Beranda SEPUTAR VATIKAN Urbi Perjumpaan Budaya yang Menyakitkan

Perjumpaan Budaya yang Menyakitkan

(Catatan Bagi Calon Delegasi Indonesian Youth Day 2016)

Bus yang ada kala itu ya Aman dan Utama. Kami harus tahu betul, bus yang jam berapa yang trayeknya ke Solo. Bukan hanya berhenti di Jogja. Maka, ketika kami sekeluarga sudah menunggu di pinggir jalan, ketika sosok bus itu mendekat dan suara lantang kernet memekin Jogja-Solo, Jogja-Solo, seperti melonjaklah jantungku. Gembira.

Naik bus dari desa kami tinggal di Cilacap menuju Solo itu sungguh menjadi kenangan tersendiri. Akan tetapi perjalanan seperti ini paling cepat setahun sekali. Itu ketika kami keluarga besar dari Ibu harus berkumpul untuk nyadran, atau sadranan.

Pertama-tama sebagian dari keluarga besar kami akan berkumpul di rumah Simbah. Rumah itu tidak besar. Ada tiga ruang yang difungsikan sebagai kamar. Sebagian lain akan tidur di lantai dengan gelaran kasur. Sebagian lain tidur di rumah Pak Dhe, tetangga sebelah Simbah. Pertemuan lebih akbar terjadi di makam. Ada dua makan keluarga. Satu di Slarong, satu di Makamaji.

Saya berumur lima atau enam tahun ketika itu. Perjalanan dari Cilacap naik bus, melewati berbagai kota, Gombong, Kebumen, Kutoarjo, Purworejo, Jogja, Klaten, sampai ke Solo adalah perjalanan yang menyenangkan. Melihat aneka toko, jalanan, patung-patung, orang-orang…

Akan tetapi ada satu hal yang sungguh membuat saya tidak nyaman; yaitu komunikasi.

Setidaknya lebih dari lima orang yang usianya tidak berbeda jauh dengan saya. Ingin rasanya berakrab ria dengan mereka, sepupu-sepupu dari Ibu. Akan tetapi masalahnya di situ, bahasa!

Sebagai orang Solo, Ibu menggunakan bahasa Jawa logat Solo ketika berkomunikasi di rumah. Baik dengan kami anak-anak, maupun dengan tetangga. Tetangga maklum, kami juga mengikuti.

Saya dan kakak-kakak serta adik belajar mengikuti logat itu. Sedikit-sedikit bisa. Akan tetapi, ketika berada di Solo, di tengah keluarga besar Ibu yang pasti bahasanya logat Solo, saya mengunci rapat bibir saya. Yang saya lakukan ketika diajak komunikasi hanyalah dua pilihan; mengangguk atau geleng kepala. Itu saja.

Saya merasa kemampuan komunikasi dengan logat Solo jauh dari sepupu dan saudara di situ. Saya lahir dalam tlatah budaya Banyumas. Bapak kelahiran Cilacap. Teman-teman saya juga berbahasa Jawa logat Banyumas. Bibi, Uwa, tetangga-tetangga yang sering berkunjung atau membantu di rumah juga sama saja. Kalau toh saya ngikut-ngikut Ibu di rumah berbahasa Jawa Solo, itu Solo yang KW ke sekian…

Sutriyono di hadapan para calon delegasi IYD 2016Maka, selain perjalanan dengan bus yang menyenangkan itu, berada di tengah keluarga Ibu kala itu adalah siksaan yang menyakitkan. Saya menyadari, kakak-adik sepupu seringkali melongok-longok wajah saya mengharap sepatah kata terucap dari bibir saya. Dan bila itu terjadi, bila mereka mendengar saya berucap satu kata, lantas tertawa gembiralah mereka. Bahasa saya menjadi lawakan yang menggembirakan bagi mereka. Sebagai anak kecil saya merasakan sakit yang tidak terpahami.
Kadang sepupu yang jauh lebih tua menggoda. Mereka memancing-mancing dengan bertanya ini dan itu. Atau melafalkan ungkapan-ungkapan khas Banyumas. “Madang Mbok. Kowe Wis Madang Mbok…” begitu selorohnya. Tentu dengan ‘k’ yang tebal. Lantas disusul dengan suara derai tawa. Bukan hanya dia tetapi semua yang mendengarnya. Betapa saya merasa terhinakan.

Umur saya baru lima atau enam tahun. Tetapi saya merasakan siletan tajam melukai satu bagian di dada saya. Menyakitkan.

Maka, diam, dan hanya menggeleng atau mengangguk mungkin adalah cara terbaik saya menjaga kesehatan jiwa.

Demikianlah ketika saya kecil, bergerak dari satu budaya ke budaya lain yang ternyata menjumpai luka menyakitkan.

Lantas berjumpalah saya dengan Ahmad Tohari, budayawan Banyumas, dalam berbagai forum. Kang Tohari bertutur tentang penindasan budaya atau bahasa. Ada penindasan budaya Mataraman atas budaya Banyumas. Apa yang dari wetan/Mataram/Kasunanan dianggap lebih unggul dari Banyumas. Ungkapan adoh watu cedak ratu menggambarkan hal tersebut. Ratu menjadi sentral. Banyumas menjadi pinggiran.
Padahal, masih menurut Kang Tohari, bahasa Banyumas umurnya lebih tua daripada bahasa Jawi Wetan. Maka tidak semestinya terjadi penindasan bahasa, penindasan budaya.

Baiklah, Kang Tohari sebagai bagian pemilik budaya – bahasa Banyumas mungkin menempatkan diri sebagai pemberontak atas ketertindasan yang ada. Akan tetapi setelah sekian lama proses pendewasaan yang saya alami, saya tidak menempatkan diri persis seperti Kang Tohari. Dalam diri saya mengalir perjumpaan dua budaya tersebut.

Saya tetap ringan ketika bicara dengan orang-orang desa, biyung bakul, rama bakul di pasar. Bahkan menikmati.

Akan tetapi, saya juga bisa mengimbangi dengan sewajarnya ketika bertemu dan bicara dengan kerabat, teman, saudara yang menggunakan bahasa logat Solo atau wetan.

Perjumpaan budaya yang menyakitkan itu telah usai bagi saya. Akan tetapi saya tetap menyimpan memorinya. Kelak semoga bisa melahirkannya dalam bentuk novel. Kisah perjumpaan budaya yang menyakitkan.

=======

Penulis : Sutriyono dari Purwokerto