Beranda KOMSOS KWI PEKAN KOMSOS Pendekatan Sosiologis Komunikatif Terhadap Fenomena Berita Dan Informasi Palsu (Hoax)

Pendekatan Sosiologis Komunikatif Terhadap Fenomena Berita Dan Informasi Palsu (Hoax)

0
Pendekatan Sosiologis Komunikatif Terhadap Fenomena Berita Dan Informasi Palsu (Hoax)

Pendekatan Sosiologis Komunikatif Terhadap Fenomena Berita Dan Informasi Palsu (Hoax)

PENDAHULUAN

 Masifnya peredaran berita palsu (hoax) melalui jaringan media sosial, akhir-akhir ini merebak luas. Berbagai macam rubrik pemberitaan yang merangsang naluri pembaca untuk dapat dipercaya tanpa memverifikasi kebenaran. Media pemberitaan kini dipenuhi informasi palsu (hoax), provokasi, fitnah, intoleran dan anti Pancasila. Gejala baru masyarakat yang aktif di ruang maya seakan-akan menjadikan dunia maya sebagai realitas hidup. Kemajuan teknologi yang pesat dan arus informasi yang tinggi membuat pembaca menyimak berita tanpa harus memverifikasi kebenaran informasi. Keadaan tersebut berpotensi mendulang keuntungan dan pada sisi berlawanan menjamu kerugian, bahkan ancaman berdampak negatif seperti konflik, perpecahan dan renggangnya relasi sosial dalam masyarakat.

Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap insan, namun hak berpendapat diiringi ujaran kebencian yang mengandung provokasi dan fitnah, kasus serupa telah mengotori konsep dasar jurnalisme dalam hal pemberitaan atau penyebaran informasi. Informasi yang tidak akurat dan mengagitasi individu dan kelompok/komunitas tertentu, memprovokasi untuk perpecahan (konflik kepentingan) karena perbedaan pilihan dan pandangan hidup sosial, politik, budaya dan agama adalah diskonstruksi dalam memanfaatkan media sosial.

Pendekatan sosiologi dengan konsep kemasyarakatan bertujuan untuk menekankan cara berpikir masyarakat dalam era modern dengan berpatokan pada kemampuan masyarakat untuk memverifikasi kebenaran informasi. Perspektif umum mengacu pada masyarakat yang komunikatif dan rasional. Artinya ilmu sosial kemanusiaan yang mengarah pada perkembangan politik, ilmu pengetahuan, masyarakat, kebudayaan untuk melandasi segala praksis sosial yang rasional dan bercita-cita menjadikan masyarakat yang komunikatif. Masyarakat yang komunikatif adalah masyarakat yang tidak 100 % menjadikan media sosial sebagai jelmaan dunia nyata. Konsep sosiologis dalam penyaluran infromasi lebih mendekatkan masyarakat pada akurasi informasi dengan tidak menanggalkan rasionalitas, kemampuan menganalisa informasi dari berbagai segi dan tidak menggunakan sentimen identitas yang bermuara pada hujatan dan kebencian serta tidak memporak-porandakan kemajemukan bangsa.

Identifikasi masalah kegaduhan di media sosial yang memuncak ketika media sosial dijadikan sebagai literasi media untuk kepentingan dan menyudutkan individu/kelompok tertentu tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi. Contoh konkrit yang muncul di permukaan akhir- akhir ini adalah konflik kepentingan politik dan agama. Dua masalah ini acap kali menjadi peran antagonis dan diperdebatkan sampai ke kehidupan nyata. Penyebaran informasi yang selalu merujuk pada kepentingan politik dan agama ini telah menggerus konsep dasar Kebhinnekaan Republik Indonesia. Persoalan informasi palsu dengan menggunakan media yang notabene jurnalisme palsu perlu dipertanyakan. Layanan penyedia informasi (Website, Media Holdings) juga turut dikritisi dikarenakan isi berita yang belum terverifikasi kebenaran.

Peran pemerintah dalam menghadapi persoalan tersebut masih sangat minim. Menanggapi hal seperti ini, perlu adanya pendidikan literasi media berbasis multikulturalisme kepada masyarakat. Masyarakat Indonesia pada dasarnya sangat senang dalam membagi berbagi informasi. Dibarengi dengan perkembangan teknologi digital yang penetrasinya cukup tinggi hingga menjangkau berbagai kalangan, memudahkan masyarakat untuk dengan cepat mengetahui informasi terkini setiap detik. Hal ini didukung oleh industri media dalam menyajikan format berita online dan memiliki kecenderungan menampilkan isi (alinea) berita yang hanya terdiri dari beberapa alinea bahkan penyajiannya cenderung tidak lengkap dalam satu berita. Untuk mendapatkan informasi yang akurat, riil dan valid, pembaca dipaksa untuk mencari sumber lain dan membaca lebih dari satu berita untuk membedakan mana berita yang benar, advertorial dan hoax.

ISI

 Pendekatan sosiologis menitikberatkan pada analisis hubungan atau interaksi antar manusia dalam suatu masyarakat, yaitu bagaimana mereka berkomunikasi, bekerja sama dan berupaya mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Komunikasi merupakan interkasi yang diantarakan secara simbolis, menurut bahasa, dan mengikuti norma-norma. Bahasa harus dapat dimengerti, benar, jujur dan tepat. Keberlakuan norma-norma itu hanya dapat dijamin melalui kesepakatan dan pengakuan bersama bahwa kita terikat olehnya. Zaman sekarang ini banyak etika yang dilanggar dan dijadikan seabagai ideologi. Etika berkomunikasi salah satunya. Melalui komunikasi banyak terjadi penyelewengan ideologi baru secara sistematis. Dalam buku “Teori Kritis Masyarakat” karya Horckheimer dan Adorno, Jurgen Habermas berusaha untuk menentukan prasyarat-prasyarat untuk mengadakan suatu dialog tanpa represi antara pihak-pihak yang kompeten. Sedangkan aliran Erlangen mengembangkan suatu “model konsultasi ilmiah”, dengan rekonstruksi dialogis sistematik daripada suatu bahasa ilmiah atas dasar bahasa sehari-hari sebagai intinya. Secara sederhana, suatu pengendalian moral dianggap betul sejauh bertahan dalam suatu dialog yang bebas dari segala tekanan luar atau batiniah, yang diadakan oleh orang yang tidak mau mencari kepentingannya sendiri melainkan kebenaran, yang diadakan oleh orang yang mengerti bahasa dan permasalahannya.

Secara ideal, jangkauan komunikasi merangkum seluruh umat manusia. Dalam suatu masyarakat pluralis ketika tidak terdapat sistem norma-norma moral yang diakui umum maka kemungkinan komunikasi tanpa represi menjadi prasyarat bahwa kesadaran moral dapat menjalankan fungsi kritisnya terhadap semua sistem normatif yang de facto menuntut ketaatan dan kebenaran konten. Max Weber (1864-1920) dalam teorinya mengemukakan bahwa dalam suatu hubungan antara masyarakat baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya harus terdapat etika kesopanan, saling menghormati satu sama lain dan tidak adanya suatu perbedaan individu baik itu dalam ras, suku, agama maupun adat sehingga dapat terciptanya interaksi sosial yang baik. Herbert Spencer (1820-1903) melihat masyarakat seperti sebuah organisme biologis. Menurut Spencer, sama seperti evolusi makhluk hidup, masyarakat akan berkembang dari bentuk organisme yang sederhana menuju bentuk organisme kompleks. Fenomena hoax yang terjadi di masyarakat dan menjadi topik hangat menunjukkan bahwa perkembangan masyarakat dari yang sederhana menuju ke kondisi modernitas yang semakin kompleks. Kemunculan media sosial

bukan saja menjadi sarana penghubung antar manusia, namun juga turut diboncengi dengan penyebaran informasi palsu. Perspektif sosiologis terhadap eksistensi media sosial adalah untuk mempengaruhi tata cara manusia berkomunikasi, bersosialisasi, berinteraksi dan salah satu bentuk aktualisasi kemampuan manusia. Menurut Horkheimer, emansipasi masyarakat adalah pokok keprihatinan. Artinya ilmu pengetahuan modern justru membantu proses mekanisme masyarakat dalam bentuk sistem ekonomi dan adminsitrasi birokratis. Komunikasi adalah titik tolak fundamental yang sangat erat hubungannya dengan usaha mengatasi pembalikan fakta atau fake news/information (hoax). Di sini, layanan penyedia berita harus memperhatikan konsep jurnalisme sebelum berita diluncurkan ke masyarakat, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman pada publik dengan penilaian yang bervariasi dan tendensius.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pemanfaatan teknologi dan transaksi eketronik dilaksanakan dengan tujuan untuk: Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; Dan memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggaran Teknologi Informasi. Sebagai konsumen, masyarakat harus cerdas dan mampu memilih informasi apa yang dibutuhkan. Era digital mendorong terjadinya banjir informasi melalui aplikasi pesan instan (Whatsapp, Facebook messanger, Instagram, BBM, dll). Jika masyarakat lemah atau kurang responsif, akibatnya informasi yang disuguhkan oleh media menjadi konsumtif, menyesatkan, pragmatis, alih-alih mensejahterakan dan memberi rasa aman. Teori kritis Habermas tetap berpegang teguh bahwa kritik hanya bisa maju dengan landasan rasio komunikatif. Artinya informasi yang diterima tidak lekas dipatenkan kebenarannya tanpa membandingkan fakta yang sesungguhnya yang terjadi di lapangan. Pada taraf sosial, tindakan rasional bertujuan (baik instrumental maupun strategis) dan tindakan komunikatif, antara subsistem tindakan rasional-bertujuan, merupakan kerangka kerja institusional.

Evolusi sosial perlu adanya pembelajaran dimensi teknis yang menuju pada kontrol teknologis dan dalam dimensi praktis-moral yang menuju pada landasan perluasan komunikasi bebas dominasi. Di sini secara tidak langsung Habermas menyelipkan peran khusus dalam praksis komunikasi yaitu kepentingan emansipatoris. Dalam Theory of Communication Action, Habermas menyebutkan empat macam klaim, yaitu klaim kebenaran (truth) tentang dunia alamiah dan objektif, klaim ketepatan (rightness) tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial, klaim autentisitas atau kejujuran (sincerity) tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang dan klaim komprehensibilitas (comprehensibility) tentang pencapaian ketiga kesepakatan di atas menuju kompetensi komunikatif. Masyarakat yang komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik lewat revolusi dengan penyebaran informasi palsu atau argumentasi dan diskursus (discourse) yang mengandaikan mencapai konsesnsus rasional.

Konteks sosial ilmu publisistik/jurnalistik, bahasa pers harus demokratis, artinya mengandung konsensus umum dan bermakna satu, akurat dan dapat diterima oleh kalangan pembaca. Dalam arti demokrasi, bahasa yang disalurkan ke dalam naskah berita (script), wacana atau isi berita tidak sedang menghidupkan kembali feodalisme dan melebihkan seseorang tanpa memvalidasi lebih klaim ketepatan dan kebenaran. Feature berita adalah feature yang terpengaruh unsur waktu yang berhubungan dengan persitiwa hangat (aktual) dan tidak mengandung feature human interest (tidak mempunyai nilai aktualisasi yang ketat). Pada kasus ini seorang jurnalis harus peka terhadap situasi yang terjadi di tempat kejadian peristiwa (TKP) dan tidak mengeksploitasi tragedi untuk tujuan profesional. Contoh konkrit kasus pemfitnahan agama atau kasus kepentingan politik tanpa survei yang legal, menaikkan elektabilitas figur tertentu dengan memuat berita yang hiperbolis. Kasus keagamaan dan anti Pancasila (intolerance) dengan menyudutkan kelompok-kelompok tertentu melalui tindakan intimidasi, kemudian wacana yang terkuak di media sosial berbalik dari kenyataan (fitnah).

Ujaran kebencian terhadap kelompok atau ras tertentu karena perbedaan pandangan dan pilihan politik, sehingga keberpihakan media akan sangat tampak jika berita yang tercecer di dunia maya menjadi santapan para pendukungnya dan dalam hitungan detik berita tersiar secara luas. Kontrol sosial yang sangat minim diakibatkan oleh masyarakat yang hidup dalam pendewaan terhadap dunia maya. Tujuan literasi media adalah memberikan kita kontrol sosial yang lebih besar atas interpretasi terhadap muatan pesan dalam media pemberitaan yang merupakan hasil dari konstruksi kepentingan.

Perubahan pola komunikasi yang terjadi di kalangan masyarakat saat ini yang terjadi di ruang siber memang memberikan dampak pada perilaku kehidupan masyarakat modern. Realitas yang ada saat ini, kemunculan media sosial tidak hanya digunakan untuk sekedar bersosialiasi semata namun juga meluas menjadi sarana bertukar informasi, berbisnis, berkampanye, mengajukan protes dan ajakan berdemonstrasi. Banyaknya akun-akun palsu di media sosial memberikan implikasi percepatan penyebaran informasi. Faktor lain adalah adanya euforia menggunakan media sosial. Seperti kita ketahui sebelum adanya reformasi, masyarakat Indonesia mengalami keterbatasan dalam mengekspresikan pendapat dan berdemokrasi. Tetapi, semenjak reformasi bergulir, masyarakat mendapat angin segar untuk menggunakan media sosial secara bebas untuk menyatakan aspirasi terkait politik, sosial, ekonomi, budaya dan agama. Banyak masyarakat yang memang secara arif menyampaikan informasi melalui media sosial, namun tidak sedikit juga masyarakat yang kebablasan dalam menyampaikan informasi tanpa memperhatikan etika dan norma dalam berpendapat. Dengan mengatasnamakan kebebasan, membuat pengguna media sosial sering lupa diri sehingga tidak mengindahkan perkara etika dan moral dalam berkomunikasi melalui media sosial.

Persoalan lain mengenai kemampuan masyarakat dalam memverifikasi informasi menyebabkan informasi palsu menjadi semakin sulit dikendalikan adalah habitus sebagian besar masyarakat yang ingin cepat berbagi informasi. Setiap masyarakat memiliki karakteristik – suka bercerita – yang berbeda-beda sehingga sifat ini juga terbawa dalam cara berkomunikasi menggunakan media sosial. Mereka kadang bahkan tidak tahu dari mana sumber berita atau siapa orang pertama yang membuat berita tersebut. Banyak yang langsung percaya dan tergesa- gesa membagikan berita kepada pengguna lainnya. Pengguna lain juga acapkali memiliki kecenderungan yang sama dengan pengguna sebelumnya, tanpa menelisik lebih jauh tentang informasi dan berita yang diterima. Demikian terus terjadi, sehingga berita yang belum divalidasi kebenarannya malah menjadi viral dan dipercaya oleh khalayak publik.

PENUTUP

 Medium komunikasi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam masyarakat. Kehadiran medium komunikasi adalah untuk membawakan perubahan peradaban manusia sebagai pelaku pengguna media dengan konsep tata ruang yang berbeda tetapi dapat dipertemukan melalui suatu alat yang bernama media sebagai wadah mengkomunikasikan pesan. Dalam ruang maya, penggunaan medium teknologi juga telah mengubah pola perilaku komunikasi di dalam masyarakat. Meskipun di dalam ruang maya sekalipun, kondisi yang nyata dari suatu sistem kemasyarakatan yang didasari oleh interkasi sosial, stratifikasi sosial, kebudayaan, pranata sosial, kekuasaan tetap berlaku, termasuk juga berlangsungnya suatu sistem kejahatan.

Pada dasarnya, media sosial memudahkan penggunanya dalam hal berbagi informasi, memberikan pendidikan berbasis makna dan signifikan data atau informasi, sebagai media untuk berdiskusi dan sebagai fasilitas untuk mengemukakan pendapat. Namun, realitasnya tidak dipergunakan sesuai fungsinya dan acapkali disalahgunakan untuk penyebaran isu yang dapat menimbulkan konflik, fitnah, perpecahan dan ujaran kebencian serta membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan melihat fenomena tersebut, masyarakat dengan pengetahuan yang minim mudah digiring oleh opini melalui berita palsu (hoax). Faktor utama yang menyebabkan informasi palsu mudah tersebar di Indonesia adalah karakter masyarakat Indonesia yang dinilai belum terbiasa berpendapat atau berdemokrasi secara sehat. Kasus-kasus yang terjadi dalam realita hidup masyarakat sebagai akibat dari penyebaran informasi dan berita palsu seharusnya menjadi pelajaran berharga. Solusi mengatasi persebaran informasi palsu adalah pendekatan struktural melalui regulasi (Pemerintah dan Kemenkominfo), upaya pendekatan sosiologis dan kebudayaan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat (melek informasi) dalam menyingkap secara bijaksana persebaran berita palsu dan pentingnya kesadaran pemanfaatan media sosial yang menyuguhkan cita rasa damai, aman, berimbang, akurat dan keselamatan di tengah masyarakat sebagai pesan moral untuk memelihara keharmonisan masyarakat.

 

Penulis : Lorensius Irjan Buu, Universitas Indramprasta PGRI Jakarta Timur