Beranda OPINI Petani Penggarap

Petani Penggarap

Tetapi ketika penggarap-penggarap itu melihat anaknya itu, mereka berkata seorang kepada yang lain: Ia adalah ahli waris, mari kita bunuh dia, supaya warisannya menjadi milik kita.” (Mat 21, 38)

ANGGOTA  kelompok dampingan di Bojongmeros, Majenang adalah para petani yang mengolah sawah. Sebagian dari mereka mempunyai sawah sendiri. Tetapi sebagian lain merupakan petani penggarap.

Petani penggarap tidak mempunyai sawah sendiri, tetapi mengolah sawah milik orang lain dengan sistem sewa atau bagi hasil. Mereka bukan pemilik sawah, tetapi merupakan orang yang diberi kepercayaan untuk menggarap agar sawah bisa menghasilkan sesuatu.

Tugas dan tanggungjawab sebagai seorang penggarap sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam kelompok tani atau dunia pertanian, tetapi juga berlaku pada bidang yang lain. Para imam ditempatkan di sebuah paroki dengan maksud untuk membangun jemaat setempat agar mereka semakin berkembang dalam banyak aspek.

Mereka ditugaskan sebagai penggarap dan bukan pemilik atau penguasa. Para religius atau guru ditempatkan di sebuah sekolah agar mereka mendampingi, membina dan mendidik para siswa. Para religius atau guru pun bukan pemilik atau penguasa atas sekolah dengan segala isinya. Banyak orang mendapatkan tugas sebagai penggarap atau pengelola sebuah karya, lembaga, komunitas, pelayanan atau kerasulan tertentu.

Mereka tidak hanya mengelola aset atau harta benda, tetapi juga mengelola sumber daya manusia. Tugas sebagai penggarap atau pengelola smemberikan penyadaran bahwa segala sesuatu yang ada di sekitar kita merupakan ‘titipan’ Tuhan pada kita. ‘Titipan’ yang harus digarap dan dikelola secara bertanggung jawab dan bukan untuk dikuasai atau dimiliki. Godaan yang sering muncul adalah keinginan para penggarap untuk menjadi ahli waris, yakni memiliki dan menguasai demi kepentingan diri sendiri.

Teman-teman selamat pagi dan selamat berkarya. Berkah Dalem.

Kredit foto: SPI