JAKARTA , MIRIFICA NEWs – Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 28 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah diberlakukan sejak Senin (28/11). Regulasi ini memuat sejumlah hal terkait dengan kewenangan pemerintah dan ancaman sanksi bagi penyebar permusuhan.
Di dalam perubahan Undang-Undang tersebut, Pemerintah juga berwenang memutus akses atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik memutus akses terhadap informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum. Para penyebar pesan untuk menimbulkan permusuhan atau rasa kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), baik secara langsung maupun hanya meneruskan pesan dari orang lain, akan dijerat Pasal 28 Ayat 2.
Di sisi lain, UU Perubahan atas UU ITE meringankan sanksi pidana pelaku penghinaan atau pencemaran nama baik dari semula pidana paling lama 6 tahun penjara menjadi 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp. 1 Miliar menjadi Rp. 750 juta.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informatika Nooriza, di Jakarta, Minggu (27/11) lalu mengatakan, DPR sudah mengesahkan UU tersebut.
Menanggapi pengesahan UU Perubahan di atas, Peneliti Senior Information and Communication Techonology (ICT) Watch Donny BU mengatakan, sejak ditetapkan tahun 2008, UU ITE mengatur mulai dari kebebasan berekspresi hingga ketentuan pelaksanaan ekonomi digital. Dari sisi etika berekspresi di internet, substansi UU Perubahan atas UU ITE tidak banyak berubah, salah satunya adalah pasal penghinaan dan pencemaran tidak dicabut.
“Masyarakat tidak boleh semaunya, begitu pula negara harus berani menegakkan keadilan,” katanya.
UU perubahan atas UU ITE juga membuat orang tidak bisa lagi ditahan hanya karena dilaporkan ke polisi memakai Pasal 27 Ayat 3. Sebelumnya, orang mudah ditahan atas sebuah laporan meskipun pelapor tidak terkait langsung dengan isi konten.
Hal yang baru juga, kata Donny, adalah hak untuk dilupakan (right to be forgotten) dalam Pasal 26 UU perubahan atas UU ITE yang membolehkan seseorang menghapus pemberitaan negatif dirinya pada masa lalu.
Meningkat
Sesuai data SAFnet, dua pengguna internet terjerat UU ITE tahun 2008 dan terus meningkat menjadi 41 orang (2014) dan 44 orang (November 2015).
Kepala Subdirektorat Teknologi Informasi dan Kejahatan Siber Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim POLRI Komisaris Besar Himawan Bayu Aji menyebutkan, tren yang disorot polisi saat ini adalah penyebaran informasi hoax di media daring (online).
“Buzzer berkembang di Indonesia. Mereka dibayar untuk membuat dan menyebarkan informasi negatif. Ini pun jadi sorotan kami,” ungkap Himawan.
Sebagai pihak yang menggunakan Revisi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Polri semakin mengintensifkan patroli siber untuk mengantisipasi penyebaran konten negatif. Polri juga rutin mengusulkan pelarangan dan penutupan situs yang dinilai berbahaya.
“Berdasarkan sejumlah penilaian, kami sudah sering meminta Kemenkominfo melarang atau menutup situs untuk kepentingan penegakan hukum,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Komisari Besar Rikwanto.
===========
Sumber: Kompas
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.