Hari Senin pada minggu kedua Sidang Umum FABC, 17 Oktober 2022 diawali dengan perayaan Ekaristi yang pimpin oleh H.E. Patrick Kardinal D’Rozario, CSC.
Bertempat di St Michael’s Hall, H.E. Charles Kardinal Bo, Presiden FABC memimpin doa pagi itu atas nama FABC, dan doa pagi ini dibuat secara virtual oleh negara Bangladesh. Untuk selanjutnya, H.E. Oswald Cardinal Gracias memberikan pengantar yang menjelaskan bagaimana sesi-sesi dalam minggu ini akan berfokus pada dialog pendalaman dokumen Kepausan dengan memperhatikan realitas yang sedang mencuat di Asia.
Anggota Kantor Urusan Teologi FABC, Uskup Gerald Matthias, seorang Teolog Moral, dan Pastor Nguyen Hai Tinh SJ, seorang pengajar Teologi Dogmatis, dari Institut Katolik Vietnam, memberikan pemaparan mengenai “Gereja Pasca-pandemi dan Tubuh Kristus”. Ia menjelaskan kemunduran yang diakibatkan karena pandemi, tetapi terlebih lagi hal-hal yang lebih penting yaitu peluang yang muncul akibat pandemi itu. Uskup Matthias menjelaskan bagaimana tubuh Kristus – Gereja – telah menderita, dan mengalami penyembuhan. Pastor Tinh mengatakan bahwa selama masa pandemi itu, Gereja rentan terhadap rasa sakit, penderitaan dan perubahan, namun Gereja juga menghidupi misteri Paskah dan Sinodalitas; Gereja bergerak menuju kepada kesembuhan dan kebersamaan. Uskup Matthias juga memaparkan jalan-jalan pastoral baru yang muncul selama masa pandemi – program dialog, formasi, evangelisasi digital, konservasi ekologis, dan menghidupkan kembali liturgi menjadi bagian pribadi bagi setiap orang.
Dalam pemaparan selanjutnya, Att. Antonio La Vina, seorang pengacara, pendidik dan pakar kebijakan lingkungan, dan Ibu Ridhima Pandey, seorang aktivis lingkungan dari India, berbicara tentang “Krisis Iklim dan Dampaknya di Asia”. Mencermati kondisi dan situasi krisis iklim saat ini, Att. Antonio La Vina menekankan pentingnya membalikkan dampak terburuk dari krisis iklim selagi masih memungkinkan. Ia mengundang setiap perwakilan untuk mengambil peran penting dalam penatalayanan dan kepemimpinan, serta mengusulkan serangkaian tindakan pokok yang dapat dibuat oleh Gereja, mulai dari lingkup lokal sampai pada pembuatan rencana global. Ia menyarankan agar seruan Laudato Si dijadikan sebagai sebuah kerangka rencana kerja.
Dengan menguraikan tragedi kehancuran ekologis di negara asalnya, Ridhima Pandey membagikan pengalaman upaya kampanye bagi anak-anak yang terkena dampak krisis iklim. Menggarisbawahi perlunya perubahan yang luas, ia melihat bagaimana anak-anak hari ini turun ke jalan membuat sebuah tindakan, karena generasi yang lebih tua tidak melakukannya. Melihat hal itu, ia mengatakan bahwa : “setiap derajat (pemanasan global) penting … kami membutuhkan bantuan anda”. Ms Pandey juga memperkenalkan film The Letter, sebuah pesan dari Paus Fransiskus kepada dunia, membahas aksi pemuda dan krisis iklim, yang diputarkan pada malam itu bagi para perwakilan.
Presentasi selanjutnya diberikan oleh Uskup Allwyn D’Silva, mantan kepala Meja Perubahan Iklim FABC. Ia memaparkan tema mengenai “Laudato Si: Panggilan untuk Penatalayanan yang Bertanggung Jawab”. Dalam pemaparannya tentang Ensiklik itu, ia meminta semua orang untuk mengidungkan kidung ciptaan. Ia menekankan bagaimana bumi adalah rumah bersama bagi semua, dan dengan merenungkan Kitab Kejadian kita diingatkan bahwa kita adalah pelayan bumi. Kita diminta untuk menjaganya. Mengulangi apa yang dikatakan oleh Ms Pandey, Uskup D’Silva memberikan pertanyaan reflektif, “dunia macam apa yang akan kita tinggalkan untuk generasi berikutnya?”. Ia juga menunjukkan bagaimana Laudato Si sangat terkait dengan ajaran sosial Gereja. Ia mengakhiri presentasinya dengan meminta para perwakilan untuk memimpikan Asia yang melibatkan komunitas Kristen, yang menjunjung tinggi hak-hak orang miskin dan melestarikan budaya lokal dan keindahan alam.
H.E. Lazzaro Kardinal You Heung-sik, Prefek Dikasteri untuk Klerus, mengemukakan “Refleksi Pembinaan Imam dalam Perubahan Epoca”. Ia bertanya “Gereja yang bagaimana, imam yang seperti apa, formasi yang seperti apa yang dibutuhkan sekarang ini?”. Kardinal You Heung-sik menyatakan bahwa semuanya kembali ke satu buku – Kitab Suci, Perintah Utama – saling mencintai dan satu tuan yaitu Tuhan. Dalam masa perubahan ini, Kardinal You menambahkan bahwa Gereja perlu menjadi Sinode, rumah dan sekolah persekutuan. Para imam yang dibutuhkan adalah imam yang mau menjadi murid sejati, mau dipanggil untuk melayani, mau bekerja sebagai sebuah keluarga. Pembinaan perlu dilaksanakan baik di rumah maupun di seminari. Ia menutup dengan menekankan pentingnya Sabda Allah sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Dalam sesi berikutnya, para perwakilan dibagi dalam kelompok untuk mengadakan diskusi dan refleksi tentang bagaimana nilai-nilai dan ajaran yang dipaparkan menjadi masukan bagi pastoral ke depan. Pertemuan ditutup dengan doa malam, ternasuk hindi bhajan dipimpin oleh H.E. Kardinal Bo.
Baca juga: Pesan Video Paus Fransiskus untuk Sidang Umum FABC 50
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.