Kisah cinta dan relasi manusia dengan alam saat ini sedang terkoyak. Covid-19 yang mewabah menandai situasi ini. Manusia harus mulai merevisi gambar dirinya dan merajut kembali cerita indah dengan alam.
Sudah tiga bulan, berbagai kota di Indonesia menjalankan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Di negara lain lebih ketat, mereka menerapkan lockdown. Ada yang sudah selesai dan mulai tenang, tapi banyak pula yang masih was-was. Virus Corona atau Covid-19 benar-benar menjadi ancaman bagi sebagian besar manusia dunia saat ini.
Dalam banyak diskusi dan refleksi disebutkan, wabah Covid-19 kali ini seolah menjadi tanda yang menyatakan bahwa manusia harus mengoreksi diri dalam berelasi dengan alam. Apa yang terjadi?
Kita menyadari hubungan manusia dengan alam semesta (khususnya bumi) seperti putus dan terbelah. Manusia yang sudah mendiami bumi berabad-abad lamanya ternyata tidak menjadikan bumi makin baik melainkan justru memperburuknya. Fenomena Covid-19 menjadi penanda kenyataan ini.
Maka pesan Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi Sedunia ke-54 kali ini yang diperingati pada Minggu, 24 Mei 2020 menjadi jawaban atas masalah ini. Saat ini, kata Paus, manusia harus kembali merajut cerita yang sudah terbelah, terkoyak ini.
Kita butuh cerita yang mampu memandang dunia dengan penuh kelembutan. Hidup kita harus menjadi kisah yang bisa menceritakan bahwa kita bagian dari permadani hidup dan saling terhubung. “Cerita yang mengungkapkan jalinan benang yang menghubungkan kita satu sama lain,”kata Paus Fransiskus.
Salah Tafsir
Selain Covid-19, pemanasan global menjadi bukti bahwa relasi itu telah dikoyak manusia. Jadwal musim kemarau, hujan, dan musim-musim lain kacau. Kebakaran dimana-mana, banjir makin menjadi, hutan gundul, binatang-binatang eksotis makin langka. Dan sekarang, penyakit semacam flu membuat bangsa-bangsa di dunia lemah lunglai tak berdaya.
Bumi sedang berduka, sayang banyak manusia tidak merasa bersalah karenanya. Di situasi wabah seperti ini, masih saja ada yang bilang,”Ah, itu hanya virus biasa. Kalau badan kita kuat, pasti virus itu juga lemah. Ini hanya masalah waktu dan kuat-kuatan antara kita dan virus.” Betapa sombongnya manusia yang telah diberi anugerah untuk mengelola bumi.
Amanat pengelolaan bumi (bdk. Kejadian 1:28) ini semestinya dianggap sebagai sesuatu yang suci dan bertanggungjawab. Sayang, manusia telah salah menafsirkan perintah Tuhan ini. Semuanya bermula dari situ. Pernyataan Filsuf Descartes yang menyebutkan kita adalah maître et possesseur de la nature (tuan dan pemilik alam semesta) membawa konsekuensi besar.
Sejak penafsiran itulah, manusia makin mengintensifkan kuasanya atas semesta ini. Setiap hari, pekan demi pekan, bulan demi bulan dan tahun berganti tahun hingga abad berganti abad, ilmu pengetahuan memperluas kemampuan manusia dalam menguasai bumi dan semesta alam.
Manusia makin canggih. Otomatis makin ahli dalam memanfaatkan bumi dan isinya. Sayang, kecanggihannya tidak disertai dengan kebijaksanaan. Manusia mereduksi alam sebagai sekumpulan objek yang kurang nilai dan artinya. Akibatnya, keindahan yang tak ternilai dari semua yang ada itu dilupakan.
Di beberapa tempat saat ini adalah masa panen padi. Seperti misalnya di Purwodadi, Jawa Tengah. Tanah-tanah bekas padi zaman sekarang sudah tak lagi bisa ditanam usai dipanen. Tanah-tanah itu harus dikerok bagian atasnya dan dibuang. Ini terjadi karena pupuk-pupuk yang tidak alami hasil pengetahuan manusia telah merusak tanah.
Ya, teknologi telah menguntungkan manusia di satu sisi, karena membuat hasil produksi tanaman berlimpah, dengan varietas yang unggul. Di sisi lain justru merusakan alam, tanah dan lingkungan sekitar.
Namun, lebih dari itu. Segala sumber daya alam cenderung dikuras habis, dieksploitasi tanpa pandang bulu. Ini fakta dan bukan khayalan. Silakan cek di berbagai tempat. Anda mau tidak mau menjawabnya ya atas masalah ini.
Kalau tidak, tentu saja tidak bakal ditemui hutan gundul di Kalimantan misalnya. Atau banyak gajah mati dibunuh hanya untuk gadingnya, ribuan hiu jadi bangkai hanya untuk diambil siripnya, orangutan tersingkir dan memunah karena dianggap mengganggu lahan sawit, hutan yang punya keanekaragaman hayati menjadi homogen tinggal kelapa sawit. Dan masih banyak lagi yang bisa disebutkan. Semuanya demi apa? Demi uang, dan nafsu manusia.
Revisi Gambar Diri
Kita semua yang sadar dengan situasi ini merasa sedih. Kita menyesal telah mencabik-cabik rumah kita sendiri, memporakporandakan gubuk bumi kita yang indah ini. Tak bisa dimungkiri yang dilakukan manusia terhadap alam ini bagai pelaut yang merusak kapalnya sendiri .
Ringkasnya, berbagai macam kerusakan alam dan munculnya wabah Covid-19 ini menuntut kita bercermin kembali. Manusia telah mencederai kisah cintanya dengan alam semesta. Cerita itu telah koyak. Karena itu, manusia harus memperbaiki gambar dirinya sebagai pengelola alam.
Citra dirinya harus direvisi. Kalau tidak, maka manusia mengingkari status ontologisnya sebagai mahkluk yang tergantung pada Sang Pencipta yang membuat langit dan bumi ini. Manusia tidak boleh melupakan status itu.
Kita harus menyadari bahwa alam semesta adalah pemberian, hadiah dari Sang Pencipta. Maka perlu disyukuri. Manusia harus menganggap bahwa semesta bukanlah benda dan objek yang harus dieksploitasi melainkan harus dipelihara dan diperlakukan sebagai sahabat.
Karena itu, mari kembali merajut kain persahabatan (manusia dan alam) ini yang sudah berlangsung berabad-abad. Kita ingin agar rasa sakit yang dialami bumi tidak makin menjadi-jadi. Kita tahu bahwa kesakitan yang dialami bumi juga pasti berimbas pada manusia dan makhluk lain yang menghuninya.
Kain relasi yang terkoyak itu telah membuat manusia menyadari kembali bahwa dirinya bukanlah subyek yang lepas dari alam semesta dan bumi ini melainkan bagian dari bumi ini. Selain manusia, ada makhluk-makhluk lain yang harus dihormati keberadaannya. Dan kita semua tergantung satu sama lain. Interdependensi atau saling ketergantungan ini merupakan kodrat yang tak bisa dihindari.
Alam Sebagai Tanda
Yang Mahaluhur, Mahakuasa, Tuhan yang baik,
milik-Mulah pujaan, kemuliaan dan hormat dan segala pujian.
Kepada-Mu saja, Yang Mahaluhur,
semuanya itu patut disampaikan,
namun tiada insan satu pun
layak menyebut nama-Mu.
Terpujilah Engkau, Tuhanku,
bersama semua makhluk-Mu,
terutama Tuan Saudara Matahari;
dia terang siang hari,
melalui dia kami Kauberi terang.
Dia indah dan bercahaya
dengan sinar cahaya yang cemerlang;
tentang Engkau, Yang Mahaluhur,
dia menjadi lambang.
Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena Saudari Bulan dan bintang-bintang,
di cakrawala Kaupasang mereka,
gemerlapan, megah dan indah.
Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena Saudara Angin,
dan karena udara dan kabut,
karena langit yang cerah dan segala cuaca,
dengannya Engkau menopang hidup makhluk ciptaan-Mu.
Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena Saudari Air;
dia besar faedahnya,
selalu merendah, berharga dan murni.
Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena Saudara Api,
dengannya Engkau menerangi malam;
dia indah dan cerah ceria,
kuat dan perkasa.
Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena saudari kami Ibu Pertiwi;
dia menyuap dan mengasuh kami,
dia menumbuhkan aneka ragam buah-buahan,
beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan.
Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena mereka yang mengampuni demi kasih-Mu,
dan yang menanggung sakit dan duka-derita.
Berbahagialah mereka,
yang menanggungnya dengan tenteram,
karena oleh-Mu, Yang Mahaluhur,
mereka akan dimahkotai.
Terpujilah Engkau,Tuhanku,
karena Saudari Maut badani,
daripadanya tidak akan terluput
insan hidup satu pun.
Celakalah mereka
yang mati dengan dosa berat;
berbahagialah mereka
yang didapatinya setia pada kehendak-Mu yang tersuci
karena mereka takkan ditimpa maut kedua.
Pujalah dan pujilah Tuhanku,
bersyukurlah dan mengabdilah kepada-Nya
dengan merendahkan diri serendah-rendahnya.
Kita harus belajar dari Santo Fransiskus Asisi yang dalam kesadarannya menyebut Sister Moon dan Brother Sun pada bulan dan matahari dalam Kidung Matahari di atas. Coba resapi kalimat demi kalimat. Anda akan menemukan keindahan dan kedalaman yang luar biasa.
Ya, pasti sapaan ini bukan sekadar keluar dari mulut tanpa penghayatan mendalam atas hubungan yang manis harmonis dengan alam. Kidung ini mengungkap pengalaman mistik yang luar biasa indahnya dari Fransiskus Asisi dalam berelasi dengan semesta.
Fransiskus menganggap alam semesta sebagai pernyataan diri Allah. Dia merupakan tempat berkumpulnya berbagai macam keindahan yang semestinya dipelihara dan dijaga sebagai taman dunia. Dia juga tanda yang menyingkapkan kebesaran dan kemuliaan Yang Ilahi dengan berbagai macam spesies yang hidup di dalamnya. Tak terhitung jumlah dan variasi bentuk serta rupanya.
Para ilmuwan yang betul-betul memanfaatkan pengetahuannya pasti akan terpesona dengan semua yang ditemuinya. Biarawan Ordo Agustinus peletak dasar teori dasar genetika, Gregor Johann Mendel (1822-1884) pernah mengungkapkan rasa syukurnya.
Ilmuwan botani kelahiran Heizendorf, kota kecil di Moravia utara (kini Republik Ceko) pernah bilang “My scientific studies have afforded me great gratification; and I am convinced that it will not be long before the whole world acknowledges the results of my work.”
Jauh sebelumnya, Pujangga Gereja Santo Agustinus (1591 – 1651) menyebutkan dunia ini sebagai sebuah mujizat. Bagi Agustinus, sebuah biji yang tampaknya sepele, kecil, tertutup apa pun jenisnya menyimpan sesuatu yang besar (magna quaedam res est) yang bakal menarik kita pada kekaguman.
Di abad yang lebih modern, Profesor Biologi Terapan dari Department of Anatomy and Developmental Biology of University College, London, Lewis Wolpert menyebutkan bahwa sel-sel yang merupakan unit dasar dari kehidupan mengungkapkan mujizat sejati dari evolusi.
Ilmuwan Inggris kelahiran Afrika Selatan yang pernah meneliti mekanisme perkembangan embrio ini mengatakan, “Meskipun kita belum mengetahui bagaimana sel-sel berevolusi, namun beberapa skenario yang masuk akal telah disajikan kepada kita. Memang ajaib, sel-sel itu tampak luar biasa.”
Selebrasi
Atas tanda-tanda dan mujizat itulah kita mestinya selalu bersyukur dan merayakan keindahan. Caranya, dengan memelihara dan menjaga keindahan itu setiap saat dan setiap waktu. Selebrasi atas alam semesta mesti menjadi bagian dari hidup sehari-hari dan menjadi komitmen nyata sebagai upaya merajut kembali kisah dan cerita manis dengan alam.
Kalaupun kita telah menoreh kisah yang suram lagi menyedihkan di masa lalu tentang bumi ini, seperti kata Paus, “Hendaklah kita tidak berhenti dengan penyesalan dan kesedihan, terikat pada kenangan menyakitkan yang memenjarakan hati. Melainkan membuka hati dan diri pada yang lain, pada visi yang sama dengan sang Narator.” (bdk. Pesan Paus Fransiskus di Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-54).
Bahkan, kata Paus, saat kisah buruk itu mengemuka kita dapat belajar untuk memberikan ruang bagi penebusan. “Di tengah-tengah keburukan, kita juga dapat mengenali kembali dinamisme kebaikan dan memberikannya ruang,”ujar Bapa Suci.
Dengan demikian kelak kita tidak akan malu menceritakan kepada anak cucu telah mewariskan bumi yang indah dan luar biasa kepada mereka. Dengan bangga kita akan menyampaikan kemuliaan Allah yang nyata dalam sikap dan tindakan memelihara alam semesta. Dengan bangga pula kita bisa ceritakan kisah-kisah manis tentang hubungan kita dengan sesama dan alam semesta yang maha dahsyat.
Maka, marilah menenun jalinan cerita indah ini bersama alam semesta yang telah disediakan bagi kita sebagai sarana untuk memuji Tuhan. Sehingga seperti Tuhan bicara pada Musa, demikian juga Ia juga bicara pada kita demikian: “Dan supaya engkau dapat menceritakan kepada anak cucumu tanda-tanda mujizat mana yang telah Kulakukan di antara mereka, supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah Tuhan!” (Kel 10:2).
Abdi Susanto, Jurnalis
Inspirasimu: Pesan Paus Untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-54
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.