Penulisan Sejarah Gereja Indonesia didasarkan atas catatan, laporan, data, dan berita mengenai kegiatan kerasulan umat katolik Indonesia. Dari catatan peristiwa yang menyangkut seorang pribadi, sebuah keluarga, stasi, wilayah, paroki, komunitas religius, lembaga katolik, sampai kegiatan yang menyangkut sebuah keuskupan bahkan seluruh keuskupan di Indonesia, semuanya mempunyai satu kesamaan asasi, yakni direkam. Rekaman dibuat menggunakan teknologi komunikasi yang tersedia di tempat dan jamannya: pena (manuskrip, mesin ketik (ketikan), komputer (dokumen elektronik), rekaman audio, audio-visual, dan multimedia.
Bentuk rekaman peristiwa yang paling kuno adalah tulisan tangan. Dulu para pastor dan suster misionaris amat terkenal tekun mencatat. Bukan peristiwa yang besar-besar, melainkan sehari-hari, sederhana, dan mungkin lucu. Seperti “Suster A menginap di komunitas, karena mengidap penyakit desentri.”
Di banyak tempat tulisan itu ditampung dalam sebuah buku yang lazim disebut Historia Domus (Sejarah Rumah). Sayang, praktek dan tradisi penulisan Historia Domus ini kurang mendapat perhatian, mengingat peran krusialnya bagi penulisan Sejarah Gereja lokal.
Pertanyaan menggelitik: Mengapa para misionaris itu begitu rajin menulis dan mencatat? Terlepas dari adanya keharusan menulis Historia Domus, kiranya memang sudah terbentuk sebuah habitus yang sekaligus membentuk tindak pastoral pada waktu itu. Namun bukanlah interese pribadi atau kesombongan kalau para misionaris yang datang dari negeri yang jauh, dengan komunikasi yang sulit, dan kemungkinan besar akan meninggal di tanah misi, secara tidak sadar menginginkan karya dan sejarah hidup mereka diketahui, diingat oleh generasi sesudahnya. Bagaimana pun, dalam perspektip iman, sejarah dan peristiwa bukanlah kejadian manusiawi belaka, melainkan sejarah dan persitiwa keselamatan Allah yang terjadi dengan orang tertentu. Ini mirip dengan ikon. Ikon bukanlah sebuah lukisan atau gambar, melainkan ceritera bagaimana Allah berkarya dalam orang itu.
Putusnya tradisi penulisa Historia Domus di paroki-paroki, komunitas religius, dan lembaga-lembaga gerejani lainnya di jaman tampuk pimpinan gereja dan sebagaian besar pastor, biarawan/wati di tangan orang Indonesia kiranya bukan dilandasi kerendahan hati, “Ah saya tidak mau membesar-besarkan jasaku dalam karya ini.” Melainkan karena ignorantia, atau mungkin murni kemalasan. Ignorantia akan pentingnya catatan bagi sejarah gereja, atau kemalasan untuk duduk dan mencoretkan beberapa baris dalam sebuah buku catatan. Akibatnya fatal. Banyak gereja dibangun, namun tanpa ceritera bagaimana terjadi, siapa-siapa saja yang mengekpresikan iman dan keterlibatan mereka dengan menyumbang waktu, dana, materi, dan perhatian.
Sejak ijin penerbitan (SIUP) dihapus bertumbuhlah sebagai jamur di musim hujan, majalahj-majalah komunias, seperti majalah paroki, majalah komunitas religius, majalah sekolah dari yang paling sederhana dalam sebuah brosur katern sampai format desain yang menampakkan profesionalita. Namun tantangan dan musuh utama bagai majalah-majalah komunikasi komunitas lokal tersebut adalah kelangsungan hidup.
Mungkin tradisi penulisan Historia Domus ini perlu dilansir kembali oleh pimpinan gereja lokal atau komunitas religius sebagai bagaian intergral dalam karya pastoral. Di samping itu, tidak kurang pentingnya bagi keuskupan untuk dengan rajin dan tekun mengarsip semua terbitan di keuskupannya, menjilidnya dan memasukkan dalam katalog keuskupan. Karena bagaimanapun formatnya, apapun isinya, semuanya merupakan bahan penulisan sejarah gereja lokal, sejarah karya keselamatan Tuhan di tempat itu.
Dalam rangka ini, setiap terbitan majalah katolik yang sifatnya diosesan ataupun nasional perlu mengirim, masing-masing satu eksemplar, ke KOMSOS KWI dan DOKPEN KWI.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.