepada siapa saja. Beriman secara dangkal, sekadar identitas dengan pola pikir yang sempit, seperti halnya tong kosong yang nyaring bunyinya (bdk. 1Kor. 13:1). Semoga hidup kitqa menjadi berarti bagi sesama karena beriman secara benar.
Tuhan Yesus, semoga aku beriman kepada-Mu bukan hanya sekadar kata-kata belaka melainkan terlaksana juga dalam tindakan kebaikan bagi sesama. Amin.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.