DALAM khotbah di bukit Yesus bersabda kepada murid-murid-Nya, “Hati-hatilah, jangan sampai melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat. Karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga. Jadi, apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong supaya dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri di rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu, ‘Mereka sudah mendapat upahnya’. Tetapi jika engkau berdoa masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu, dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. Dan apabila kamu berpuasa janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu, ‘Mereka sudah mendapat upahnya’. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu supaya jangan dilihat orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”
Renungan
Abu melambangkan dukcita, ketidakabadian dan sesal/tobat (bdk.Est.4:1; Ayb.42;6; Dan 9;3 Yun.3;5-6). Dengan pemberian abu. Gereja mau mengingatkan kita akan ketidakabadian sehingga memanggil kita untuk hidup dalam semangat pertobatan sejati.
Abu ini juga mengajak kita sepanjang Prapaskah untuk mengarahkan hati kita kepada Kristus yang sengsara, wafat dan bangkit demi keselamatan kita. Penderitaan Kristus menjadi undangan terbuka kepada pertobatan (bdk. 2kor.6;2), sedangkan kebangkitan-Nya menjadi sumber harapan akan kualitas hidup yang lebih baik jika kita mau merenungkan menghayati dan mengenal firman-Nya. Dan kualitas hidup setiap orang beriman ditandai dengan doa, bermati-raga (berpantang dan berpuasa) serta beramal kasih kepada sesama (bdk.Mrk.6;1-6.16-18), bukan hanya pada Masa Prapaskah, tetapi setiap saat sepanjang masa hidupnya.
Semoga abu yang menandai awal Prapaskah ini mengingatkan diri kita sebagai gambar dan citra Allah, yang diciptakan dengan berbagai kelebihan dan kekurangan tetapi tetap dipanggil Tuhan kepada kekudusan dan kesempurnaan.
Ya Tuhan, arahkanlah hidupklu di masa penuh rahasia ini agar aku mamapu memberi diri melalui doa,berpantang-berpuasa serta beramal kasih, sehingga iman dan cinta kapada-Mu semakin mendalam dan kasih kepada sesama semakin bertumbuh subur. Amin.
Sumber: Ziarah Batin 2017
Kredit Foto: Abu, simbol ketakberdayaan manusia/Catholic Online
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.