Aku sebagai makhlum societas
Dalam buku Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) yang ditulis oleh Armada Riyanto, CM, mengatakan bahwa, “Konsep tentang societas dapat diringkas dalam elaborasi relasionalitas Aku dan Liyan (Yang Lain). Tetapi, dalam pengalaman peradaban sehari-hari anaka gambaran tentang Liyan kerap reduktif di sekitar pojok-pojok kemah kehidupan marginal, vulnerable, isolatif. Ideologi jelas menciptakan zona isolatif; masyarakat agamis punya kecenderungan memproduksi zona itu juga (yang patut disayangkan).”
Dari pernyataan di atas, ingin menyatakan bahwa aku (manusia) adalah mahkluk societas. Kenapa aku disebut sebagai makhluk societas? Karena aku selalu berelasi dengan orang-orang yang berada disekitarku. Dalam kehidupan sehari-hari, aku tidak dapat dipisahkan dari dari relasionalitas. Dalam societas, aku dibentuk menjadi manusia yang selalu membutuhkan orang lain. Membutuhkan orang lain di sini bukan berarti bahwa saya selalu membutuhkan orang lain (ketergantungan pada orang lain). Membutuhkan orang lain disini berarti bahwa aku tidak bisa hidup tanpa societas karena hakekatku sebagai makhluk societas. Sebagai makhluk societas, aku selalu membutuhkan komunitas. Hidup berkomunitas dengan yang lain seperti hal yang penting. Karena dalam kehidupan berkomunitas, aku menunjukkan keberadaanku dan menghidupi hakikatku sebagai makhluk societas.
Apakah aku bisa hidup tanpa societas? Ya, tentu bisa. Jikalau seseorang tinggal di dalam gua dan tidak berelasi dengan siapapun. Tetapi hal tersebut merupakan sikap reduktif terhadap hakekat sebagai makhluk societas dan menciptakan zona isolatif. Manusia tidak bisa dipisahkan dari hakekatnya sebagai makhluk societas. Contoh lain ialah cerita tentang “Tarzan”, Tarzan yang dirawat oleh sekelompok gorila menjadikanya bertingkah dan berkomunikasi seperti gorila. Meskipun bertingkah seperti gorila dan berkomunikasi seperti gorila, Tarzan tidak kehilangan hakekatnya sebagai makhluk societas. Dia membentuk societas-nya dengan para gorila. Dalam kasus Tarzan, juga ingin manyatakan bahwa manusia (aku) selalu berelasi dengan Liyan.
Aku sebagai pribadi yang berada bersama pribadi yang lain (Liyan)
Aku sebagai pribadi yang berbeda bersama pribadi yang lain ingin menyatakan bahwa aku tidak sendirian, aku hidup bersama dengan orang lain. Armada Riyanto, CM, dalam buku relasionalitas, menyatakan bahwa, “Relasi ‘Aku dan Sesamaku’. ‘Relasi’ aku dan sesamaku (engkau)’ memiliki kebenaran bahwa keduanya berada dalam zona komunikasi sehari-hari hidup manusia. Aku menjadi eksistensi yang mengelola dan menjaga keberadaanku, keberlangsunganku, dan keindahanku. Demikian juga dengan sesamaku.”
Relasi aku dan sesamaku ialah relasi yang saling berinteraksi untuk eksistensi diri. Relasi ini dibangun dalam kehidupan sehari-hari. Aku selalu berelasi dengan sesamaku dimanapun aku berada. Relasi merupakan jalan bagiku (bagi manusia) untuk eksistensi diri yang mengelola dan menjaga keberadaanku, keberlangsunganku, dan keindahanku. Di dalam relasiku dengan sesamaku, aku bukanlah yang menjadi tokoh sentral atau yang mendominasi dalam relasi. Melainkan aku dan sesamaku ialah dua subyek yang berada bersamaan tetapi bukan satu. Aku bukan sesamaku, tetapi aku adalah pribadi yang utuh. Aku bersama sesamaku membangun relasi untuk menunjukkan keberadaanku. Aku ada karena aku berelasi. Tanpa berelasi dengan sesamaku, berarti aku tidak mengindahkan keberadaanku. Karena seperti yang dikatakan oleh Armada Riyanto, CM katakan bahwa dengan relasi aku mengelola keindahanku.
Relasi aku dan sesamaku merupakan relasi dalam Natura Komunitas. Relasi ini menjadikan aku merawat dan menjaga keberlangsunganku sebagai makhluk societas. Dengan merawat keberlangsunganku, aku menjaga eksistensiku. Relasi antara aku dan sesamaku merupakan relasi yang saling mengadakan. Dengan demikaian aku mengakui eksistensi dari sesamaku dan sesamaku mengakui dari seksistensiku. Aku berada bersama sesamaku secara bersamaan. Sesamaku bukanlah bagian dari diriku, melainkan ada secara individu. Contoh dari aku sebagai pribadi yang berada bersama pribadi yang lain (Liyan) dalam konteks kehidupan sehari-hari ialah ketika di meja makan. Pada saat makan bersama di ruang makan, aku berada bersama dengan sesamaku (pribadi yang lain). Pada saat bersama tersebutlah aku berelasi dengan sesamaku dalam komunikasi. Kegiatan komunikasi dilakukan antar individu. Komunikasi inilah yang membangun relasi antara aku dan sesamaku.
Relasiku dengan sesamaku (Liyan)
Relasiku dengan sesamaku merupakan usahaku dalam membangun relaionalita antar intersubjektif. Dalam buku Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) yang ditulis oleh Armada Riyanto, CM, mengatakan bahwa, “Konsep mutual (saling/timbal balik) ini seakan-akan mengukir kebenaran tentang relasionalitas antar intersubjektif. Sungguhpun sesamaku berada dalam pengalaman penderitaan, di sini diasumsikan bahwa relasi ini berlangsung sepadan, sederajat, semartabat. Sebab sesamaku yang sedang berada dalam penderitaan juga memberikan perubahan dan pencerahan bagi keberadaanku (my being).”
Dari kutipan di atas, aku menyadari bahwa di dalam relasiku dengan sesamaku, ada konsep mutual yaitu saling/timbal balik dalam berinteraksi. Aku menyadari bahwa relasiku dengan sesamaku selalu ada relasi timbal balik. Relasi timbal balik ingin menunjukan bahwa selalu ada yang aku dapat dalam hidup berelasi dengan orang lain (sesamaku). Relasi antar intersubjektif ini menghantarkanku pada pengalaman dan pembelajaran hidup. Aku dapat belajar pengalaman hidup dari sesamaku tanpa harus terlebih dahulu melakukan sesuatu untuk memiliki pengalaman hidup yang dapat dijadikan pelajaran. Ketika aku berelasi dengan sesamaku, dan dalam relasi tersebut aku dan sesamaku berbagi pengalaman hidup. Aku dapat belajar dari hidupnya, baik itu pengalaman hidup yang sukses (baik) maupun pengalaman hidup yang gagal (kurang baik). Dalam relasi ini pula, sesamaku dapat belajar dari pengalaman hidupku. Disinilah relasi timbal balik ada dalam relasionalitas. Aku bukanlah guru bagi sesamaku, tetapi aku adalah sesama yang berjuang bersama sesamaku untuk mencapai kebijaksanna dalam hidup. Dengan bijaksana, aku dan sesamaku dapat saling memberikan perubahan hidup dan pencerahan bagi keberadaanku maupun keberadaan sesamaku. Perubahan dalam hidup merupakan sesuatu yang ingin dicapai. Kenapa hal tersebut ingin dicapai? Karena perubahan dalam hidup merupakan tanda dari kebaikan relasionalitas.
Dalam relasiku dengan sesamaku, relasi yang aku dan sesamaku lakukan ialah relasi yang berlangsung sepadan, sederajat dan semartabat. Relasi timbal balik yang aku dapat dari sesamaku maupun yang sesamaku dapat dariku selalu dapat memberikan perubahan dalam hidupku maupun hidupnya. Walupun pengalaman hidup penderitaan yang menjadi pembicaraan, terlebih lagi jika pengalaman hidup yang membahagiakan. Armada Riyanto, CM mengatakan, “Saat aku dan sesamaku berkomunikasi, saat itu tercipta komunikasi, saat itu tercipta ‘kami’ (we). Kami bukan perpaduan antara aku dan sesamaku, melainkan ‘keberadaan bersama’. Dan, kebersamaan itu menyusun komunitas.” Contoh dari relasiku dengan sesamaku yang menghasilkan timbal balik ialah ketika aku dan sesamaku melakukan komunitasi dua arah, seperti: Sharing, diskusi, dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk komunikasi dua arah selalu menghasilkan timbal balik namun tidak menutup kemungkinan komunitasi satu arah membawa perubahan pada sesamaku, misalnya pidato atau ceramah seorang pemuka agama.
Relasiku dengan gawai (Gadget)
Untuk pembahasan awal, apa itu gawai? Gawai adalah peranti elektronik atau mekanik dengan fungsi praktis.5 Apa saja itu? Laptop, notebook, netbook, tablet, dan telepon seluler. Lalu bagaimana relasiku dengan gawai? Relasiku dengan gawai ialah metode baru komunikasi di era moderenitas. Dimana aku tetap dapat berelasi dengan yang lain meskipun mereka tidak berada dihadapanku. Relasiku dengan gawai ialah relasi antara pengguna dan alat komunikasi. Gawai merupakan alat komunikasi yang menjadi perantara bagiku untuk menjalin relaionalitas dengan yang lain. Gawai merupakan benda perantara. Jadi aku dan gawai pada hakikatnya tidak berelasi, melainkan gawai sebagai perantara bagiku untuk berelasi. Dalam kehidupan sehari-hari, saya menggunakan gawai sebagai media atau perantara untuk berkomunikasi dengan orang lain yang keberadaannya tidak berada disekitarku (jarak yang jauh). Gawai membantu aku untuk menjadikan orang lain yang jauh menjadi seperti dekat. Karena dapat berinteraksi dan berbagi informasi dengan cepat. Jadi, gawai bukanlah individu yang sebagaimana aku berinteraksi dengan Liyan. Meskipun gawai bukan individu, tetapi gawai menjadi perwakilan dari Liyan yang sedang berkomunikasi dengan aku. Liyan tidak dapat bertemu langsung dengan aku untuk berkomunikasi, Liyan dan aku menggunakan gawai sebagai alat untuk melaksanakan relasionalitar intersubjektif.
Dalam buku Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) yang ditulis oleh Armada Riyanto, CM, mengatakan bahwa, “Mutual-participative merupakan karakter khas komunikasi aku-sesamaku (engkau). Dalam partisipasi timbal balik di sini subjek semakin menjadi. Dia tetap tinggal sama saja. Subjek dibaharui dan dikembangkan.” Dari hal tersebut, dapat dipahami bahwa gawai dapat dikalsifikasikan ke dalam karakter khas komunikasi aku-sesamaku (engkau). Karena dalam komunikasi dengan menggunakan media atau alat gawai juga adanya timbal balik dan dipermudah dengan tanpa melakukan perjalanan atau pergerakan yang membutuhkan waktu yang lama, semuanya dapat teratasi melalui penggunaan gawai dalam berkomunikasi atau berelasionalitas dengan Liyan. Dalam kehidupan sehari-hari, aku tidak selalu menggunakan gawai tetapi saat-saat tertentu dan mendesak, aku menggunakan gawai sebagai media untuk berelasi. Contohnya ialah menggunakan Laptop untuk membuka Facebook, Instagram, E-mail untuk berkomunikasi dengan teman-teman yang berada di Kalimantan atau di luar negeri (aku tinggal di Kota Malang). Dengan adanya gawai, aku tidak lagi dihalangi oleh waktu dan tempat. Segalanya menjadi lebih mudah dan murah.
Aku dan Gawai dalam inklusivitas terhadap Liyan
“Orang ketiga adalah dia/mereka yang tersisih.” Begitulah yang dikatakan oleh Armada Riyanto, CM dalam buku Relasionalitas-nya. Aku menyadari bahwa dari sekian banyak hal positif yang dapat aku peroleh dari gawai, ternyata ada pula hal negatifnya, yaitu aku meng-eksklusivitas-kan Liyan karena gawai. Kenapa hal ini bisa terjadi? Sering kali yang dilakukan ialah berelasi atau berkomunikasi dengan Liyan yang jauh, tetapi mengabaikan Liyan yang berada di sekitarku. Manakah yang lebih diutamakan? Ya, tentu saja yang berada secara real-lah yang harus diutamakan.
Dalam relasi aku dan gawai, ini menjadi seperti ilusi yang menjadikan gawai sebagai orang kedua dan orang yang berada disampingku sebagai orang ketiga. Aku mengabaikan orang kedua yang bersama aku (we) untuk berkomunikasi dengan orang ketiga (engkau) yang secara real tidak berada disekitarku. Gawai memang membantuku, tetapi gawai menjadikan orang yang disekitarku tersisih. Gawai yang seharusnya membantu aku untuk berelasi dengan baik, ternyata menjadi seperti dua mata pedang. Ketika sedang berkomunikasi dengan yang lain dalam real situation, aku dan gawai sebaiknya tidak berelasi karena aku akan mengabaikan Liyan (real situation – we), dan fokus pada gawai. Di sini, kelekatan pada gawai menjadi penghalang relasionalitas dalam Natura Komunitas. Hal tersebut menurut Armada Riyanto, CM adalah ketidakadilan tata hidup bersama yang mengeksklusi Liyan. Di dalam kehidupan sehari-hari, aku harus bijak dalam penggunaan gawai, karena gawai dapat membantu aku dalam relasiku dengan Liyan, tetapi juga dapat merusak relasiku dengan Liyan. Gawai dapat berguna dengan baik jika digunakan dengan baik, namun juga dapat menjadi perusak dalam relasionalitas jika digunakan dengan tidak bijak.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016.
Riyanto, Armada. Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen). Yogyakarta: Kanisius. 2018.
Ilustrasi: https://knowledge.insead.edu
Penulis: Erwin
Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.