Gereja Katolik, Publikasi Kanonik, Keluarga Katolik, Tata Tertib, Katekese, Umat Katolik, Yesus Juruselamat, KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, Komsos KWI, Gereja Katolik, Umat Katolik, Gereja Katolik, Katekese, Ajaran Katolik

Pendahuluan

 Secara yuridis, perayaan atau peneguhan perkawinan katolik tunduk pada berbagai ketentuan yang digariskan oleh otoritas gerejawi yang berwenang. Di antara ketentuan yang dimaksud adalah menyangkut publikasi kanonik atau pengumuman nikah yang wajib  dilakukan  sebelum sebuah perkawinan diteguhkan sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam kanon 1067 Kitab Hukum Kanonik 1983.

Berkaitan dengan publikasi kanonik ini, seringkali muncul pertanyaan dan komentar yang menggelitik di kalangan umat  beriman berkaitan dengan  maksud atau tujuannya, bahkan sebagian terkesan menganggapnya  hanya sekedar untuk memenuhi sebagian tuntutan  administratif-formal untuk menikah  dan  karena itu kurang terlalu mendapat perhatian yang  serius. Hal ini barangkali  disebabkan  oleh  minimnya informasi atau keterbatasan  pengetahuan. Tulisan  kecil  ini  coba  menawarkan  jawaban  yang  dapat menjadi  bahan refleksi  bagi umat beriman, terutama  para gembala umat yang melayani sakramen,  khususnya sakramen perkawinan.

Latar Belakang Sejarah

Penelusuran atas catatan sejarah Gereja memperlihatkan bahwa ketentuan menyangkut  kewajiban untuk melakukan  publikasi kanonik sebelum perkawinan dirayakan  dinyatakan  dalam kanon 51 ”De poena contrahentium clandestina matrimonia”, dari  Konsili Lateran IV tahun 1215. Hal  ini dimaksudkan untuk mencegah perkawinan klandestin (bdk. G. Alberigo, et.al, Conciliorum oecomenicorum decreta,  Bologna 1991, hlm. 258). Sebelum  dikeluarkannya ketentuan ini, pengumuman secara publik  di gereja terkait perkawinan yang akan dilangsungkan hanya dilakukan di beberapa daerah saja dan belum menjadi sebuah praktek yang umum.

Dalam perkembangan selanjutnya, Konsili Trente tahun 1563 (Sess. XXIV, De ref. Matri., c. 1)  membuat ketentuan yang lebih jelas dengan menegasan bahwa sebelum perkawinan dirayakan, nama-nama pihak yang hendak menikah harus diumumkan secara publik di gereja dalam  Misa oleh para pastor paroki dari kedua belah pihak pada tiga hari suci  berturut-turut (Waterworth, The Canons and Decrees of the Sacred and Œcumenical Council of Trent, London, 1848, hlm. 196).

Publikasi kanonik tersebut  dibacakan dari mimbar dan biasanya dipublikasikan dalam buletin Mingguan paroki. Kodeks 1917 dalam kanon 1024  secara eksplisit  menegaskan bahwa pengumuman harus dilakukan  “tribus continuis diebus dominicis aliisque festis de praecepto”, artinya tiga hari Minggu berturut-turut dan hari raya lainnya yang diwajibkan ”quae populus frequens accedat”, yang sering dihadiri umat. Kodeks baru 1983, di lain pihak, secara umum menyinggung hal ini  dalam kanon 1067 dan memberikan kewenangan kepada Konferensi Para Uskup untuk menentukan norma-norma terkait pengumuman nikah tersebut.

Publikasi Kanonik, Apa Itu ?

Publikasi kanonik atau pengumuman nikah dapat didefinisikan  sebagai  sebuah  penyampaian wajib dari otoritas gerejawi yang berwenang, casu quo pastor paroki, kepada umat beriman  yang  berisikan  tentang  rencana perkawinan dari pasangan calon mempelai,   biodata, agama, tempat tinggal, paroki dan informasi lain yang relevan.

 Jadi, pengumuman ini  bersifat publik dan tidak boleh disampaikan secara diam-diam. Pengumuman  tersebut  disampaikan kepada seluruh umat beriman di paroki yang bersangkutan dan juga  umat beriman lainnya dengan mengikuti kebiasaan atau tata cara yang ditetapkan oleh otoritas gerejawi yang berwenang.

Tujuan Publikasi Kanonik

 Perkawinan merupakan sebuah institusi yuridis yang memiliki relevansi  publik,  baik dalam tataran hukum kanonik maupun  sipil serta memiliki implikasi religius, moral dan sosial yang besar. Atas dasar itu maka kita dapat memahami  ratio legis  dibalik kewajiban publikasi kanonik yang disampaian kepada komunitas umat beriman terkait rencana perkawinan dari  calon pasangan tertentu. Jadi, publikasi ini dituntut  demi menjawabi kebutuhan akan pro bono publico, kebaikan dan kesejehteraan bersama.

Publikasi kanonik merupakan instrumen yuridis  untuk memproteksi  validitas perayaan perkawinan. Dengan kata lain, publikasi itu  digunakan untuk mencegah terjadinya peneguhan perkawinan yang  invalid karena mengandung cacat tertentu. Atas dasar itu maka siapa saja yang mengetahui adanya hal-hal tertentu yang secara pasti dapat  menjadi halangan bagi kedua calon pasangan tersebut untuk menikah (bdk. Kan. 1069) wajib  menyampaikannya  kepada otoritas gerejawi yang berwenang  (pastor paroki atau Ordinaris Wilayah).  Halangan yang dimaksudkan di sini adalah halangan  yang menggagalkan perkawinan, seperti ikatan perkawinan sebelumnya, impotensi, hubungan darah, beda agama, dan lain sebagainya.

Dalam hal ini, laporan  kepada otoritas gerejawi yang berwenang merupakan sebuah kewajiban moral dan yuridis. Laporan ini hendaknya didukung oleh data yang objektif dan tidak boleh ditunda-tunda apalagi  didiamkan  hanya  karena  pertimbangan ketidak-nyamanan psikologis tertentu  atau demi menjaga hubungan baik dengan  calon pasangan atau keluarga besar. Kelalaian dalam hal  melapor  dapat  membawa  efek  negatif tertentu di kemudian hari. Laporan tersebut dapat  disampaikan  secara langsung  atau pun  secara tertulis dan menghindari sejauh mungkin  cara-cara vulgar  yang dapat menimbulkan kegaduhan publik dan mencederai nama baik seseorang.

Penanggung Jawab

Dalam konteks yurisdiksi gerejawi, penanggung jawab  pengumuman nikah atau publikasi kanonik adalah pastor  paroki  yang bertanggung jawab  atas perayaan  perkawinan tersebut.  Kanon 1067 secara eksplisit  menyebut figur pastor paroki dalam hubungan dengan tanggung jawab ini. Sebagai pastor paroki, ia  harus memastikan bahwa publikasi kanonik tersebut dilakukan secara  seksama sebelum melangkah lebih lanjut ke tahap peneguhan perkawinan.

Tanggung jawab ini tidak dapat dipandang sepele karena mengandung konsekuensi tertentu. Atas dasar itu maka, menjadi tanggung jawab dari pastor paroki untuk memastikan ketepatan data dari pasangan yang  hendak menikah dengan melakukan verifikasi dokumen  yang perlu sebelum diumumkan secara publik. Kekeliruan dalam hal biodata calon, misalnya, tidak boleh terjadi karena dapat menimbulkan efek psikologis tertentu, kendati dapat diperbaiki pada waktunya.

Modalitas, Tempat dan Masa Berlaku

Norma kanonik tidak menggariskan secara detail terkait modalitas, tempat dan masa berlaku publikasi kanonik dan memberikan kewenangan tersebut  kepada Konferensi Para Uskup untuk mengaturnya sesuai dengan keadaan dan kebutuhan konkret (bdk. kan. 1067). Konferensi Para Uskup Italia, misalnya menetapkan bahwa publikasi kanonik dilakukan dengan cara  menempelkan lembar pengumuman perkawinan pada  papan pengumuman paroki dengan data pribadi  (nama lengkap, tempat dan tanggal lahir) domisili, status perkawinan dan profesi. Lembar pemunguman  tersebut harus tetap berada di situ  sekurang-kurangnya selama delapan hari berturut-turut   termasuk  dua hari raya (bdk. Conferenza Episcopale Italiana, Decreto Generale sul Matrimonio Canonico, no. 12).

 Selain itu, pengumuman nikah dilaksanakan di paroki domisili atau kuasi domisili atau di tempat di mana mereka   yang hendak menikah  tersebut  tinggal selama sebulan lamanya. Jika mereka belum setahun lamanya  bertempat tinggal  di tempat itu,  pengumuman nikah harus dilaksanakan di paroki  domisili sebelumnya, kecuali ditentukan lain oleh Ordinaris setempat.  (bdk. Decreto Generale sul Matrimonio Canonico, no. 13)

Untuk konteks Indonesia, Para Uskup  regio Jawa dalam Ketentuan Pastoral Keuskupan Regio Jawa  2018  menggariskan beberapa ketentuan  praktis  menyangkut  modalitas dan  tempat publikasi kanonik. Pada pasal 116 dari Ketentuan Pastoral tersebut ditegaskan beberapa hal penting sebagai berikut:

Pertama, pengumuman rencana perayaan perkawinan dilakukan tiga kali dalam semua perayaan Ekaristi pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya pesta wajib di paroki-paroki tempat calon mempelai katolik memiliki domisili atau kuasi domisili atau tempat tinggal sebulan, dan sejauh dibutuhkan diparoki tempat asal baptis, khususnya bagi pengembara.

Kedua, pada tempat-tempat  di mana tidak setiap hari Minggu  diselenggarakan perayaan Ekaristi, atau jika Ordinaris Wilayah menggangapnya layak, pengumuman rencana perkawinan dapat dilakukan dengan cara lain, misalnya secara tertulis dan dicantumkan pada papan pengumuman paroki atau dimuat dalam  berita dan majalah paroki setempat.

Ketiga, jika calom mempelai telah memiliki domisili atau kuasi domisili aktual selama tiga bulan, maka pengumuman nikah cukup diadakan di paroki domisili atau kuasi-domisili aktual tersebut. Di lain pihak, jika belum genap tiga bulan, maka pengumuman rencana perkawinan  juga harus dilakukan di paroki domisili atau kuasi-domisili sebelumnya.

Keempat, dalam konteks perkawinan campur (antara orang baptis katolik dan orang baptis bukan katolik/mixta religio) dan  perkawinan beda agama (antara orang baptis katolik dan orang tidak baptis/disparitas cultus), yang akan dirayakan dengan izin atau dispensasi dari Ordinaris Wilayah, pengumuman rencana perkawinan dilakukan  di paroki pihak katolik.  

Mengingat bahwa Konferensi Para Uskup se-Indonesia sejauh ini belum menggariskan complementary norms  seturut norma kanon 1067 terkait modalitas  publikasi kanonik, maka berbagai ketentuan  yang dikeluarkan oleh Para Uskup regio Jawa ini  dapat  juga  dipakai sebagai rujukan normatif bagi keuskupan-keuskupan  lain di Indonesia  dengan tetap menghormati otonomi  masing-masing keuskupan.  

Dalam hubungan dengan masa berlaku publikasi kanonik, Kitab Hukum Kanonik juga tidak menyinggung apapun. Tampaknya hal ini  juga diserahkan kepada Konferensi Para Uskup untuk mengaturnya  sesuai dengan  konteks  situasi di wilayah  gerejawi  tersebut.  Konferensi Para Uskup Italia, misalnya menetapkan masa berlaku  enam bulan pada pengumuman nikah. Hal itu berarti bahwa  jika  perayaan perkawinan tidak diselenggarakan dalam tempo enam bulan setelah pengumuman terakhir, maka pengumuman nikah harus diulangi, kecuali kebijakan Ordinaris Wilayah menentukan lain (bdk. Decreto Generale sul Matrimonio Canonico no. 14).

Dispensasi dari Publikasi Kanonik

Sekalipun publikasi kanonik merupakan sesuatu yang wajib dilakukan,  namun di lain pihak, dalam kasus tertentu otoritas gerejawi yang berwenang dapat memberikan kelonggaran atau dispensasi. Konferensi Para Uskup Italia, menetapkan bahwa Ordinaris Wilayah dapat memberikan dispensasi  dari kewajiban publikasi kanonik ini jika ada alasan yang wajar dan masuk akal (bdk. Decreto Generale sul Matrimonio Canonico no. 14).  Penyebutan ’Ordinaris Wilayah’ di sini merujuk pada Uskup Diosesan, Vikaris Jenderal dan Vikaris Episkopal. Sementara itu, Para Uskup regio Jawa memberikan kewenangan kepada para pastor paroki dan vikaris parokial untuk memberikan dispensasi (bdk. Ketentuan Pastoral Keuskupan Regio Jawa, pasal 116, n. 5). Ketentuan terkait siapa otoritas yang berwenang dalam memberikan dispensasi tentu sangat bergantung pada keputusan masing-masing Konferensi Para Uskup, dan jika hal ini tidak ada, pada  keputusan  masing-masing Uskup Diosesan.  Memberikan kewenangan kepada pastor paroki dan vikaris parokial  tentu  dapat  dipertanggung jawabkan secara  yuridis-pastoral, namun dalam situasi tertentu, konsultasi  dengan Ordinaris Wilayah  tetap dibutuhkan, bahkan menjadi sebuah keharusan, sebelum memberikan dispensasi yang dimaksud.

Dispensasi  hanya dapat diberikan jika ada alasan yang wajar dan masuk akal. Identifikasi  alasan yang wajar dan masuk akal dikonfigurasikan sebagai tindakan diskresi dari otoritas yang berwenang memberikan dispensasi. Alasan pemberian dispensasi sangat  bergantung pada situasi dan kondisi riil saat itu,  misalnya, keduanya telah lama hidup bersama dan  umat  di paroki berkeyakinan  bahwa mereka sudah menikah; atau  mereka sudah berusia lanjut  dan  berniat  untuk menghindari pergunjingan di tengah umat. Secara umum, alasan-alasan inilah yang membenarkan perlindungan nama baik atau kebutuhan yang beralasan dan masuk akal akan kerahasiaan  terkait perayaan pernikahan dan  juga data-data pribadi yang  termuat dalam publikasi tersebut.

Keputusan terkait pemberiaan dispensasi dari pengumuman nikah  merupakan tanggapan terhadap kebutuhan serius yang proporsional, paling tidak sama seriusnya dengan pentingnya menyampaikan kepada publik atau umat beriman tentang rencana perkawinan yang akan dilangsungkan pada waktu mendatang. Oleh karena itu, dispensasi tidak dimaksudkan untuk melawan siapa pun, apalagi untuk melunakkan atau menyulut kembali pertikaian di antara pihak-pihak tertentu. Pemberian dispensasi dalam kasus-kasus khusus dapat dipandang sebagai  perwujudan  caritas pastoralis  Gereja, yang tidak bersikap kaku dan rigoristis, tetapi sebaliknya,  lentur terukur  dalam  situasi  tertentu  demi kebaikan umat beriman.  

Penutup

 Sekalipun terdapat ruang bagi dispensasi, publikasi kanonik atau pengumuman nikah menjadi bagian penting dari keseluruhan persiapan perkawinan  dan bukan sekedar  untuk memenuhi syarat administratif-formal. Penegasan Gereja  tentang hal ini bersentuhan  erat dengan  dimensi perkawinan sebagai lembaga yuridis yang selain mengandung relevansi publik  juga memiliki implikasi religius, moral dan sosial.

Para gembala umat, caso quo pastor paroki harus memberikan perhatian serius terhadap publikasi kanonik ini. Termasuk memberikan pencerahan seperlunya kepada umat,  khususnya menyangkut tanggungjawab moral mereka untuk  menyampaikan kepada otoritas gerejawi yang berwenang  ketika  mengetahui  adanya halangan tertentu  yang harus  verifikasi lebih lanjut   sebelum  perkawinan dilangsungkan. Dengan cara ini, umat beriman  mengambil bagian dalam setiap  peneguhan perkawinan  secara valid dan  licit.