SORONG – Sebanyak 146 Orang Muda Katolik (OMK) dari 25 paroki se-Keuskupan Manokwari-Sorong mengadakan rekoleksi bersama di Aula Katedral Lux ex Oriente, Sorong, Kamis (15/5). Rekoleksi diawali dengan ibadat singkat yang dipimpin oleh Sekretaris Komisi Kepemudaan (KomKep) KWI, Romo Antonius Haryanto.
Adapun tema rekoleksi yang didalami peserta, yakni Orang Muda untuk Orang Muda atau Youth for Youth. Menurut Romo Hary, tema yang direfleksikan ini bertujuan membantu orang-orang muda agar dapat menyadari kondisi mereka sebagai orang-orang muda dengan segala kehebatannya. Romo Hary mengajak sekaligus menantang orang muda Katolik untuk berani memasuki dunia mereka yang ditandai dengan berbagai pengamalan jatuh bangun oleh karena hasrat untuk mencari dan mencoba hal-hal yang baru.
“Dunia orang muda selalu ditandai dengan kekuatan luar biasa untuk berbuat sesuatu, sama seperti ketika Yesus berumur 12 tahun,” ungkap Romo Hary.
Romo Hary mengungkapkan kesadaran orang-orang muda dengan mengutip kisah hidup Yesus pada umur dua belas tahun dalam Bait Allah. “Sehabis hari-hari perayaan itu, ketika mereka berjalan pulang, tinggallah Yesus di Yerusalem tanpa diketahui orang tua-Nya”(Luk2:43).
Romo Hary mengatakan bahwa usia 12 tahun merupakan usia dimana seseorang mulai belajar menumbuhkan keyakinan diri. Maka pada usia ini orang-orang muda perlu belajar untuk menjadi orang Katolik itu harus bagaimana dan seperti apa.
Selain memiliki daya hidup yang luar biasa, orang muda itu selalu ingin bebas. “Seperti anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak muda” (Mzm. 127:4). Kebebasan yang dimiliki oleh orang-orang muda, menurut Romo Hary, merupakan anugerah Tuhan yang sudah semestinya dipergunakan dengan baik.
Pada kesempatan rekoleksi tersebut, Romo Hary juga memberi mengundang peserta untuk membagikan pengalaman hidup masing-masing. Felix Uskono, misalnya, membagikan pengalaman hidup pribadinya sebagai seorang anak yang kehilangan ayah ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
“Ada saat di mana saya merasa tidak memiliki harapan lagi untuk meneruskan pendidikan saya karena saya tidak mampu melihat ibu saya bekerja keras menafkahi kami, apalagi keluarga kami merupakan keluarga transmigran asal Nusa Tenggara Timur,” katanya.
Akan tetapi, menurut Felix, pengalaman hidup seperti itu justru memiliki arti penting bagi perjalanan hidupnya. Bagi keluarga kami, merantau itu bukanlah pertama-tama untuk memperkaya diri tetapi untuk merubah hidup menjadi lebih baik.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.