ADA seorang tentara bernama Martinus yang hidup di Perancis pada abad keempat. Dalam suatu perjalanan militernya, ia berjumpa dengan seorang pengemis yang hampir mati kedinginan. Waktu itu, musim dingin sedang mendera bumi Perancis.
Melihat kondisi pengemis itu, Martinus jatuh kasihan. Ia turun dari kudanya. Sambil menatap pengemis itu, ia melepaskan mantolnya yang panjang yang membungkus tubuhnya. Lantas ia mengambil pedangnya. Beberapa saat kemudian ia memotong mantolnya itu. Lalu ia menyerahkan mantol itu kepada pengemis itu. Tidak lupa, ia juga memberikan sejumlah roti untuk pengemis itu. Hari itu, pengemis itu mengalami sukacita yang berlimpah-limpah.
Martinus meneruskan perjalanan kemiliterannya. Namun tidak lama kemudian, ia melepaskan baju kemiliterannya. Ia tersentuh oleh kondisi pengemis itu. Ia memberikan hidupnya untuk melayani sesama yang menderita. Ia mendorong sesamanya untuk mau peduli terhadap sesama yang menderita.
Di dunia kita sekarang ini ada begitu banyak orang yang mengaku beriman kuat kepada Tuhan. Mereka beribadat dengan tekun. Mereka membaca Kitab Suci setiap hari. Tetapi sering pula kita jumpai dari orang-orang seperti itu suatu sikap egoisme yang tinggi. Kepedulian terhadap sesama yang menderita begitu kurang.
Ada suatu pemisahan antara ibadat yang khusyuk dan praktik hidup sehari-hari. Ada begitu banyak orang di sekitar kita yang membutuhkan bantuan. Mereka menginginkan uluran tangan dari sesamanya demi kelanjutan hidup mereka. Namun harapan mereka seolah sia-sia belaka. Hati mereka menjerit. Namun tidak ada yang mendengarkan jeritan mereka.
Kisah Martinus memberikan suatu inspirasi bagi kita untuk memiliki suatu sikap iman yang benar kepada Tuhan. Martinus tidak perlu banyak bicara untuk membantu sesamanya yang sedang menderita. Ia tidak perlu membaca Kitab Suci dulu baru memberikan setengah dari mantolnya untuk pengemis yang kedinginan. Hatinya terbuka untuk sesama yang menderita. Hatinya begitu mudah tersentuh oleh duka nestapa sesamanya. Hasilnya, sesamanya yang menderita itu mengalami sukacita. Ia menemukan kebahagiaan. Inilah suatu bentuk penghayatan iman yang benar. Tidak ada pemisahan antara ibadat yang khusyuk dengan praktik hidup.
Sebagai orang beriman, kita semua dipanggil untuk menghayati iman dalam hidup sehari-hari. Iman yang sering merupakan pengetahuan saja mesti menjadi nyata dalam hidup sehari-hari.
Untuk itu, kita mesti memiliki kepekaan hati. Kita mesti memiliki hati yang terbuka kepada sesama yang ada di sekitar kita. Ada begitu banyak orang yang butuh uluran tangan kita. Janganlah kita menggenggam erat tangan kita. Tetapi mari kita buka tangan dan hati kita lebar-lebar untuk sesama yang kita jumpai. Kalau ini yang kita buat, akan ada begitu banyak orang yang mengalami kebahagiaan dalam hidup. Ada sukacita berlimpah dalam hidup ini. Tuhan memberkati.
Photo credit: Ilustrasi (Ist)
Imam religius anggota Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ); sekarang Ketua Komisi Komsos Keuskupan Agung Palembang dan Ketua Signis Indonesia; pengelola majalah “Fiat” dan “Komunio” Keuskupan Agung Palembang.