Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Prosedur Pemindahan Pastor Paroki

Prosedur Pemindahan Pastor Paroki

Pemindahan Pastor Paroki hal yang biasa

Seperti pada umunya pemindahan jabatan baik di lingkungan sipil pemerintahan maupun Gereja katolik adalah suatu hal yang biasa. Hal yang biasa karena pemindahan (mutasi) merupakan hal yang normal dilakukan demi penyegaran baik bagi pejabat itu sendiri maupun orang yang dilayaninya. Disamping itu alasan lainkarena masa jabatannya telah selesai. Bagaimana dengan pemindahan PastorParoki? Gereja Katolik Indonesia belum memiliki norma umum yang ditetapkan oleh KWI tentang batas waktu lamanya jabatan pastor paroki, jadi pemindahan pastor paroki sesuai dengan kebijakan Uskup diosesan setempat. Meskipun Kitab Hukum Kanonik menetapkan norma bahwa jabatan Pastor Paroki haruslah mempunyai sifat tetap, maka haruslah diangkat untuk jangka waktu yang tidak ditentukan; ia dapat diangkat oleh Uskup diosesan untuk jangka waktu tertentu,jika diperkenankan oleh Konferensi para Uskup setelah ada dekret penetapan (bdk. Kan 522).Kenyataan tidak jarang pemindahan Pastor Paroki menjadi persoalan yang pelik dan melelahkan pimpinan Gereja. Ketidakmauan pastor untuk pindah meski telah menerima surat pemindahan dari Uskup diosesan merupakan sesuatu hal yang bertentangan dengan maksud KHK 1983. Kan. 1748 menyatakan prinsip dari pemindahan pastor paroki adalah “demi kasih Allah dan jiwa-jiwa yang dilayaninya” Pastor paroki hendaknya mengindahkan perintah Uskup Diosesan jika harus pindah. Oleh karena itu, teladan Pastor Paroki yang siap sedia untuk pindah jika diinginkan oleh Uskup diosesan merupakan hal yang patut dicontoh oleh semua imam baik diosesan maupun religius.

Makna pemindahan Pastor Paroki

Kesan umum pemindahan Pastor Paroki diartikan negatif (karena ada kasus maka dipindah). Itulah pandangan yang keliru. Pada hal maksud utama pemindahan adalah positif meskipun ada pemindahan karena alasan negatif. Kanon berikut ini menjadi prinsip dan alasan yuridis mengapa pastor paroki pindah. Kanon 1748 menyatakan: ”Jika kesejahteraan jiwa-jiwa atau kepentingan maupun manfaat Gereja menuntut agar seorang Pastor Paroki dipindahkan dari Paroki yang dipimpinnya dengan bermanfaat ke paroki lain atau ke tugas lain, Uskup hendaknya mengusulkan kepadanya perpindahan itu secara tertulis dan menyarankan agar demi kasih akan Allah dan jiwa-jiwa ia menyetujuinya”. Jadi ada 2 hal pokok mengapa dipindahkan: pertama, karena demi kasih akan Allah (alasan Pastoral) dan kedua, demi kesejahteraan jiwa-jiwa (alasan Spiritual-eskatologis).

Bagaimana prosedurnya?

Prosedur pemindahan Pastor Paroki (Imam diosesan) berbeda dengan Pastor Paroki (Imam tarekat). Bagi Pastor Paroki yang imam diosesan prosedurnya melalui: (1) usulan dari Dewan imam atau Pastor Paroki di dekenat/kevikepan dimana pastor itu bekerja, atau oleh Pastor Paroki yang bersangkutan karena masa jabatannya telah berakhir. Usulan itu ditulis dalam bentuk surat dan dikirimkan kepada Uskup. Usulan itu juga dapat datang dari pihak Uskup diosesan sendiri. (2) Setelah menerima usulan tersebut Uskup dapat memanggil Dewan imam untuk rapat konsultatif atau memanggil dua orang Pastor Paroki yang dipilih guna menimbang alasan dan usulan pemindahan (bdk. Kann. 1750; 1742). (3) Pemindahan itu karena alasan positif: Pastor Paroki dipromosikan untuk jabatan lain karena kemampuan dan kecakapan Pastor tersebut untuk menduduki jabatan baru dengan alasan kebutuhan pastoral demi kasih Allah dan Gereja serta demi penyelamatan jiwa-jiwa. Karena alasan negatif: apabila pelayanan seorang PastorParoki karena suatu hal merugikan atau sekurang-kurangnya menjadi tidak berdaya guna (bdk. Kan 1740). Untuk itu disebutkan beberapa hal (bdk. Kan. 1741):

  1. cara bertindak Pastor yang sangat merugikan atau mengacau komunitas gerejawi;
  2. kurangnya pengalaman atau kelemahan jiwa atau badan yang bersifat tetap, yang membuat Pastor Paroki itu tidak cakap untuk melaksanakan tugasnya dengan bermanfaat;
  3. hilangnya nama baik di kalangan warga paroki yang saleh dan berwibawa atau ketidaksukaan terhadap Pastor Paroki yang diperkirakan tidak akan berhenti dalam waktu singkat;
  4. pelalaian berat atau pelanggaran tugas-tugas paroki yang berlangsung terus meski sudah diperingatkan;
  5. pengelolaan harta benda secara buruk, yang sangat merugikan Gereja, setiap kali keburukan itu tidak dapat diatasi dengan cara lain.

(4) Uskup diosesan dapat memanggil Dewan imam atau dua orang Pastor Paroki terpilih dari dewan imam untuk memeriksa, meneliti apa yang telah nyata dilakukan Pastor Paroki nyata-nyata terdapat alasan yang disebut dalam kanon 1740.  (5) Jika dalam rapat konsultasi itu menilai bahwa Pastor Paroki itu harus diberhentikan dan dipindahkan, Uskup dapat memanggil Pastor tersebut dan meyakinkan secara kebapaan agar menerima pemindahan tersebut. Menurut aturan dalam waktu lima belas hari pastor harus menjawab surat pemindahan itu dan segera meninggalkan paroki tersebut serta menempati Paroki yang baru sejak dekret pemindahan diterima dari Uskup diosesan (bdk. Kan. 1742). Prosedur ini sebaiknya didahului dengan dialog (komunikasi dari hati ke hati) yang dijiwai oleh semangat persaudaraan dan kebapaan antara Uskup dengan Pastor tersebut.

Jika Pastor Paroki tidak mau pindah

Sangat jarang Pastor Paroki tidak mau pindah, tetapi ada juga kasus dimana PastorParoki tidak mau pindah dengan alasan yang dibuat sendiri. Ini yang membuatUskupnya kepala pusing dan  bisa jatuh sakit. Bagaimana mengatasinya? Jika dalam tempo lima belas hari (waktu guna), Pastor Paroki tidak memberi jawaban atas dekret pemindahan, maka Uskup diosesan hendaknya mengulangi anjurannya dengan memperpanjang waktu guna untuk menjawab (bdk. Kan. 1744, §1). Jika pasti bagi Uskup bahwa Pastor Paroki tersebut telah menerima anjurannya yang kedua, tetapi tidak mau menjawab atau menolak pindah tanpa mengajukan alasan-alasannya maka Uskup hendaknya mengeluarkan dekret pemberhentian (bdk. Kan. 1744, §2). Jika Pastor Paroki menyanggah perkara (rekursus) yang dikemukakan beserta alasan-alasan yang dinilai Uskup tidak mencukupi maka Uskup memanggil Pastor tersebut untuk:

  1. memeriksa akta dan mengumpulkan sanggahan dalam laporan tertulis bahkan bukti-bukti sebaliknya;
  2. mempertimbangkan perkara itu bersama dua Pastor Paroki yang dipilih (bdk. Kan. 1742), kecuali tidak memungkinkan;
  3. akhirnya Uskup memutuskan apakah Pastor Paroki itu harus diberhentikan atau tidak dan harus segera membuat dekret pemberhentian (bdk. Kan. 1745)

Jika Pastor Paroki itu diberhentikan Uskup hendaknya mengusulkan agar ia diberi tugas lain. Pastor Paroki yang diberhentikan hendaknya meninggalkan rumah pastoran dan harus menyerahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan Parokitersebut kepada orang yang diserahi tugas Paroki itu oleh Uskup. Jika mengenai seorang Pastor Paroki yang sakit yang tidak dapat dipindahkan dari rumah pastoran ke tempat lain, Uskup hendaknya membiarkan dia menggunakan rumah pastoran itu secara eksklusif selama kepentingan itu masih berlangsung, sampai dia sehat kembali (bdk. Kan. 1747, § 1-2).

Bagi Pastor Paroki dari tarekat religius tidak menggunakan prosedur pemindahanseperti imam diosesan. Ketentuan pemindahan Pastor Paroki dari tarekat religius mengikuti norma kanon 682: “Pastor Paroki  dari imam religius dapat dipindahkan dengan bebas dari jabatan yang diberikan kepadanya atas kehendak otoritas yang memberikan setelah memberitahu Pemimpin religius (Provinsial Tarekat), atau atas kehendak pemimpin religius itu, setelah memberitahu yang memberi jabatan itu, tanpa dituntut persetujuan pihak yang lain. Intinya Uskup diosesan cukup menyampaikan kepada Provinsial usulan tentang pemindahan atau pemberhentian Pastor Paroki dari imam tarekat religius. Demi kaul yang diikrarkannya (ad votum) Pastor Paroki dari tarekat religius harus pindah sesuai dekret pemindahan dari Uskup diosesan. Semoga bermanfaat.

 

Oleh: Romo D. Gusti Bagus Kusumawanta, pr