PUASA dan pantang orang katolik bukan soal makan-minum semata. Makan-minum hanyalah salah satu bentuk. Maka, puasa orang Katolik tidak akan terganggu atau tergantung dengan urusan jual beli makanan di warung-warung makan.
Orang katolik tidak akan melarang warung-warung makan untuk buka, apalagi sampai mengeluarkan semacam Surat Pastoral. Para penjual makanan-minum tidak akan dipersalahkan karena jualan mereka dikira bisa membatalkan puasa. Tidak sama sekali.
Puasa-pantang orang katolik terkait dengan pengendalian diri demi nilai-nilai yang lebih luhur. Yang dikendalikan adalah diri sendiri, bukan orang lain. Jika ada niat untuk berpuasa dan perpantang, maka daging B2 atau RW di warung sebelah yang seenak apapun tidak akan dimakan.
Itulah sebabnya, Gereja merumuskan beberapa aturan puasa dan pantang sebagai berikut. Puasa (dalam arti yuridis) berarti mengurangi makan atau minum. Makan kenyang hanya sekali sehari. Yang wajib berpuasa ialah semua orang Katolik yang berusia 18 tahun sampai awal tahun ke-60. Hari Puasa dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung.
Pantang berarti memilih pantang daging, atau ikan atau garam, atau jajan atau rokok. Yang wajib berpantang ialah semua orang Katolik yang berusia genap 14 tahun ke atas. Hari Pantang dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan tujuh Jumat selama Masa Prapaska sampai dengan Jumat Agung.
Bila dikehendaki masih bisa menambah sendiri puasa dan pantang secara pribadi, tanpa dibebani dengan rasa bersalah bila melanggarnya. Mengapa?
Tekanan utama puasa-pantang orang katolik adalah sikap batin, pertobatan, penyangkalan dan pengendalian diri, dan tanda berempati dengan orang miskin. Puasa merupakan latihan rohani yang mendekatkan diri pada Tuhan dan sesama.
Berpuasa memurnikan hati orang dan mempermudah pemusatan perhatian waktu berdoa. Dengan berpuasa orang menata hidup dan tingkah laku rohaninya. Dengan berpuasa, orang mengungkapkan rasa lapar akan Tuhan dan kehendak-Nya dengan mengorbankan kesenangan dan keuntungan sesaat demi merasakan sedikit penderitaan Yesus demi keselamatan dunia.
Dengan berpuasa-pantang, orang mengurangi keserakahan dan mewujudkan penyesalan atas dosa-dosanya. Puasa membebaskan diri dari ketergantungan jasmani dan ketidakseimbangan emosi untuk membantu orang mengarahkan diri kepada Tuhan dan sesama.
Selama 40 hari orang mengurangi kelekatan duniawi dan kesenangan sesaaat entah menyangkut makanan, minuman, maupun menyangkut hobi, sikap dan prilaku. Puasa diisi dengan kegiatan seperti doa, pendalaman iman dan juga niat-niat pribadi untuk tidak main game, merokok, mencuri, menipu, berzinah, memfitnah, memukul apalagi sampai melempar-lempar orang.
Dalam puasa-pantang, orang memang mengurangi porsi makan dan minum (bukan malah menambah biaya belanja). Ini bukan soal pelit, bukan pula soal diet, melainkan soal berbagi. Dengan mengurangi porsi, biaya belanja makan-minum juga dihemat. Uang hasil penghematan ini lalu dikumpulkan dalam kotak atau amplop Aksi Puasa Pembangunan (APP) dan akan disumbangkan untuk orang miskin.
Yesus bersabda. “Apabila kamu berpuasa, Janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu Dan cucilah mukamu Supaya jangan dilihat orang bahwa engkau sedang berpuasa. Melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:16-18).
Penulis: Pastor Joseph Pati Mudaj, Msf, Imam asal Indonesia, saat ini sedang bertugas di Christ the King Parish Kota Caloocan, Filipina
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.