SUATU kali di jalur Pantura, dibangun sebuah jembatan. Ada tukang-tukang bangunan, sebagai pekerja. Untuk mengkoordinasinya, ada pula lalu Pak Mandor. Salah seorang Pak Mandor, adalah seorang pria-gagah-wibawa. Ia pindah kerja, semula menjaga keamanan sebuah gedung gereja besar di Ibukota Provinsi Jawa Tengah.
,
Berhari-hari, mereka, para tukang-bangunan, di bawah koordinasi Pak Mandor, bekerja. Demi kelancaran aktivitas para warga-negara. Sebagai manusia pekerja, mereka butuh support makan. Untuk itu, tiap hari seorang wanita, datang ke lokasi projek kerja. Dia jual porsi-porsi makan sega dan lauknya. Itulah peran dan pentingnya seorang wanita berprofesi sebagai bakoel-sega.
Meskipun bakoel-sega (penjual nasi), ia adalah seorang wanita. Yang tentu punya naluri kewanitaan. Ingin dekat dengan pria. Tak sebentar dua bentar, namun seterusnya. Sayang yang terkena panah naluri kewanitaan itu adalah Pak Mandor gagah wibawa. Akhirnya mereka pandang bertemu pandang, senyum dibalas senyum. Terjadilah skandal keluarga.
Tak tahu, apa dipengaruhi santet, atanu tenung, semar mesem. Pak Mandor kemanthil-manthil sama si wanita, si bakoel sega. Parah juga karena si wanita masuk dalam kategori, ‘wong wadon ilang isine’. Tiap kali si wanita datang ke rumah Pak Mandor di Ibukota provinsi. Tak pandang, tak bulu, padahal Si Pak Mandor sudah punya anak istri. Malah mereka keluarga sakramental. Dulu menikahnya secara sakramen di Gereja Katolik.
Keluarga Pak Mandor yang sakramental, lalu merasa risih. Mereka sepakat, merelakan ‘bapak’-nya, jika memang mau pergi, dengan Wanita, si Bakoel sega itu.
Suatu saat, Pak Mandor, dengan Si Bakoel sega memang lalu nikah kampung, alias nikah siri. Mereka tinggal di jalan ke arah Limpung, dari jalur Pantura. Puluhan tahun hidup menikah secara siri. Lalu pula, karena menikah lagi, menjadikan dia tak lagi jadi katolik sejati. Puluhan tahun tak menggereja.
Anak-anak yang ditinggal di Ibukota provinsi, tumbuh jadi dewasa, diasuh oleh ibu aslinya. Mereka berenam, sebagian besar tetap katolik. Bahkan ada yang jadi pengurus gereja. Suatu saat mereka dengar bapaknya, si Pak Mandor mulai tidak sehat. Anak-anak itu tetap menaruh kasih, dan tiap kali lalu datang ke Limpung, ngaruhke Bapaknya.
Si Bapak, Pak Mandor Pria Wibawa, sesudah puluhan tahun tak menginjak gedung gereja, suatu kali lalu ingat untuk doa ke sana. Ketika agak sehat, lalu ia ke gereja. Dia sadar, karena menikah lagi, maka lalu tak berani komuni.
Selama dua pekan terakhir, Pak Mandor Pria Wibawa, mulai tak normal komunikasinya. Kadang konek, kadang tak konek. Anak pertama, dari istri pertama, pagi-pagi datang ke gereja, cerita tentang bapaknya. Pastor Paroki lalu datang ke rumah Pak Mandor, di tempat istri Si Bakoel Sega. Lalu bicara-sana-sini, semampunya.
Oleh Pastor Paroki, diputarkan lalu sebuah kaset, isinya rekaman lagu Gregorian. Lagu itu didengarkan dengan seksama. Sesudah rampung putaran pertama, Si Pak Mandor bilang, ‘Wah adhem rasane, ngrungokke lagu iki….’
Di akhir cerita, Pak Mandor Pria Wibawa, dipanggil Tuhan. Umat pada berdatangan. Lalu diupacarakan pemakaman secara katolik. Meski bertempat di si Wanita Bakoel Sega yang jilbaban. Di kebumi-an di pemakaman kristen-Tionghoa.
Inilah hidup iman, tak sesuku, tak seiman, namun tetap terbuka bagi yang bertobat. Dan mau kembali.
Meski Bakoel-Sega, ia adalah wanita. Dalam wanita ada naluri, ada hati, ada eros. Tentu pula lalu ada hasrat. Di situ pula ada pesona. Jika komitment tak kuat, Pria Gagah Wibawa-pun, bisa jatuh kerena pesona.
Wasalam:
-peng-oedoed ’76-
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.