FILSUF HEGEL, di dalam dua mahakaryanya, Rechtsphilosophie (Filsafat Hukum) dan Phenomenologie des Geistes (Fenomenologi Roh), berbicara tentang dua bentuk pelanggaran terhadap tatanan sosial dalam hidup bersama manusia, yakni pelanggaran tatanan hukum dan pelanggaran tatanan moral.
Demikian disampaikan Dosen Filsafat pada Fakultas Filsafat, Unwira Kupang (Seminari Tinggi St. Mikhael, Kupang) Dr. Norbert Jegalus, pada Seminar Puncak Pekan Komunikasi Sosial Nasional Konferensi Waligereja Indonesia di Aula Paroki Gereja Santa Maria, Gunungsitoli, Nias, Sabtu (7/5/2016).
Norbet mengatakan, kata Hegel setiap pelanggaran tatanan sosial tidak boleh dibiarkan melainkan harus dihapuskan. Menariknya, bagi Hegel, pelanggaran hukum dapat dihapus dengan hukuman, sedangkan pelanggarn moral atau kesalahan moral dihapus tidak dengan hukuman melainkan dengan pengampunan.
Penghapusan pelanggaran hukum merupakan tindakan sang penjamin hukum terhadap yang melanggarnya, misalnya, dalam hal ini negara, karena negaralah yang menciptakan hukum. Sedangkan penghapusan kesalahan moral adalah tindakan orang yang bersalah itu sendiri. Karena itu, hanya orang yang melakukan kesalahan moral itu sendiri yang dapat menghapus kesalahan itu. Mengapa begitu? Karena, kesalahan itu adalah perbuatan kehendaknya yang jahat dan karena itu hanya dia sendiri pula dapat menarik kembali kehendak jahatnya itu.
“Jadi, menurut Hegel, kesalahan moral itu hanya dapat dihapus dengan cara menarik kembali kehendak jahatnya. Namun bagaimana caranya?,”ujar Norbert.
Hegel mengatakan bahwa itulah tindakan pengakuan kejahatannya. Dengan pengakuannya itu ia memperlihatkan kepada orang lain apa yang terjadi di dalam kehendaknya. Sedangkan sikap satu-satunya dari pihak yang menerima pengakuan itu adalah pengampunan, jadi bukan dengan memberikan hukuman.
Singkat kata, bagi Hegel, hanya pelanggaran hukum ada hukuman, sedangkan pelanggaran moral tidak ada hukuman melainkan hanya pengakuan, atau dalam bahasa agamanya pertobatan. Mungkin pertanyaan kita, mengapa begitu? Jawabannya, karena Hegel melihat kesalahan moral itu adalah keputusan bebas dari kehendak jahat si pelaku, maka cara menghapusnya pun tidak bisa, misalnya, diampuni sepihak atau ditebus dengan perbuatan silih. Cara satu-satunya adalah sang pelaku sendiri menarik kembali kehendaknya yang jahat itu. Akan tetapi, menarik kembali kehendak jahat itu tidak terjadi dengan hanya tidak meneruskan kehendak jahat itu. Mengapa cara ini tidak bisa menghapus kesalahan itu, karena menurut Hegel, cara dengan tidak meneruskan kehendak jahat itu tidak menyentuh keputusan kehendak jahat yang sudah diambil.
Jadi, penarikan kembali kehendak jahat hanya dapat dilakukan kalau si pelaku mengaku bahwa ia berbuat jahat. Dengan itu, ia benar-benar melepaskan kehendak jahatnya, dan melalui pengakuannya itu ia menyerahkan dirinya ke tangan orang yang menerima pengakuan kesalahan. Kalau pihak yang kepadanya pelaku kesalahan memberikan pengakuan namun orang itu tidak memberikan pengampunan, maka orang itu juga sudah berbuat jahat.
Pengampunan, Perspektif Teologis
Menurut Norbertus, Filsafat Hegel tentang pengampunan sesungguhnya memuat dimensi teologis yang sangat mendalam. Ia berbicara tentang kesalahan moral atau dalam bahasa agamanya dosa. Dosa bagi Hegel adalah orang tahu dan mau menempatkan diri bertentangan dengan kebaikan universal, yang bagi kaum Kristen bertentangan dengan kebaikan Allah. Pada titik inilah ajaran Hegel tentang kesalahan moral memiliki dimensi teologis. Karena, pengampunan oleh seorang manusia terhadap sesamanya yang bersalah adalah bagus, akan tetapi mutu pengampunan itu masih dangkal. Pengampunan dalam arti sebenarnya hanya datang dari Dia yang merupakan sumber dan asal segala yang ada dan itulah Allah. Karena itu, dosa selalu menyangkut Allah, dan karena itu pengampunannya pun hanya berasal dari Allah.
Paus Fransiskus, dalam Misercodiae Vultus, mengungkapkan lagi kebenaran ajaran Kitab Suci, Tradisi, dan ajaran Magisterium Gereja tentang kerahiman Allah, bahwa sikap dasar Allah adalah menolak dosa namun tidak menolak pendosa. Allah berhadapan dengan manusia pendosa, yang sebenarnya adalah manusia yang menolak atau memusuhi Allah, tidak dengan menghukum melainkan dengan mengampuni. Kalau sikap dasar Allah adalah mengampuni, maka kita pun mendapat imperatif dari sikap Allah itu, yakni kita harus selalu siap memberikan pengampunan kepada siapapun. “Kadang-kadang betapa sulit tampaknya mengampuni. Namun pengampunan adalah alat yang ditempatkan ke dalam tangan kita yang rapuh untuk mendapatkan ketenangan hati”, kata Paus Fransikus.
Dengan semangat kerahiman itulah Sri Paus Fransiskus, pada Pesan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-50 tahun 2016 ini menyerukan agar ”setiap kata dan sikap kita, harus mengungkapkan kemurahan, kelembutan dan pengampunan Allah bagi semua orang”. Masalah kita bukan bahwa Allah tidak mengampuni dosa kita melainkan bahwa kita tidak selalu rela mengampuni kesalahan sesama kita karena kita masih mengutamakan keadilan dan bukan kerahiman. Memberikan pengampunan memang tidak gampang, namun itulah panggilan kita, sampai yang paling radikal, seperti, mengampuni kesalahan musuh. Mengampuni kesalahan yang dilakukan musuh adalah imperatif dari ajaran mencintai musuh. Perwujudan itu adalah tanda bahwa kita mengkomunikasikan kerahiman ilahi kepada sesama, siapapun dia.
Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI