MIRIFICA.NET – Baru-baru ini seorang rekan imam menyampaikan sebuah pendapat pribadi menyangkut pasangan Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT). Dengan berbagai pendasaran argumentatifnya, ia mengharapkan agar pastor katolik dapat memberkati pernikahan pasangan LGBT (https://www.ucanews.com/news/indonesian-priest-sparks-same-sex-marriage-storm). Pendapat pribadi yang dipublikasikan di media massa ini memantik beragam reaksi, baik dari kalangan rekan-rekan imam maupun kaum awam yang berujung pada klarifikasi si rekan imam terkait pendangannya tersebut (https://mediaindonesia.com/surat-pembaca/407874/klarifikasi-dosen-stfk-ledalero-otto-gusti-terkait-pernikahan-lgbt). Klarifikasi seperti ini perlu dihargai. Apalagi ia sepertinya sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang akademisi yang berusaha membunyikan alarm kepeduliaan kritisnya dengan menganalisa secara filosofis sikap Gereja terkait pasangan LGBT dari perspektif Hak Asasi Manusia, menentukan kaidah penjelasan ilmiahnya, memformulasikan hakekat hukum kodrat lalu merekonstruksi pertanggungjawaban rasionalnya.
Dalam konteks diskusi rasional, pendapat “lain” yang bersifat pribadi perlu dihormati sekalipun terkadang memberikan kejutan tak terduga yang membikin dahi berkerut apalagi jika pendapat “lain” tersebut meluncur dari mulut seseorang yang tidak pernah kita duga sebelumnya dan pendapat tersebut berpotensi menimbulkan getaran. Namun barangkali kita perlu membiasakan diri dengan “kejutan” sambil berusaha untuk tetap membangun kesiagaan kritis. Tulisan sederhana ini hanya sekedar memberikan pertimbangan menyangkut basis argumentasi Gereja terkait larangan memberkati pasangan LGBT dengan merujuk pada Kitab Hukum Kanonik 1983 dan berbagai dokumen resmi Gereja.
Status Hubungan Pasangan “LGBT”
Dalam hukum sipil, sekurang-kurangnya di beberapa negara, status hubungan pasangan LBGT diakui dan bahkan mendapat perlindungan legal tertentu. Hal ini tentu berbeda dalam pandangan Gereja katolik. Dalam Kitab Hukum Kanonik kita tidak menemukan satu kanon pun yang berbicara tentang status hubungan pasangan sesama jenis/LGBT.
Jika hubungan pasangan LGBT dipahami sebagai sebuah hubungan yang bersifat stabil antara dua orang berjenis kelamin sama yang berkeinginan untuk membentuk kebersamaan hidup seperti halnya dalam perkawinan, maka hal ini tentu bertentangan secara langsung dengan paham perkawinan katolik yang berdasarkan hukum kodrat (saya memahami hukum kodrat dalam terang pemikiran Thomas Aquinas Summa Theologica, I-II, q.91, a.1. dan Katekismus Gereja Katolik nn. 155-160) dan argumentasi biblis (seturut interpretasi otoritatif Magisterium) melihat perkawinan sebagai sebuah perjanjian antara dua orang yang berkelamin berbeda, yakni seorang pria dan seorang wanita. Perjanjian perkawinan ini terarah kepada (ordinatum ad) terwujudnya kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak (bonum prolis). Keterarahan ini dipandang sebagai tujuan (finalitas) perkawinan sekalipun secara teknis yuridis, kan. 1055, §1, tidak menggunakan kata ‘tujuan’ (seperti dalam kan. 1013, §1 Kodeks 1917). Kesejahteraan suami-istri antara lain dinyatakan dalam actus conjugalis atau hubungan seksual sebagai aktualisasi konkrit dari cinta suami-istri (amor conjugalis) dan penyerahan diri timbal balik (Bdk. KHK, kan. 1057, §2). Secara moral-yuridis, hubungan seksual ini hanya dapat dilakukan oleh dua orang dari jenis kelamin yang berbeda, yakni seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Pada titik inilah kita dapat memahami mengapa Gereja katolik sangat menekankan prinsip heteroseksual atau dualitas seksual. Untuk dapat “beranak cucu dan bertambah banyak”, sesuai mandat Sang Pencipta (Kej. 1:28; 2:18-24), dan dengan ini berpartisipasi dalam karya penciptaan-Nya, dituntut sebuah relasi timbal balik antara dua jenis kelamin yang berbeda (Bdk. Yohanes Paulus II, Surat kepada Keluarga, Gratissimam sane, n. 7). Selanjutnya, hubungan seksual, yang harus dilakukan secara manusiawi (humano modo) dan natural (bukan diluar relasi seksual yang natural!) ‘terarah kepada’ kelahiran anak. Hal ini tidak berarti bahwa setiap hubungan seksual harus menghasilkan anak, tetapi bahwa suami-istri harus membuka diri terhadap kelahiran manusia baru; menyadari secara sungguh-sungguh bahwa hubungan seksual itu mengandung aspek prokreatif, dan bukan semata-mata untuk memuaskan hawa nafsu belaka. Jika karena satu dan lain alasan (mandul, usia tua atau penyakit lainnya) hubungan seksual tersebut tidak menghasilkan anak, maka hal ini sama sekali tidak mengurangi atau merusak kesejahteraan suami-istri tersebut, melainkan tetap memiliki makna sebagai ungkapan cinta dan pemberian diri timbal balik. Pencermatan terhadap status hubungan pasangan LGBT dan pertentangannya dengan hakekat perkawinan katolik, sebagaimana diuraikan secara singkat diatas, merupakan point of departure yang baik untuk memahami alasan dibalik larangan Gereja memberkati pasangan LGBT.
Larangan Pemberkatan Pasangan “LGBT”
Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman tentang relasi antara sakramentali (sacramentalia) dan pemberkatan (benedictio) . Sakramentali adalah tanda suci, yang dengan cara mirip sakramen (sacramentorum imitatio), menandakan hasil-hasil, terutama spiritual, dan diperoleh melalui perantaraan Gereja (KHK, kan. 1166). Konsili Vatikan II menyatakan bahwa melalui sakramentali itu, hati manusia disiapkan untuk menerima buah utama sakramen-sakramen dan menyucikan berbagai situasi hidup (Sacrosanctum concilium, n. 60). Sakramentali tidak memberi rahmat Roh Kudus seperti dibuat sakramen, tetapi hanya mempersiapkan oleh doa Gereja, supaya menerima rahmat dan bekerja sama dengannya (Katekismus Gereja Katolik, n. 1670).
Pemberkatan termasuk dalam kategori sakramentali. Pemberkatan dapat diberikan oleh imam (KHK, kan, 1169, §2) dan terutama diberikan kepada orang-orang katolik, dapat diberikan pula kepada para katekumen, bahkan juga kepada mereka yang bukan katolik, kecuali Gereja menghalanginya (KHK, kan. 1170). Dengan pemberkatan, Gereja mengajak dan mendorong kita untuk memuji dan memohon perlindungan-Nya, serta mendesak kita untuk mencari belas kasihan-Nya dengan kekudusan hidup kita. Jika sakramentali telah ditetapkan sebagai tanda suci yang mirip sakramen, maka pemberkatan adalah tanda yang memberikan efek-efek spiritual yang diperoleh dengan perantaraan Gereja. (Rituale Romanum, De bendictionibus, Praenotanda Generalia, n.9).
Agar permohonan pemberkatan untuk sebuah relasi manusiawi sesuai dengan hakekat sakramentali, maka selain intensi yang benar dari mereka yang terlibat di dalamnya, juga dituntut bahwa relasi yang dimohonkan berkat tersebut harus secara obyektif dan positif diarahkan untuk menerima rahmat dan mengungkapkannya sesuai dengan rancangan Allah yang tertulis dalam ciptaan dan dinyatakan sepenuhnya oleh Kristus Tuhan. Hanya relasi yang dengan sendirinya diarahkan untuk melayani tujuan-tujuan tersebut yang sesuai dengan hakekat pemberkatan yang diberikan oleh Gereja.
Atas dasar itulah maka tidaklah pantas (illicit) untuk melakukan pemberkatan terhadap hubungan yang stabil sekalipun, yang melibatkan aktivitas seksual di luar perkawinan (yaitu, di luar hubungan yang tidak terputuskan dari seorang pria dan seorang wanita yang dengan sendirinya terbuka bagi kelahiran manusia baru) , seperti dalam hubungan di antara pasangan yang berjenis kelamin sama/LGBT. Bagi Gereja katolik, hubungan seperti ini bertentangan dengan hukum kodrat, karena kelanjutan kehidupan baru yang diperoleh melalui relasi seksual tidak mungkin terjadi. Hubungan tersebut tidak berasal dari suatu kebutuhan benar untuk saling melengkapi secara efektif dan seksual (Bdk. Katekismus Gereja Katolik, n. 1357).
Adanya hal-hal positif yang dirasakan oleh pasangan sesama jenis kelamin tersebut dari relasi yang mereka bangun, tidak dengan sendirinya membenarkan hubungan tersebut dan menjadikannya objek yang sah untuk mendapat pemberkatan secara gerejawi mengingat bahwa hal-hal positif yang ada dalam konteks hubungan sesama jenis, tidak diarahkan kepada rencana Sang Pencipta. Pemberkatan terhadap pasangan seperti ini tidak dapat dianggap sebagai hal yang pantas sebab dapat menimbulkan kesan keliru seolah-olah hal ini mirip dengan pemberkatan pengantin; sebuah pemberkatan yang merujuk pada kisah penciptaan, di mana berkat Allah atas laki-laki dan perempuan berhubungan dengan menghasilkan buah (Kej 1:28) dan saling melengkapi (Kej 2: 18-24).
Gereja secara tegas melarang segala bentuk pemberkatan yang cenderung mengakui hubungan sesama jenis kelamin. Jika pemberkatan tetap diberikan maka hal tersebut memperlihatkan tiadanya niat dari pihak Gereja untuk mempercayakan pasangan tersebut kepada perlindungan dan pertolongan Tuhan, sebaliknya menyetujui dan mendorong pilihan dan cara hidup yang secara objektif tidak dapat diakui sebagai cara hidup yang dikehendaki Allah sendiri sejak awal mula; sebuah hubungan yang tidak memberikan jaminan bagi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan budaya yang sehat.
Konsekuensi Yuridis
Berbagai pertimbangan menyangkut larangan pemberkatan pasangan sejenis, sebagaimana diuraikan secara singkat, disarikan dari pernyataan resmi Gereja melalui Kongregasi Ajaran Iman pada tanggal 22 Pebruari 2021 (Bdk. Kongregazione per la Dottrina della Fede, Responsum ad un dubium circa la benedizione delle unioni di persone dello stesso sesso). Pernyataan ini telah mendapat persetujuan dari Paus Fransiskus sebagai otoritas tertinggi Gereja katolik sedunia.
Sebagai konsekuensinya, pernyataan otoritatif ini harus diterima dengan penuh ketaatan religius dari budi dan kehendak (KHK, kan. 752), khususnya oleh para imam katolik. Mereka diharapkan untuk tetap menjalankan reksa pastoral sehari-hari dengan setia di bawah bimbingan magisterium dan menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran tersebut. Jika seorang imam katolik, dengan tahu dan mau melakukan propaganda gencar atas nama pembelaan terhadap hak-hak pasangan sesama jenis/LGBT menentang pernyataan resmi Gereja terkait pasangan sejenis atau melakukan pemberkatan terhadap pasangan tersebut – dan setelah diperingatkan, tidak menyesal dan terus membuat skandal – , maka tindakannya tersebut dapat dikenai sanksi hukum secara bertahap, tak terkecuali pencabutan jabatan tertentu; sebuah sanksi yang diperlukan demi mencegah atau memperbaiki skandal.
Penutup
Gereja tidak melarang pemberkatan terhadap pribadi atau individu dengan kecenderungan kepada relasi sesama jenis/LGBT yang berkeinginan untuk hidup dalam kesetiaan pada rencana Allah yang diwahyukan sebagaimana diajarkan oleh Gereja. Yang dilarang Gereja hanyalah pemberkatan terhadap pasangan sesama jenis/LGBT yang membangun hubungan yang intim layaknya “perkawinan”. Larangan seperti ini tidak boleh dipandang sebagai sebuah hukuman atau tindakan diskriminatif dari pihak Gereja. Ada alasan mendasar dibalik larangan seperti itu. Tentu tidak semua pihak menerima sikap Gereja seperti ini, khususnya pasangan LGBT itu sendiri dan para simpatisannya, baik dari luar maupun dari kalangan internal Gereja.
Ketika saya hendak mengakhiri tulisan ini, cerita tentang pembelaan Santo Paulus dalam sidang Aeropagus melintas dalam pikiran. Setelah orang-orang banyak mendengar pembelaan Paulus, ada yang mengejek, dan yang lain berkata: “lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu”. Tetapi beberapa orang lain menggabungkan diri dengan Paulus dan menjadi percaya (Kis, 17:16-34). Barangkali setelah membaca tulisan kecil ini pun, ada yang mengejek “lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu”. Syukur kalau tidak, tetapi kalau pun ada, mau bilang apa. Saya cuma memberikan pendapat sekenanya saja dengan penalaran biasa-biasa saja.
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.