Pada 18 Desember 2023, Dikasteri untuk Doktrin Iman (DDI) mengeluarkan Deklarasi “Fiducia Supplicans”. Deklarasi yang berisi 45 nomor ini telah disetujui oleh Paus Fransiskus. Dokumen ini membahas mengenai MAKNA PASTORAL dari pemberkatan. Sebagai umat Katolik, kita perlu membaca isi utuh dari dokumen itu. Dengan demikian, kita bisa menyaring berbagai berita: mana yang benar, mana yang hoax dan mana tafsiran serta framing berita. Berikut poin-poin penting dari dokumen tersebut:

Pertama, melalui Deklarasi ini, Vatikan tetap teguh pada doktrin tradisional Gereja tentang pernikahan. Pernikahan hanya antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Jadi, makna “pemberkatan” dalam dokumen ini sebenarnya adalah “doa” atau “mendoakan”.

Kedua, Gereja tidak memiliki kuasa untuk “menyetujui pernikahan sesama jenis” melalui pemberkatan dan doa.

Ketiga, menghindari sesuatu yang bukan perkawinan diakui sebagai perkawinan. Oleh karena itu, TIDAK DAPAT DITERIMA segala ritus dan doa yang dapat menciptakan kebingungan mengenai apa yang dimaksud dengan perkawinan. Perkawinan bagi Gereja merupakan “persatuan yang eksklusif, stabil, dan tidak dapat diceraikan antara seorang pria dan seorang wanita, yang secara alamiah terbuka untuk kelahiran anak. Semua persekutuan yang bertentangan dengan ini tidak dapat diterima.

Keempat, orang yang meminta berkat (doa) menyatakan diri bahwa ia membutuhkan kehadiran Allah yang menyelamatkan hidupnya. Meminta berkat (doa) di dalam Gereja berarti mengakui bahwa kehidupan Gereja berasal dari kerahiman Allah dan menolong kita untuk maju, untuk hidup lebih baik, dan untuk menjawab kehendak Tuhan.

Terkait hal ini, Paus Fransiskus pernah menegaskan: “ketika seseorang meminta berkat (doa), dia mengungkapkan permohonan akan bantuan Tuhan, permohonan untuk hidup lebih baik, dan keyakinan pada Bapa yang dapat membantu kita untuk hidup lebih baik”.

Kelima, dari sudut pandang liturgis yang ketat, sebuah pemberkatan menuntut bahwa apa yang diberkati haruslah sesuai dengan kehendak Allah, sebagaimana dinyatakan dalam ajaran Gereja. Berkat dirayakan berdasarkan iman dan diarahkan untuk memuji Allah dan untuk kepentingan rohani umat-Nya.

Keenam, mereka yang memohon berkat Allah melalui Gereja diundang untuk “menguatkan disposisi mereka melalui iman, yang karenanya segala sesuatu menjadi mungkin” dan percaya pada “kasih yang mendorong ketaatan pada perintah Allah. Pemberkatan terhadap orang, tempat, dan benda tidak boleh bertentangan hukum atau semangat Injil.

Ketujuh, Gereja selalu menganggap bahwa hubungan seksual hanya DIPERBOLEHKAN dan SAH secara moral jika dilakukan dalam perkawinan yang sah. Dengan kata lain, hubungan seksual yang oleh sesama jenis tidak diperbolehkan secara moral. Bahkan tindakan itu bertentangan dengan moralitas Kristiani.

Kedelapan, pelayanan pastoral mesti mewujudkan “wajah Allah” yang mengasihi manusia tanpa syarat. Maka, pelayan Gereja mesti melakukan pelayanan tanpa menunggu pemohon berkat memiliki sikap dan kehidupan moral yang sempurna. Pelayan pastoral jangan menjadi hakim yang hanya menyangkal, menolak, dan mengucilkan. Dengan kata lain, Gereja tidak boleh “membuang” lesbian, gay atau homoseksual. Mendoakan mereka diizinkan sejauh tindakan itu merupakan ungkpan kasih sayang kepada mereka yang membutuhkan pertolongan Tuhan.

Kesembilan, sekali lagi, orang meminta berkat karena membutuhkan kehadiran Allah yang menyelamatkan. Maka, pasangan-pasangan yang berada dalam situasi irregular (tidak sesuai hukum Gereja) dan pasangan sesama jenis dapat diberkati. Akan tetapi, bentuk pastoral pemberkatan itu TIDAK BOLEH DITETAPKAN SEBAGAI RITUAL oleh otoritas Gereja. Pemberkatan ini juga tidak boleh menyerupai ritus pemberkatan perkawinan. Berkat yang diberikan kepada pasangan sesama jenis merupakan “doa permohonan pertolongan Tuhan bagi mereka yang berpaling padaNya.

Kesepuluh, seseorang hendaknya tidak menyediakan atau mempromosikan sebuah ritual untuk pemberkatan bagi pasangan-pasangan yang berada dalam situasi irregular (hidup dalam perkawinan tidak sesuai Hukum Gereja). Namun, seseorang hendaknya tidak menghalangi atau melarang kedekatan Gereja dengan orang-orang dalam setiap situasi di mana mereka dapat mencari pertolongan Allah melalui berkat sederhana.

Kesebelas, berkat (doa) yang diberikan kepada pasangan dalam situasi irregular dan sesama jenis, tidak boleh diberikan bersamaan dengan upacara perkawinan karena tidak ada kaitannya dengan upacara tersebut. Tetapi dengan mendoakan pasangan sesama jenis, bukan berarti Gereja mengakui atau menetapkan status mereka sebagai perkawinan.

Keduabelas, berkat kepada pasangan dalam situasi irregular dan sesama jenis diberikan dalam konteks, seperti: saat bertemu seorang imam secara personal, doa yang diucapkan dalam sebuah kelompok atau saat berziarah.  Jadi, berkat itu tidak diberikan melalui bentuk-bentuk ritual liturgi, tetapi diberikan sebagai ungkapan hati keibuan Gereja.

Ketigabelas, berkat yang diberikan kepada pasangan dalam situasi irregular dan sesama jenis bukan sebagai persetujuan atas persekutuan mereka. Oleh karena itu, berkat bagi mereka tidak boleh dilakukan dengan pakaian liturgis, gerak tubuh, kata-kata dan ritual yang sesuai dengan perkawinan.

Semoga poin-poin ini membantu umat Kristen Katolik memahami dokumen Gereja “Fiducia Supplicans” secara bijaksana. Umat Kristen Katolik tentu dipanggil untuk menyaring segala berita dan informasi sebelum sharing (membagikan) berita dan informasi itu. Tuhan memberkati.

Bandung, 19 Desember 2023

Pst. Postinus Gulö, OSC