Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Peran Hukum Gereja yang Amat Terbatas

Peran Hukum Gereja yang Amat Terbatas

1.Perlunya revisi Kitab Hukum Kanonik

Sesudah Konsili Vatikan II (1962-1965) dalam Gereja Katolik timbul kontroverse dua kubu yang saling berseberangan. Yang satu: Hapuslah hukum Gereja karena bertentangan dengan cintakasih (revitalisasi teori Sohm). Yang lain: Pertahankan hukum Gereja yang justru kita butuhkan dalam keadaan pembaharuan yang membingungkan.

Reaksi Paus Paulus VI: Teruskan revisi Kitab Hukum Kanonik dari tahun 1917 yang sudah dicanangkan oleh Paus Yohanes XXIII 25 Januari 1959 bersama dengan pemakluman Konsili Vatikan II. Ia ahli sejarah Gereja dan sudah memprediksi pembaharuan yang dihasilkan Konsili Vatikan II yang mau tak mau harus juga dicerminkan dalam Kitab Hukum Kanonik. Lalu Paus Paulus VI mengumandangkan: “Novus habitus mentis”, artinya, sikap baru, cara pandang baru terhadap hukum Gereja. Kalau mau dapat juga dirumuskan sebagai berikut:

Obyektif perlu peraturan perundang-undangan yang baik. Selesai pada tahun 1983.
Subyektif perlu sikap, mentalitas, kinerja manusia yang menafsirkan dan menerapkan hukum Gereja dengan arif. Dalam bahasa hukum: dengan epikeia, artinya: wajar.

2.Peran hukum

Hukum tidak seluas hidup beriman. Hubungan manusia dengan Tuhan bukan hubungan hukum, juga bukan hukum agama, melainkan hubungan kasih tanmpa mengesampingkan keadilan Secara kasar kita mengenal:

– Indikatif (indicare = menunjukkan) prakarsa karya ilahi bagi manusia yang dituangkan dalam syahadat dan diselami lebih mendalam oleh teologi dogmatik

– Imperatif (imperare = memerintahkan) tanggapan manusia terhadap indikatif prakarsa ilahi itu yang digumuli oleh teologi moral.

– Hukum Gereja yang mempertegas sejumlah perkara (jadi, tidak semuanya) dan dibahas dalam kanonistik (ilmu hukum Gereja).

Keterbatasan hukum Gereja (fungsi dan bidangnya) sudah merupakan peringatan, agar kita jangan terlalu mengandalkannya untuk memecahkan segala perkara.

3.Sikap wajar

a.Menghargai fungsinya

Ada pepatah: “ubi societas, ibi ius” (di mana ada masyarakat, di sana ada hukum).
Ini memang benar, tetapi tidak cukup. Hukum Gereja bukan hanya soal pragmatis.
Benar: Untuk kelancaran hidup bersama harus ada peraturan main, harus ada penegasan hak dan kewajiban.

Tidak cukup, karena hukum Gereja tak hanya relatif dalam arti pengaturan bisa begini atau begitu, melainkan campuran yang juga mengandung ius divinum (hukum ilahi) yang bukan ciptaan kita, melainkan kita terima sebagai data wahyu.

b.Tak mengharapkan segalanya dari hukum Gereja

Sikap wajar juga berarti menyadari keterbatasannya. Bahkan dalam Kitab Hukum Kanonik sendiri ada anjuran untuk mendahulukan pemecahan pastoral. Bila kita mengharapkan terlalu banyak dari hukum Gereja, kita akan kecewa. Hukum berfungsi sebagai rambu-rambu yang kita sadari, tetapi tidak kita langgar, dan jalan hukum itu baru kita pakai sebagai sarana terakhir.
Maka dari itu hukum Gereja hanyalah aspek yang menyoroti perkara tertentu yang
dapat dan harus disoroti juga dari pelbagai sudut lain. Keterbatasan aspek ini harus
diindahkan.

Mungkin agak berbeda dengan hukum sipil yang menjadi dasar hukum untuk bertindak tegas, misalnya dikatakan: untuk meningkatkan peran Pramuka perlu peraturan ditingkatkan menjadi undang-undang. Kesan: tanpa kekuatan Undang-undang banyak hal tidak jalan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

4.Ruang hukum Gereja

Maka dari itu ruang hukum Gereja dalam website Mirifica ini (yang akan diisi pelbagai pakar di Indonesia) merupakan pelayanan bagi masyarakat. Sebaiknya uraian pendek dalam  Ruang Hukum Gereja ini tidak ditafsirkan sebagai pemecahan tuntas, melainkan hanya menyentuh aspek hukum Gereja yang terbatas, meskipun  aspek pastoralnya juga tak dilupakan. Hukum untuk manusia, dan bukannya manusia untuk hukum.

Selain itu hendaknya disadari bahwa juga dalam penafsiran hukum Gereja bisa ada pelbagai  pendapat, maka dari itu teks otentik ialah teks KHK bahasa Latin, yang memang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lagi (terbaru terbitan Dokpen KWI 2006), tetapi bukan teks otentik. Selain itu di Roma ada Dewan Kepausan Penafsiran Otentik Teks Hukum yang memberi penafsiran yang mengikat.

(PG)