Rikardus Jehaut
Pada tanggal 18 Desember 2023, Dikasteri untuk Ajaran Iman merilis sebuah dokumen berjudul “Fiducia supplicans”. Secara teknis yuridis, dokumen yang secara khusus ditujukan kepada seluruh umat beriman Katolik ini, berbentuk Deklarasi dan telah mendapat persetujuan penuh dari Paus Fransiskus. Dengan dikeluarkannya Deklarasi ini, terbuka kemungkinan bagi para pelayan tertahbis (uskup, imam, diakon) untuk memberkati pasangan iregular dan pasangan sesama jenis. Penyebutan ‘pasangan iregular’ di sini merujuk pada mereka yang hidup dalam kohabitasi, menikah hanya secara sipil, kawin cerai kawin lagi (tetapi de iure masih terikat perkawinan yang sah sebelumnya dan belum dibatalkan oleh Tribunal gerejawi yang berwenang).
Seperti yang telah diduga, Deklarasi ini memantik pertanyaan dan diskusi di kalangan internal Gereja. Ada yang pro dan ada yang kontra. Sebagian melihatnya sebagai sebuah terobosan magisterial yang menjawabi kebutuhan konkrit umat beriman yang berada dalam situasi dan kondisi khusus. Sambutan yang positif juga datang dari mereka yang selama ini mendukung perubahan radikal dalam hal ajaran Gereja tentang perkawinan dan seksualitas. Sebaliknya, sebagian melihatnya sebagai sesuatu yang dapat mengaburkan prinsip-prinsip fundamental perkawinan Katolik dan ajaran tentang sakramentali, khususnya menyangkut pemberkatan,
Pemahaman yang benar tentang isi dokumen, ruang lingkup dan maksudnya sangat penting untuk mencegah penafsiran yang keliru dan menjinakkan kebringasan diskusi yang cendrung vulgar dan kontraproduktif. Tulisan kecil ini tidak berpretensi untuk memberikan gambaran yang menyeluruh tentang Deklarasi ini, melainkan hanya sekedar memberikan sumbangan pemikiran berbentuk komentar yuridis-pastoral sekenanya saja dengan bersandar pada berbagai dokumen Magisterium Gereja dan sumber-sumber otoritatif lainnya yang relevan.
Latarbelakang
Pada tahun 2021, Dikasteri Untuk Ajaran Iman disodori dengan pertanyaan apakah Gereja memiliki kuasa untuk memberikan berkat kepada pasangan sesama jenis. Atas pertanyaan tersebut, Dikasteri yang pada waktu itu digawangi oleh Kardinal Luis Ladaria Ferrer, memberikan jawaban negatif pada tanggal 15 Maret 2021 (Responsum della Congregazione per la Dottrina della Fede ad un dubium circa la benedizione delle unioni di persone dello stesso sesso https://press.vatican.va/content/salastampa/it/bollettino/pubblico/2021/03/15/0157/00330.html). Secara eksplisit dinyatakan bahwa Gereja tidak memiliki kuasa untuk memberikan berkat kepada pasangan tersebut. Mengapa? Dikasteri Untuk Ajaran Iman memberikan argumentasi teologis yang rasional berikut ini:
Di antara tindakan liturgis Gereja, sakramentali memiliki makna yang signifikan sebagai tanda-tanda suci yang memiliki kemiripan dengan sakramen-sakramen yang menandakan karunia-karunia, terutama yang bersifat rohani dan yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja. Melalui sakramentali itu hati manusia disiapkan untuk menerima buah utama sakramen-sakramen dan berbagai situasi hidup disucikan (Sacrosanctum Concilium, 60). Katekismus Gereja Katolik lebih lanjut menegaskan bahwa sakramentali tidak memberi rahmat Roh Kudus seperti dibuat sakramen, tetapi hanya mempersiapkan oleh doa Gereja supaya menerima rahmat dan bekerja sama dengannnya (Katekismus Gereja Katolik, n. 1670). Pemberkatan termasuk dalam kategori sakramentali, dimana Gereja memanggil kita untuk memuji Allah, mendorong kita untuk memohon perlindungan-Nya, dan menasihati kita untuk mencari belas kasihan-Nya melalui kekudusan hidup kita. Selain itu, berbagai berkat tersebut telah ditetapkan sebagai semacam tiruan dari sakramen-sakramen, merupakan tanda-tanda dampak spiritual yang diperoleh melalui perantaraan Gereja (Rituale Romanum, De benedictionibus, n. 9-10).
Konsekuensinya, agar sesuai dengan hakikat sakramentali, ketika pemberkatan dimohonkan untuk sebuah hubungan antar manusia yang khusus, selain niat yang sungguh-sungguh dari mereka yang mengambil bagian di dalamnya, juga dituntut bahwa apa yang diberkati itu secara objektif dan positif diarahkan untuk menerima rahmat sesuai dengan rancangan Tuhan. Oleh karena itu, maka tidaklah pantas untuk memberikan berkat pada hubungan, yang stabil sekalipun, yang melibatkan aktivitas seksual di luar perkawinan (di luar ikatan persekutuan yang tak terputuskan antara seorang pria dan seorang wanita yang terbuka terhadap kelahiran anak), seperti halnya dalam konteks hubungan dari orang-orang sesama jenis kelamin (Katekismus Gereja Katolik, n. 2357). Oleh karena itu, Pernyataan mengenai ketidakpantasan untuk memberikati pasangan sesama jenis kelamin bukanlah, dan tidak dimaksudkan sebagai sebuah diskriminasi, namun lebih merupakan suatu peringatan akan kebenaran menyangkut ritus liturgi dan hakikat sakramentali sebagaimana dipahami Gereja.
Pernyataan Dikasteri untuk Ajaran Iman sebagaimana disinggung di atas diamini oleh Paus Fransiskus. Dan hal ini menuai protes dari kalangan umat katolik di negara- negara-negara di mana pemberkatan terhadap pasangan sejenis menjadi praktik yang umum, khsususnya di Jerman. Para uskup di Jerman dan Belgia mengajukan proposal yang berbeda mengenai kebijakan dan peraturan terkait pemberkatan pasangan sesama jenis. Manuver yang kurang elok dari sebagian Uskup ini kemudian menerobos masuk ke ruang publik dan menjadikan tema sensitif ini menjalar liar tak terkendali dan membikin ‘gerah’ Tahta Suci.
Pada bulan Juli 2023, Paus Fransiskus sendiri membahas masalah ini sebagai jawaban atas dubium beberapa kardinal. Dalam jawabannya yang diteruskan oleh Dikasteri Ajaran Iman pada tanggal 25 September 2023, beliau mengingatkan bahwa kehati-hatian pastoral harus mempertimbangkan secara cermat apakah ada bentuk-bentuk pemberkatan, yang diminta oleh satu orang atau lebih, yang tidak mengusung konsepsi perkawinan yang keliru. Bapa Suci juga menegaskan bahwa adalah tidak pantas bagi keuskupan, Konferensi Para Uskup, atau struktur gerejawi lainnya untuk menggariskan secara tetap dan resmi prosedur atau berbagai ritus untuk segala macam hal karena tidak semua hal yang merupakan bagian dari discermen praktis atas situasi tertentu dapat di angkat ke tingkat aturan (Dicasterium pro Doctrina Fidei, https://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_con_cfaith_risposta-dubia-2023_it.html)
Sekalipun telah ada penjelasan melalui jawaban resmi Tahta Suci pada tahun 2021 sebagaimana disinggung diatas, berbagai pertanyaan, baik formal maupun informal menyangkut kemungkinan memberkati pasangan sesama jenis terus bermunculan dan menimbulkan reaksi di kalangan umat. Untuk membantu mereka yang berpendapat bahwa pernyataan magisterial tersebut tidak cukup jelas, Dikasteri untuk Ajaran Iman memandang perlu untuk mengangkat kembali tema ini dan menawarkan visi yang menyatukan berbagai aspek doktrinal dengan aspek pastoral secara koheren.
Membedah “Anatomi Tubuh” Deklarasi
Secara skematis, Deklarasi ini (Dicastero per la Dottrina della Fede, Dichiarazione “Fiducia supplicans” sul senso pastorale delle benedizioni, https://press.vatican.va/content/salastampa/it/bollettino/pubblico/2023/12/18/0901/01963.html#it) dibagi dalam beberapa bagian yakni:
Pengantar
Bagian ini dibuka dengan pernyataan dari Kardinal Prefek Dikasteri, Victor Manuel Fernandez. Beliau antara lain menegaskan bahwa Deklarasi ini tetap memegang teguh doktrin Gereja tentang perkawinan dan tidak memperbolehkan segala jenis ritus liturgi atau pemberkatan serupa dengan ritus liturgi yang dapat menimbulkan kebingungan. Deklarasi ini menawarkan sumbangan yang spesifik dan inovatif terhadap makna pastoral dari pemberkatan yang memungkinkan perluasan dan pengayaan pemahaman klasik tentang pemberkatan yang erat berhubungan dengan liturgi.
Refleksi teologis seperti itu, yang didasarkan pada visi pastoral Bergolian, menyiratkan perkembangan nyata dari apa yang telah dikatakan tentang pemberkatan menurut ajaran Magisterium dan teks resmi Gereja. Justru dalam konteks inilah kita dapat memahami kemungkinan untuk memberkati pasangan yang berada dalam situasi iregular dan pasangan sesama jenis tanpa mengesahkan secara resmi status mereka atau mengubah dengan cara apa pun ajaran Gereja tentang perkawinan.
Pendahuluan (art. 1-3)
Bagian ini diawali dengan mengangkat kembali pernyataan Paus Fransiskus tentang berkat Allah yang terbesar dalam diri Yesus Kristus. Dia adalah anugerah besar dari Allah. Dialah Sabda Kekal, yang melalui-Nya Bapa memberkati kita sekalipun berada dalam dosa.
Terdorong oleh kebenaran yang begitu besar dan menghibur dari pernyataan Bapa Suci di atas, Dikasteri telah mempertimbangkan beberapa pertanyaan baik yang bersifat formal maupun informal tentang kemungkinan pemberkatan pasangan sesama jenis dan menawarkan klarifikasi baru terkait Responsum ad dubium yang dikeluarkan pada 22 Februari 2021 dengan pandangan yang lebih komprehensif.
Bagian Pertama (art. 4-6)
Bagian ini berbicara tentang pemberkatan dalam konteks sakramen perkawinan. Deklarasi secara eksplisit menegaskan bahwa perlu dihindari sesuatu yang bukan perkawinan diakui sebagai perkawinan. Atas dasar itu maka ritus dan doa-doa yang dapat menciptakan kebingungan antara apa yang membentuk perkawinan seturut pandangan Gereja (ikatan yang eksklusif dan permanen serta tak terputuskan antara seorang pria dan seorang wanita yang terbuka terhadap kelahiran anak) dan apa yang bertentangan dengan itu, tidak dapat diterima.
Dalam hal pemberkatan, Gereja mempunyai hak dan kewajiban untuk menghindari ritus apa pun yang bertentangan dengan keyakinan dasar di atas. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Responsum tahun 2021, Gereja tidak mempunyai kuasa untuk memberkati perkawinan orang-orang yang berjenis kelamin sama.
Bagian Kedua (art. 7-30)
Bagian ini merefleksikan secara panjang lebar tentang makna berbagai pemberkatan yang digambarkan sebagai sakramentali yang paling tersebar luas dan terus berkembang. Deklarasi mempertimbangkan pemberkatan dari perspektif liturgis, biblis dan teologi-pastoral.
Secara liturgis pemberkatan mensyaratkan bahwa apa yang diberkati harus selaras dengan kehendak Allah, sebagaimana dinyatakan dalam ajaran Gereja. Apa yang diberkati harus sesuai dengan rancangan Tuhan yang tertulis dalam ciptaan dan diwahyukan sepenuhnya oleh Kristus Tuhan. Oleh karena Gereja hanya menganggap hubungan seksual yang dijalani dalam perkawinan saja yang secara moral licit, maka Gereja tidak mempunyai kuasa untuk memberikan berkat secara liturgis jika hal itu memberikan suatu bentuk legitimasi moral pada sebuah ikatan atau hubungan yang dianggap sebagai perkawinan atau praktik seks di luar nikah.
Mengenai berkat dalam Kitab Suci, Deklarasi mencatat adanya kesinambungan makna dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, di mana berkat dapat bersifat ‘naik’, yang berarti dimohonkan kepada Allah Bapa, dan ‘turun’ , yang berarti ‘dicurahkan’ pada seseorang sebagai tanda rahmat, perlindungan, dan kebaikan. Dalam misteri kasih-Nya melalui Kristus, Allah mengkomunikasikan kepada Gereja-Nya kuasa untuk memberikan berkat.
Secara teologis-pastoral, Deklarasi menekankan nilai pendekatan yang lebih pastoral. Dalam konteks pelayanan pastoral, pemberkatan harus dinilai sebagai tindakan devosional di luar perayaan Ekaristi Kudus dan sakramen-sakramen lainnya.
Lebih jauh diingatkan tentang pentingnya menghindari praksis pastoral yang hanya didasarkan pada skema doktrinal atau disipliner tertentu yang sifatnya tetap, terutama ketika skema tersebut mengarah pada elitisme narsistik dan otoriter, yang bukannya melakukan evangelisasi, tetapi sebaliknya menganalisis dan mengklasifikasikan orang lain; bukannya membuka pintu menuju rahmat, tetapi sebaliknya menghabiskan energi untuk mengontrol. Deklarasi menegaskan bahwa ketika seseorang meminta berkat, analisis moral yang mendalam tidak boleh dijadikan sebagai prasyarat untuk memberikan berkat tersebut. Mereka yang meminta berkat tidak diharuskan untuk memiliki kesempurnaan moral.
Sambil mengulangi peringatan Paus Fransiskus pada bulan Juli 2021 untuk tidak menetapkan prosedur atau ritus secara resmi, Deklarasi menegaskan bahwa sambil memperhatikan kehati-hatian pastoral dan menghindari segala bentuk skandal dan kebingungan di antara umat beriman, pelayan tertahbis dapat mengambil bagian dalam doa bersama dengan mereka yang, meskipun berada dalam hubungan yang tidak dapat disamakan dengan perkawinan, ingin mempercayakan diri mereka kepada Tuhan dan belas kasihan-Nya, memohon bantuan-Nya, dan dibimbing menuju pemahaman yang lebih besar tentang rencana belas kasih cinta dan kebenaran-Nya.
Bagian ketiga (art. 31-41)
Bagian ini berbicara secara khusus tentang kemungkinan untuk memberkati pasangan yang berada dalam situasi iregular dan pasangan sesama jenis. Deklarasi secara tegas mengatakan bahwa pemberkatan tersebut tidak boleh berbentuk ritus yang ditetapkan oleh otoritas gerejawi demi menghindari kebingungan dengan pemberkatan dalam konteks sakramen perkawinan.
Dalam hal ini pemberkatan yang diberikan tidak hanya memiliki nilai ‘dari atas’ namun juga melibatkan permohonan berkat yang turun dari Tuhan kepada mereka yang sadar akan kemiskinan diri dan kebutuhkan akan pertolongan-Nya, tidak mengklaim legitimasi atas status mereka sendiri, memohon agar semua yang benar, baik, dan sah secara manusiawi dalam hidup dan hubungan mereka diperkaya, disembuhkan, dan ditinggikan oleh kehadiran Roh Kudus.
Deklarasi menyatakan bahwa Paus Fransiskus ingin agar pemberkatan yang tidak dirayakan seturut ritus liturgi ini tetap terjadi secara spontan, dan tidak kehilangan kualitasnya sebagai isyarat sederhana yang menyediakan sarana-sarana efektif untuk meningkatkan kepercayaan kepada Tuhan dari pihak orang-orang yang memintanya. Dengan kata lain, penting untuk bersikap hati-hati agar pemberkatan tersebut tidak boleh menjadi suatu tindakan liturgis atau semi-liturgis serupa dengan sakramen.
Selain itu Deklarasi mengingatkan pelayan tertahbis untuk tidak menyediakan atau mempromosikan ritus pemberkatan bagi pasangan yang berada dalam situasi iregular namun pada saat yang sama, tetap memberikan pelayanan kepada mereka yang mencari pertolongan Tuhan dengan memberikan pemberkatan sederhana. Dengan kata lain, mereka tidak boleh dicegah atau dilarang jika mereka meminta berkat. Dalam doa singkat sebelum pemberkatan spontan ini, pelayan tertahbis dapat memohon kepada Tuhan agar mereka mendapatkan kedamaian, kesehatan, kesabaran, dialog, dan saling membantu serta cahaya dan kekuatan-Nya.
Berbicara tentang pasangan yang berada dalam situasi iregular, Deklarasi menambahkan bahwa demi menghindari kebingungan atau skandal, pemberkatan tidak boleh diberikan bersamaan dengan upacara perkawinan sipil, dan bahkan tidak dalam hubungannya dengan itu. Juga tidak boleh dilakukan dengan busana, gerak tubuh, atau kata-kata apa pun yang hanya pantas dilakukan dalam konteks perayaan perkawinan. Hal yang sama berlaku ketika pemberkatan tersebut diminta oleh pasangan sesama jenis. Deklarasi mengusulkan agar pemberkatan sederhana dilakukan dalam konteks lain, seperti pada kesempatan kunjungan ke tempat suci, pertemuan dengan imam, doa kelompok, atau pada dalam kesempatan ziarah.
Bagian ketiga diakhiri dengan penegasan bahwa prinsip-prinsip ini cukup untuk memandu disermen yang bijaksana dan kebapaan dari pelayanan tertahbis. Juga dinyatakan bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut yang diharapkan mengenai cara-cara yang mungkin untuk mengatur secara rinci menyangkut pemberkatan jenis ini.
Bagian Keempat (art. 42-45).
Pada bagian keempat ini, digarisbawahi tentang Gereja adalah sakramen cinta Kasih Allah yang tak terbatas. Sekalipun relasi dengan Allah terganggu akibat dosa, namun selalu ada kemungkinan untuk meminta berkat dari-Nya. Dalam situasi dan kondisi tertentu, kerinduan dan penerimaan berkat dapat menjadi sesuatu hal yang baik. Deklarasi mengingatkan bahwa segala bentuk pemberkatan adalah kesempatan untuk membarui pemakluman tentang pewartaan, sebuah undangan untuk selalu dekat dengan cinta Kristus.
Bagian ini diakhiri dengan penekanan tentang pentingnya memberikan berkat, sehingga saudara dan saudari dapat merasakan bahwa di dalam Gereja mereka selalu menjadi peziarah dan pengemis, selalu dikasihi, dan selalu diberkati, pun ditengah situasi dan kondisi yang sedang mereka jalani.
Komentar
Deklarasi ini layak untuk dikomentari lebih lanjut. Beberapa komentar berikut ini hanyalah sekedar untuk memantik refleksi kritis lebih lanjut atas dokumen penting ini yang dapat dipandang sebagai sebuah langkah signifikan yang mencerminkan inklusivitas yang Gereja Katolik.
Pertama, dokumen ini sama sekali tidak mengubah atau memodifikasi ajaran doktrinal Gereja tentang sakramen perkawinan sebagai persekutuan yang eksklusif, stabil dan tak terputuskan antara seorang pria dan seorang wanita, yang secara alami terbuka bagi kelahiran anak-anak. Dengan kata lain, ajaran Gereja tentang perkawinan tetap dijunjung tinggi. Gereja tidak memiliki kuasa untuk memberikan berkat secara liturgis kepada pasangan yang hidup dalam situasi iregular dan pasangan sesame jenis.
Kedua, Deklarasi memberikan sumbangan khsusus dan inovatif terhadap makna pastoral dari pemberkatan, membuka kemungkinkan bagi perluasan dan pengayaan pemahaman klasik tentang pemberkatan, yang terkait erat dengan liturgi. Deklarasi menggali lebih dalam ajaran tentang pemberkatan, membedakan antara pemberkataan yang bersifat ritual-liturgis (yang merupakan ritus pemberkatan resmi Gereja) dan pemberkataan yang bersifat spontan yang diminta dengan rendah hati oleh mereka yang berada dalam situasi irregular dan pasangan sesama jenis. Dalam pemberkatan jenis ini, pelayan tertahbis tidak menggunakan rumusan pemberkatan resmi melainkan memilih sendiri kata-kata sesuai dengan pertimbangan pribadinya.
Dengan memasukan pemberkatan yang bersifat spontan ini, tampaknya Deklarasi Fiducia supplicans menambahkan – selain kategori pemberkatan yang resmi dalam Gereja- kategori lain, yakni ‘pemberkatan belas kasih’ (a blessing of mercy). Mengikuti jejak St. Agustinus, St. Thomas Aguinas mendefiniskan belas kasih sebagai simpati yang tulus terhadap kesusahan orang lain, mendorong kita untuk membantunya jika kita bisa (Summa Theologiae, II, 11.30. 1). Dengan kata lain, meminta belas kasihan adalah permohonan untuk bela rasa dan untuk pemulihan. Oleh karena itu, ketika seorang pelayan tertabhis mendokan mereka yang berada dalam situasi iregular atau pasangan sesama jenis dan memberikan berkat secara spontan, dia memohon kerahiman Allah dan rahmat pertobatan sehingga mereka dapat memperbaiki situasi mereka. Berkat yang diminta dimaksudkan untuk “mengubah hidup mereka”, untuk membuka diri terhadap rahmat dan agar tidak terus berada dalam situasi yang secara objektif termasuk dosa berat.
Ketiga, para pelayan tertahbis perlu mencermati situasi melalui diserment. Mereka ditantang untuk membuka hati sebagai seorang gembala yang tidak bisa tinggal diam dihadapan orang-orang yang mendekatinya dengan rendah hati meminta berkat, apapun kondisinya, sejarahnya, jalan hidupnya. “Nemo venit nisi tractus”, tidak ada seorang pun yang mendekati Yesus jika dia tidak tertarik, tulis Santo Agustinus, mengutip kata-kata pemuda Nazaret: “Tidak ada seorang pun yang datang kepadaku kecuali Bapaku menariknya”. Tuhan selalu mendahului kita, memanggil kita, menarik kita, membuat kita mengambil langkah menuju kepada-Nya atau setidaknya mengobarkan dalam diri kita keinginan untuk mengambil langkah itu meski kita masih merasa tak punya kekuatan dan merasa lumpuh. Mereka yang hidup dalam situasi iregular dan pasangan sejenis yang datang secara spontan meminta berkat perlu dilayani. Kekhasan Kekristenan terletak pada pemakluman tentang Tuhan yang mencari manusia. Yesus mengajarkan bahwa Tuhan pergi dan mencari orang berdosa.
Kepada para kardinal baru, pada bulan Februari 2015, Paus Fransiskus berkata bahwa bagi Yesus, yang terpenting, di atas segalanya, adalah menjangkau dan menyelamatkan mereka yang jauh, menyembuhkan luka-luka orang sakit, mengintegrasikan kembali semua orang ke dalam keluarga Allah ! Dan hal ini membawa skandal. Yesus tidak takut dengan skandal seperti ini! Dia tidak berpikir tentang orang-orang yang berpikiran tertutup yang bahkan tersinggung oleh penyembuhan, yang tersinggung oleh keterbukaan apa pun, oleh langkah apa pun yang tidak sesuai dengan pola mental dan spiritual mereka, oleh belaian atau kelembutan apa pun yang tidak sesuai dengan pola pikir mereka dan kemurnian ritualistik mereka.
Penutup
Ketika hendak menyelesaikan tulisan kecil ini, saya berpapasan dengan kata-kata Paus Fransiskus yang seolah-olah ditujukan langsung kepada saya: “Kadang-kadang kita harus seperti bapak dari anak yang hilang itu, yang selalu membuka pintunya sehingga ketika si anak kembali, ia dapat dengan mudah memasukinya. Gereja dipanggil untuk menjadi rumah Bapa, dengan pintu-pintu yang selalu terbuka lebar […] jika seseorang yang digerakan oleh Roh datang mencari Allah, ia tidak akan mendapati sebuah pintu yang tertutup […] Gereja bukanlah pabean, melainkan rumah Bapa, di mana ada tempat untuk setiap orang dengan segala permasalahan hidup mereka” (Evangelii Gaudium, n. 46-47).
Mereka yang hidup dalam situasi iregular dan pasangan sesama jenis adalah juga anak-anak Allah. Ketika mereka datang secara spontan meminta berkat, tidak ada alasan bagi pelayan tertahbis untuk menolaknya. Barangkali berkat sederhana ini menjadi awal untuk sebuah perubahan yang baru. Tentu apa yang digariskan dalam Deklarasi ini harus tetap diperhatikan: mana yang boleh, mana yang tidak boleh. Segala bentuk penyalahgunaan atau improvisasi serta inisiatif ‘pastoral’ semau gue harus dihindari. Selain tidak elok, juga hanya membikin bingung umat beriman dan membuat gerah pimpinan Gereja, termasuk Paus Fransiskus.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.