Beranda OPINI Editorial Pewarta yang Komunikatif

Pewarta yang Komunikatif

Mirifica e-news (https://www.mirifica.net)
05 Februari 2011 21:59
Pewarta yang Komunikatif

Berkotbah, adalah suatu metode yang dipakai oleh  kaum agamawan untuk menyampaikan tuntunan etik dan religius kepada jemaatnya. Melalui khotbah audiens diberikan informasi, diyakinkan dan kemudian diajak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pada zaman, dimana media siar pandang-dengar(radio dan televisi) belum memiliki pengaruh  yang signifikan, mimbar-podium merupakan sarana yang paling efektif untuk kotbah dan penyampaian ajaran.  Areopagus misalnya, dipakai oleh Santu Paulus untuk menyampaikan ajaran-ajarannya kepada khalayak. Khalayak mengikuti,mendapat informasi yang memadai, tergerak hatinya dan akhirnya bertobat dan percaya kepada Kristus. (bdk.Kis.17:19) Yesus sendiri dalam karya-Nya di depan publik menggunakan kemampuan retorik podium untuk menyampaikan doktrin-doktrin iman. Bayangkan, lima ribu orang ,tidak terhitung anak-anak dan kaum perempuan dapat dengan tekun mengikuti semua yang disampaikan Yesus. (mat 14:21). Ada suatu kemampuan khusus yang dimilikinya.

Dalam sebuah pertemuan komunikasi, seorang peserta pernah mengatakan begini: saya tidak mau membatasi diri dengan bingkai paroki tertentu. Saya akan dengan bebas memilih gereja mana akan saya kunjungi. Bila saya mau menginginkan koor yang bagus, saya akan datang ke paroki A. Akan tetapi kalau saya ingin mendapatkan pengkhotbah yang baik, saya akan datang ke paroki B.

Oportunis kah sikap itu? Saya sungguh yakin bahwa peserta itu sangat memahami gagasan askese dalam gereja Katolik, tetapi tentu beliau tidak menghendaki askese yang muncul karena kelalaian  memepersiapkan khotbah yang baik dan berbobot. Kita perlu melihat pemicunya yakni inkapabilitas pewarta kabar gembira yang semakin sering ditemukan dalam gereja kita. Malah ada semacam tren baru  bahwa semakin banyak orang tertawa dalam gereja saat berkotbah, semakin bagus kotbahnya.  Kotbah akhirnya menjadi sebuah pentas humor-lawak. Para pewarta terkadang terjebak dalam popularitas simplistik dalam mewartakan kabar gembira melalui podium suci.

Dari perspektif komunikasi, paling kurang ada tiga ragam seni (art) yang perlu dihayati oleh seorang pengkhotbah kabar gembira:

Pertama: Ars Intelligendi:   Pengkhotbah harus memiliki konsep dan pengetahuan yang memadai tentang apa yang hendak dia sampaikan. Ia sendiri harus mendalami bahan, mencari referensi-refrensi pendukung. Disini, peran intelek menjadi pentingl. Walaupun Sabda Allah itu adalah wahyu buat perilaku, ia harus dipertanggungjawabkan secara logis dan epistemologis.

Kedua: Ars Aplicandi: Kemampuan untuk memberikan kesaksian tentang meaning (makna) dari Sabda yang diwartakan. Ada kesesuaian antara apa yang disampaikan di mimbar khotbah dengan apa yang dihidupi-dihayati dalam keseharian. Seorang pengkhotbah adalah seorang saksi.

Ketiga : Ars Explicandi: yaitu kemampuan untuk menjelaskannya secara benar, baik dan menarik kepada audiens. Pertanyaan: mengapa kebanyakan para pewarta tak mampu menyampaikan secara komunikatif kepada khalayaknya? Jawabannya adalah, tidak ada proses apropriasi, dalam arti pengkotbah (komunikator) tidak mampu  menjadikan pesan itu sebagai bagian dari dirinya. Dia mentranfer pesan kepada audiens tetapi dia sendiri tidak memilikinya. Ada  distansi antara dirinya dan pesan (isi) yang  dia sampaikan.

Seorang komunikator Kabar Gembira  adalah dia yang mampun menjadikan verbum caro factum est (Sabda menjadi daging:  khotbah yang membumi). Dan hal itu dapat tercapai kalau setiap pewarta menyadari dan menjadikan sebagai panduan pewartaannya: ars intelligendi, ars explicandi dan ars aplicandi.

Rm.Agus Alfons Duka, SVD

Sekretaris Eksekutif Komisi Komsos KWI