MIRIFICA.NET – Pendahuluan
Jika ada tema pastoral yang selalu penting untuk direfleksikan secara serius, satu diantaranya adalah tentang pengelolaan keuangan paroki. Mengapa ? Sekurang-kurangnya ada beberapa alasan mendasar, yakni pertama, sebagai badan hukum publik, paroki dapat (dan harus) mengelola keuangan yang dimilikinya (bdk. kan. 1255); kedua, keuangan paroki berasal dari hasil jerih payah umat beriman; ketiga, keuangan paroki adalah milik paroki dan bukan milik pastor paroki; keempat, semakin derasnya tuntutan dewasa ini terkait pengelolaan keuangan paroki yang harus memperhitungkan berbagai prinsip pengelolaan keuangan modern.
Pertanyaannya adalah bagaimana paroki mengelola keuangan yang dimilikinya? Siapakah yang bertanggung jawab mengelolaa keuangan paroki ? Untuk menjawabi pertanyaan-pertanyaan ini kita perlu terlebih dahulu menyegarkan kembali pemahaman dasar menyangkut sumber keuangan paroki dan peruntukannya. Hal ini penting sebagai titik tolak dalam membahas tentang pengelolaan keuangan paroki.
Keuangan Paroki: Sumber dan Peruntukannya
Sebagaimana disinggung di atas, keuangan paroki pada dasarnya berasal dari hasil “keringat” umat beriman di paroki, yang di satu pihak, merefleksikan secara terang benderang rasa menggereja (sensus ecclesiae) dan di lain pihak, merupakan pelaksanaan hak dan kewajiban fundamental umat beriman untuk membantu paroki dalam memenuhi kebutuhannya (bdk. kan. 222, §1). Wujud konkritnya dapat berupa sumbangan sukarela, kolekte, administrasi pelayanan sakramen dan surat menyurat, serta iuran wajib atau di wilayah tertentu disebut “Gessar” (Gerakan Syukur Seribu Sehari) dan lain sebagainya yang sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Ordinaris Wilayah.
Uang paroki yang berasal dari umat beriman dimaksudkan untuk tujuan yang khas, seperti mengatur ibadat ilahi, memberi penghidupan yang layak bagi klerus serta pelayan lainnya yang siang dan malam mengabdikan hidupnya bagi pelayanan umat paroki, melaksanakan berbagai karya kerasulan, termasuk karya sosial-karitif, terutama bagi yang miskin dan berkekurangan (bdk. kan. 1254, §1).
Aspek Komunional Pengelolaan Keuangan
Oleh karena uang paroki berasal dari umat dan diperuntukan untuk tujuan-tujuan yang khas, maka tugas pengelolaannya merupakan tugas gerejawi atau komunitas. Dengan kata lain, tugas pengelolaannya tidak pernah merupakan tugas privat (bdk. kan. 1282) melainkan melibatkan komunitas umat beriman secara keseluruhan, yang secara yuridis diwakili oleh organ partisipatif dan konsultatif yang keberadaannya di akui dalam Gereja.
Implikasi lebih lanjut adalah bahwa pertanggung jawaban atas pengelolaan keuangan tersebut berdimensi ganda. Di satu pihak, pertanggung jawaban tersebut diberikan kepada komunitas umat beriman di paroki (kan. 1287, §2), dan di lain pihak, kepada Ordinaris Wilayah (bdk. 1287, §1).
Peran dan Tanggung Jawab Pastor Paroki
Pastor paroki adalah pemimpin komunitas umat beriman yang diangkat oleh Uskup Diosesan untuk menjalankan reksa pastoral komunitas atas nama dan di bawah otoritas Uskup Diosesan (bdk. kan. 519). Dalam hubungan dengan pengelolaan keuangan, pastor paroki adalah administrator dan penanggung jawab legal-yuridis (bdk. kan. 532). Ia diserahi tugas oleh Uskup Diosesan untuk melaksanakan reksa pastoral paroki dalam keseluruhan aspeknya, baik sakramental, liturgis, kateketis dan karitatif maupun aspek sipil dan administratif menyangkut pengelolaan keuangan. Selain itu, sebagai pastor paroki, ia bertindak mewakili badan hukum paroki.
Namun penting untuk diingat bahwa sekalipun pastor paroki adalah administrator dan penanggung jawab legal atas keuangan paroki, hal ini tidak berarti bahwa ia bebas mengelola keuangan paroki seturut selera pribadi. Ia hanyalah perwakilan legal dan bukan pemilik keuangan paroki. Hak milik atas keuangan paroki tetap berada di tangan paroki. Sebagai penanggung jawab administratif, ia menjalankan tugasnya seturut norma hukum universal maupun norma hukum partikular yang ditetapkan oleh Uskup Diosesan.
Bidang-bidang tugas yang manakah yang menjadi tanggung jawab pastor paroki dalam hubungan dengan pengelolaan keuangan? Dalam terang kanon 1281-1288 yang menggariskan ketentuan secara umum menyangkut kewajiban pengelola harta benda, kita dapat mengaplikasikan berbagai ketentuan ini ke dalam konteks pengelolaan keuangan paroki. Tugas yang menjadi tanggung jawab pastor paroki adalah mengawasi agar keuangan paroki yang dipercayakan kepadanya tidak hilang atau menderita kerugiaan dengan cara apapun; mengusahakan agar pemilikan keuangan paroki diamankan dengan cara-cara yang sah secara sipil; mengindahkan berbagai ketentuan hukum, baik kanonik maupun sipil, atau ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh fundator atau donatur, atau otoritas yang legitim, terutama menjaga agar paroki jangan menderita kerugiaan karena tidak diindahkannya perundang-undangan sipil; mengambil secara cermat dan pada waktu yang tepat hasil keuntungannya serta menyimpan dengan aman dan menggunakannya sesuai dengan maksud fundator atau norma-norma yang legitim; memanfaatkan uang yang tersisa dari pengeluaran serta dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan paroki dengan persetujuan Ordinaris; memelihara dengan baik buku-buku pemasukan dan pengeluaran; membuat laporan pengelolaan pada akhir tahun.
Pada titik ini, kita menjadi sadar bahwa ternyata tugas yang menjadi tanggung jawab pastor paroki dalam hubungan dengan pengelolaan keuangan tidaklah segampang membalikkan telapak tangan. Dalam diri pastor paroki dituntut kecapakan khusus dalam hal pengelolaan keuangan. Dengan kata lain, rajin berdoa, cakap berkotbah, hebat mengajar, pandai menyanyi, pintar melucu, tidaklah cukup. Seorang pastor paroki juga dituntut memiliki kemampuan untuk menjalankan administrasi keuangan paroki secara baik. Dan sekali lagi, hal ini tentu tidak mudah mengingat mayoritas pastor paroki – kami termasuk – kurang memahami dengan baik ilmu manajemen keuangan dengan segala tetek bengeknya. Atas dasar itulah maka untuk membantu pastor paroki dalam mengelolaa keuangan, Legislator mewajibkan keberadaan Dewan Keuangan Paroki (DKP) atau sekurang-kurangnya dua penasehat keuangan di masing-masing paroki.
Dewan Keuangan Paroki
Hukum Gereja menetapkan bahwa paroki sebagai badan hukum publik harus memiliki Dewan Keuangan Paroki (kan. 537, 1280). Dewan Keuangan Paroki (DKP) merupakan organ partisipatif dan konsultatif yang beranggotakan orang-orang yang memiliki kualitas dan kompetensi yang baik di bidang administrasi keuangan (kan. 492, §1).
Apa yang menjadi tugas DKP? Tugasnya bukan untuk memata-matai pastor paroki, melainkan memberikan bantuan kepada pastor paroki selaku penanggung jawab legal-yuridis dalam mengelola keuangan paroki. Dengan kata lain, tugasnya adalah membantu supaya keuangan paroki dikelola sesuai dengan mekanismenya dan digunakan sesuai dengan maksud dan tujuan yang khas dari Gereja sebagaimana diuraikan sebelumnya di atas.
Mekanisme Pengelolaan Keuangan
Kitab Hukum Kanonik tidak menyinggung secara eksplisit dan detail menyangkut mekanisme pengelolaan keuangan paroki. Hal ini biasanya diatur dalam hukum partikular, khususnya statuta DKP yang ditetapkan oleh Uskup Diosesan. Secara umum, pengelolaan keuangan paroki mencakup beberapa tahap, yakni perencanaan, penganggaran, transaksi, dan pelaporan. Mekanisme pengelolaan keuangan ini tidak boleh melenceng dari kebijakan, aturan, dan pola yang ditetapkan dalam statuta DKP. Dengan kata lain, statuta harus menjadi rujukan utamanya.
Dalam hubungan dengan perencanaan, misalnya, DKP wajib membuat perencanaan strategis dan sistematis setiap awal tahun menyangkut keuangan paroki. Perencanaan yang berskala besar harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Ordinaris Wilayah. Hal ini penting supaya sejak awal Ordinaris Wilayah mengetahui perencanaan tersebut dan memberikan pertimbangan seperlunya sekaligus menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal yang merugikan paroki secara finansial di kemudian hari.
Dalam hubungan dengan pengangaran, DKP – melalui bendahara paroki – wajib membuat anggaran tahunan paroki terkait pos-pos pembiayaan, misalnya biaya kegiatan pastoral, gaji karyawan/wati, biaya hidup pastor paroki dan lain sebagainya. Penganggaran ini tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan masing-masing paroki.
Transaksi keuangan paroki, di lain pihak, berkaitan dengan hal rutin dan non rutin, baik pendapatan dan biaya. Penting untuk diperhatikan agar transaksi apa pun bentuknya dicatat dalam jurnal harian (sebaiknya jangan di tunda-tunda !) dan disertai dengan kuitansi, nota sebagai alat bukti. Transaksi juga berkaitan dengan pengeluaran uang dalam jumlah tertentu yang membutuhkan konsultasi dan persetujuan DKP serta Uskup Diosesan. Dalam statuta DKP, hal ini biasanya dinyatakan secara eksplisit. Misalnya, dana di bawah 5 juta diatur oleh pastor paroki; di atas 5 juta sampai 10 membutuhkan konsultasi dengan DKP; di atas 10 juta sampai 25 juta membutuhkan konsensus atau persetujuan DKP; di atas 25 juta harus meminta persetujuan Uskup Diosesan (bdk. Statuta DKP Keuskupan Ruteng, 2021).
Dalam hubungan dengan pelaporan, DKP berkewajiban untuk membuat laporan keuangan tahunan. Laporan ini diberikan kepada Uskup Diosesan dan juga kepada seluruh umat beriman di wilayah paroki tersebut. Isi laporan keuangan menyangkut pendapatan dan biaya, penerimaan dan pengeluaran, dan lain sebagainya, termasuk laporan pinjam meminjam.
Akuntabilitas dan Transparansi
Mekanisme pengelolaan keuangan paroki tentu saja harus memperhatikan prinsip manajemen modern menyangkut akuntabilitas dan transparansi. Akuntabilitas berhubungan dengan kewajiban pastor paroki bersama DKP untuk memberikan pertanggung jawaban kepada Uskup Diosesan yang memiliki hak atau kewenangan untuk mengetahui hasil pengelolaan keuangan paroki tersebut. Secara teknis, akuntalibitas direalisasikan dengan cara membuat laporan yang riil dan objektif menyangkut penerimaan keuangan, rincian pengeluarannya yang terpakai disertai dengan bukti nota atau kwitansi serta saldo akhir.
Selain akuntabilitas, transparansi pengelolaan juga merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Transparansi dapat diterjemahan sebagai sebuah bentuk keterbukaan dari pihak pastor paroki dan DKP untuk menyediakan informasi yang relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh Ordinaris Wilayah atau pun oleh umat beriman. Untuk mengetahui sejauh mana pengelolaan keuangan memperhatikan prinsip transparansi, kita dapat mengukurnya dari aspek kemudahan untuk mendapat informasi menyangkut berbagai hal yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan. Transparansi pengelolaan keuangan paroki dalam praksisnya dapat diterapkan antara lain melalui rapat rutin secara periodik untuk membicarakan secara terbuka berbagai hal menyangkut pengelolaan keuangan tersebut.
Dalam hubungan dengan transparansi, hal ini tidak saja berarti pelaporan resmi data-data (bdk. Kongregasi untuk Para Klerus, Pertobatan Pastoral Komunitas Paroki, n. 106) melainkan juga kewajiban untuk menginformasikan kepada Ordinaris Wilayah dan seluruh umat di paroki bagaimana keuangan di kelola, bagaimana keadaan terkini neraca keuangan paroki, dan berbagai informasi penting lainnya. Ordinaris Wilayah dan umat beriman memiliki hak untuk mendapatkan informasi menyangkut pengelolaan keuangan paroki. Selain itu, transparansi juga diperlukan demi menghindari tuduhan atau kecurigaan tertentu yang dapat merusak kredibilitas Gereja di mata umat. Dari pengalaman hidup sehari-hari kita mengetahui bahwa jika umat kehilangan kepercayaan, hal ini akan melemahkan semangat mereka untuk memberi derma atau membayar iuran. Kalau pun mereka memberi, unsur spontanitasnya kurang terasa oleh karena diberikan secara terpaksa.
Pentingnya Pengawasan Ordinaris Wilayah
Agar pengelolaan keuangan paroki mengikuti mekanisme yang digariskan dalam statuta dan mengedepankan prinsip akuntabilitas dan transparansi, pengawasan dari pihak Ordinaris Wilayah mutlak perlu (bdk. kan, 1276, §1). Pengawasan seperti ini merupakan mandat hukum yang harus dijalankan oleh Ordinaris atau yang mewakilinya.
Ketika fungsi pengawasan ini berjalan dengan baik, berbagai hal positif dalam pengelolaan keuangan dapat ditingkatkan dan kesalahan atau kekeliruan, jika ada, dapat segera diperbaiki tanpa harus menunggu neraca keuangan paroki benar-benar jungkir balik. Pihak yang terbukti mengelola keuangan paroki secara tidak bertanggung jawab dan merugikan paroki secara keseluruhan harus diminta pertanggung jawaban, dan dalam kasus tertentu, harus memberikan ganti rugi yang sepadan.
Penutup
Sampai di sini, kami berharap kita sepakat bahwa pengelolaan keuangan paroki itu penting. Tanpa mengabaikan karya Roh Kudus, kita dapat mengatakan bahwa maju -mundurnya sebuah paroki sangat ditentukan juga oleh cara pengelolaan keuangan yang jujur, transparan dan akuntabel.
Perlu ada kerja sama yang konstruktif antara pastor paroki dan DKP sebagai pengelola keuangan paroki. Seorang pastor paroki tidak bisa dan tidak boleh bekerja sendirian. Ia harus bergandengan tangan dengan DKP.
Kerjasama seperti ini kadang tidak berjalan sebagaimana diharapkan dan penyalahgunaan atau kelalaian dalam pengelolaan keuangan bisa saja terjadi. Atas dasar itu maka pengawasan dari pihak Ordinaris Wilayah tetap dibutuhkan, dan dalam kasus tertentu, sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar.
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.