Dinamika Pertemuan Pastoral (Perpas) XI berlangsung menarik. Lewat diskusi yang menyedot perhatian peserta dan memakan waktu yang panjang. Para pengamat pun memberi input dan arahan penting tentang masalah migran perantau. Catatan penting dari Dr. Dominggus Elcid Li kepada para peserta di aula Hotel Matahari, Keuskupan Atambua, Kamis, (25/07/2019) tentang masalah kemanusiaan yang terjadi belakangan ini.
Secara terbuka ia berkisah tentang masalah serius yang dialami migran dan perantau. Baginya Gereja harus lebih serius melihat masalah ini sebagai bagian integral untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Sedikit mengkritisi apa peran Gereja dalam menghadapi masalah kemanusiaan ini. Baginya Negara mempunyai tanggung jawab penuh atas kenyataan ini. “Negara harus mempunyai tanggung jawab untuk melindungi warganya. Menjamin kesejahteraan warganya. Bukan semata berbicara tentang kesejahteraan tapi menjaga keselamatan warga dalam berjuang untuk hidupnya dan Gereja hadir untuk menaruh kepedulian,” katanya.
Baginya korban kekerasan yang dialami oleh sesama di tanah rantauan harus menjadi seruan nurani kita untuk peduli. Pemulangan jenasah ke tanah asal kadang dipersulit. Ini menjadi tanggung jawab siapa? Beberapa tempat yang pernah ia singgahi di Malaysia justru sangat memilukan. Orang bermigrasi untuk menemukan hidup yang baik namun dengan kondisi di lapangan yang tragis. “Masalah kemanusian harus menjadi nomor satu untuk kita saling membantu satu sama lain. Kita ingat posisi Romo Van Lith, orang kulit putih yang berani berjuang melawan penjajahan di era kolonialisme. Ini satu bentuk kepedulian yang mengisnpirasi kaum berjubah untuk menarauh peduli pada kemanusiaan,” tuturnya di hadapan para peserta.
Sentilnya lebih jauh salah satu alasan terbesar mengapa harus pergi merantau karena dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mendapat gaji yang tinggi setara dengan gaji pegawai negeri sipil setiap bulan. Orang kita ingin mendapat hidup yang lebih baik. Perlu kehati-hatian untuk keluarga kita untuk tidak menjual anak-anak kita atau keluarga yang lain hanya karena kepentingan sendiri. Kelihatan sekali saling menjual entah terselubung maupun nampak di permukaan. “Untuk keluarga kita, berhati-hatilah untuk saling menjual hanya karena persoalan ekonomi,” ucapnya. Ia menghimbau agar dengan kekuatan Gereja Nusra segala kecemasan ini sekali waktu bisa ada jalan keluar terbaik.
Pengamat yang lain, Dr. Max Regus menyampaikan hal senada berkaitan dengan migran perantau. Ia pertanyakan tentang bagaimana sikap kita secara spesifik dalam menyikapi kejahatan kemanusiaan ini. Dalam mekanisme persidangan ini pikirannya seputar masalah kemanusiaa sangat menyentuh kehidupan nyata umat di Gereja Nusa Tenggara. “Gereja Nusra harus mengambil bagian dalam masalah kemanusiaan yang dialami. Migran perantau sebagai masalah serius sebagai wajah baru Gereja untuk berjumpa dengan orang lain tidak saja berwajah katolik semata. Kita perlu melihat ini sebagai gerakan baru dalam Gereja. Menaruh peduli kepada sesama dan kita harus menemukan identitas kita yang sesungguhnya,” tutunya saat pertemuan berlangsung.
Akhir dari pemaparan materi para pengamat ini dipertajam dengan diskusi bersama para Bapak Uskup dan peserta yang hadir. Pertanyaan merujuk pada apa yang perlu dilaksanakan Gereja Nusra berhadapan dengan masalah kemanusiaan migran dan perantau dan bagaimana pesan spiritual yang perlu disampaikan berkaitan dengan karya pastoral di Regio Nusa Tenggara.*
Ed. Kamilus
Imam Diosesan Keuskupan Atambua, Sekretaris Komisi Komsos, Penulis dan Fotografer