Penampakan Kemuliaan Yesus
SECARA khusus disebutkan pada Injil Minggu kali ini (Mat 17:1-9) bahwa “enam hari kemudian” Yesus mengajak Petrus, Yakobus dan Yohanes naik ke sebuah gunung. Yang dimaksud ialah enam hari setelah peristiwa pernyataan Petrus bahwa Yesus itu Mesias serta pemberitahuan Yesus akan. Di atas gunung ketiga murid tadi melihat Yesus wajah Yesus bercahaya bagaikan matahari dan jubahnya kini putih berkilauan. Juga tampak Musa dan Elia yang berbicara dengan Yesus. Melihat ini semua, Petrus ingin memasang tiga kemah bagi ketiga tokoh tadi. Tidak disebutkan bagaimana tanggapan Yesus. Sementara itu ada awan datang menaungi ketiga tokoh tadi dan terdengar suara dari sana, “Inilah anak-Ku yang terkasih, kepadanya Aku berkenan, dengarkanlah dia!” Mendengar suara itu pun murid-murid tersungkur ketakutan, tetapi Yesus mendekat dan menyentuh mereka sambil berkata “Berdirilah, jangan takut!” Ketika mereka memandangi sekeliling, hanya tampak Yesus seorang diri. Kemudian mereka turun gunung dan Yesus melarang mereka menceritakan yang mereka lihat sebelum anak manusia bangkit dari mati”. Inilah yang membuat mereka bertanya-tanya.
Enam Hari
Matius (seperti halnya Markus dalam Mrk 9:29) mencatat, peristiwa penampakan kemuliaan Yesus di gunung ini terjadi “enam hari kemudian”. Maksudnya, enam hari penuh setelah Petrus menyatakan bahwa Yesus itu Mesias dan Yesus memberitahukan prospek salib dan kematian serta kebangkitan. Dengan kata lain, penampakan kemuliaan di gunung itu sendiri terjadi pada hari ketujuh. Pembaca akan ingat, pada hari ketujuh sang Pencipta beristirahat setelah menyelesaikan enam hari penciptaan (Kej 1:31-2:2). Juga pembaca akan ingat bahwa Musa menunggu di puncak Sinai enam hari sebelum melihat kemuliaan ilahi pada hari ketujuh. (Kel 24:16).
Enam hari penuh tadi mematangkan isi pernyataan Petrus bahwa Yesus itu Mesias. Begitu pula enam hari tadi mematangkan penegasan Yesus akan penderitaannya nanti. Memang para murid belum menangkap arti penegasan itu. Tetapi bagi Yesus, arah itu kini sudah matang dan ia menerimanya dengan tulus. Ia sadar, penderitaannya itu titian menuju ke kemuliaannya, penderitaannya itu jalan menjadi orang yang amat dekat dengan Yang Maha Kuasa dan menjadi orang yang pantas didengarkan. Dan inilah yang diingat ketiga murid tadi dan dikisahkan ke generasi selanjutnya, juga kepada kita hari ini. Tenggang waktu enam hari penuh itu cara mengungkapkan persiapan yang sungguh-sungguh bagi sebuah kejadian penting. (Luk 9:28 menyebut “kira-kira delapan hari” karena hari sebelum dan sesudah tenggang waktu enam hari yang ditulis Markus tadi ikut dihitung.)
Wajahnya Bagaikan Matahar Dan Jubahnya Putih Berkilauan
Matius menyebutkan dalam peristiwa di gunung in wajah Yesus berubah menjadi bercahaya bagaikan matahari dan jubahnya menjadi putih berkilauan. Matahari sifatnya cerah, bahkan menyilaukan. Tetapi sinarnya memancar bagi siapa saja yang mau menerimanya. Kiranya hendak dikatakan bahwa pada saat-saat itu ketiga murid yang diajak naik ke gunung sempat mengalami kebesaran Yesus yang memang menyilaukan pandangan, tetapi kebesarannya dapat dirasakan semua orang. Dapat diterima tapi juga dapat dijauhi. Juga pakaian putih yang berkilauan ada artinya. Pakaian menampakkan sosok orang yang mengenakannya. Begitulah Yesus kini tampak memancarkan cahaya. Tak ada kegelapan dalam sosoknya. Siapa yang mengikuti akan menemukan terang.
Musa dan Elia
Dalam penampakan kemulian tadi tampil pula Musa dan Elia. Bagi orang Yahudi kedua-duanya ialah tokoh-tokoh besar Perjanjian Lama yang juga pernah mengalami penampakan kebesaran ilahi secara khusus. Musa mengalaminya di puncak gunung Sinai ketika menerima Taurat (Kel 19:16-19). Kejadian itu diiringi awan tebal, guruh, dan halilintar yang menakutkan. Amat berbeda penampakan kepada Elia di gunung Horeb (1Raj 19:11-13). Di situ Allah justru menampakkan diri dalam suasana tenang, disertai hembusan angin sepoi-sepoi. yang Maha Kuasa dapat menampakkan kemuliaan-Nya dalam cara yang menggentarkan, tapi juga bisa dengan cara yang lembut. Kini kedua tokoh itu mengalami penampakan dengan cara lain lagi. Tetapi mereka tak merasa asing dengan kehadiran ilahi yang baru ini. Disebutkan bahwa mereka “berbicara” dengan Yesus yang menampakkan kemuliaannya. Penampakan ilahi yang sejati bisa diakrabi, diwacanakan, bukan hanya mengejutkan, bukan kejadian yang menggugah sensasi dan keingintahuan belaka.
Peristiwa di gunung ini disampaikan sesudah pernyataan Yesus yang pertama kalinya bahwa anak manusia, yakni dirinya, akan dimusuhi orang-orang di Yerusalem, menderita, dibunuh, tapi akan dibangkitkan pada hari ketiga. Pernyataan itu sendiri langsung mengikuti penegasan Petrus bahwa Yesus itu Mesias. Urutan yang sama terlihat dalam Injil Markus, Matius dan Lukas: pengakuan Petrus – pemberitaan pertama sengsara – penampakan kemuliaan. Pembaca boleh menyimpulkan bahwa Yesus didukung oleh Musa dan Elia, dua orang terpercaya yang sungguh mengenal kehadiran ilahi di dunia ini.
Lukas mengolah lebih jauh kehadiran kedua tokoh Perjanjian Lama tadi dengan mengatakan bahwa mereka berbicara dengan Yesus mengenai “tujuan perjalanannya” (Luk 9:31). Memang Yesus ketika itu sedang berjalan menuju ke Yerusalem, tempat kemuliaan-Nya nanti terwujud sepenuhnya. Kata yang dipakai bagi “tujuan perjalanan” itu ialah “exodos”, sama dengan yang dipakai untuk mengatakan keluaran dari perbudakan di Mesir dulu. Tujuan perjalanan yang berakhir di Yerusalem nanti itulah yang bakal menjadi “keluaran” baru bagi kemanusiaan. Inilah jalan yang sedang ditempuh Yesus untuk membawa keluar kemanusiaan dari perbudakan yang mengurangi martabatnya.
“KepadaNya Aku Berkenan”
Suara dari surga yang terdengar ketiga murid tadi diutarakan kembali oleh Matius sebagai “Inilah anak-Ku yang terkasih, kepadanya Aku berkenan, dengarkanlah dia!” (Mat 17:5). Baiklah sekedar ditengok perspektif dari kedua Injil lain, yakni Markus dan Lukas. Markus mengutarakan peristiwa yang sama sebagai “Inilah anak-Ku yang terkasih, kepadanya Aku berkenan, dengarkanlah dia!” (Mrk 9:7). Markus memang menjadi bahan dasar Matius (juga bagi Lukas). Matius mengolah bahan ini dengan menambahkan “kepadanya Aku berkenan” sehingga jelas bahwa Yesus sungguh mendapat restu serta kuasa dari Yang Maha Kuasa untuk menghadirkan-Nya. Jadi Yesus bukan hanya sekadar orang suruhan. Dalam dirinya kini tampil Sang Maha Kuasa sendiri. Alih-alih “Inilah anak-Ku yang terkasih” dari Markus (yang juga ada dalam Matius), pada Injil Lukas didapati “Inilah anak-Ku yang Kupilih…” (Luk 9:35). Lukas kiranya menegaskan bahwa Yesus inilah orang yang dipilih untuk membawakan wajah sang ilahi sendiri. Memang dalam pandangan orang Yahudi waktu itu, “Anak yang terkasih” menghadirkan Bapa-Nya. Begitulah menjadi jelas Injil Matius dan Lukas menyoroti dan meluaskan warta Markus. Bagaimanapun juga ketiga-tiganya memuat “dengarkanlah dia!” (Mrk 9:7). Ada ajakan untuk mendengarkan dia yang menurut Matius telah mendapat perkenan Yang Mahakuasa dan menurut Lukas adalah orang pilihan-Nya sendiri.
Dari pembicaraan di atas jelas bahwa yang disampaikan dalam Injil bukanlah semata-mata suara yang dapat direkam dan diputar kembali begitu saja. Kata-kata itu mengungkapkan pengalaman batin yang terolah, baik oleh para murid yang diajak Yesus tadi maupun oleh komunitas (bukan orang perorangan) yang mendalaminya seperti komunitas Markus, komunitas Matius, dan juga komunitas Lukas. Inilah kenyataan betapa sabda ilahi itu hidup. Tidak berhenti sebagai suara belaka, melainkan mengikutsertakan pengertian serta pengalaman orang-orang yang mendengarnya.
“…Jangan Takut!”
Baiklah kini disimak kekhususan Matius. Menurut Matius murid-murid tersungkur ketakutan ketika mendengar suara itu (Mat 17:6). Tetapi Yesus kemudian menyentuh mereka sambil menyuruh mereka berdiri dan jangan takut. Kata-kata menyuruh agar jangan takut biasanya hanya diucapkan oleh tokoh yang amat besar kuasanya, sedemikian besarnya sehingga dapat dikatakan bahwa Allah sendiri ada padanya. Inilah cara Matius menyampaikan kepada pembacanya bahwa Yesus ialah orang yang disertai Allah sepenuhnya, yang mendapat perkenan-Nya. Para pembaca dapat pula memanfaatkan pendalaman Matius ini.
Sebuah amatan lagi. Ketika tersungkur, posisi badan para murid tentunya menelungkup dengan muka mereka di tanah. Tetapi kemudian mereka disuruh berdiri. Nah, gerakan dari menelungkup ke arah posisi berdiri itu mau tak mau membuat mereka bertopang pada kedua hasta dan lutut. Bila dibayangkan, inilah sikap tubuh bersujud menurut kebiasaan orang Yahudi di hadapan tokoh yang amat dihormati. (Bandingkan dengan gambaran serupa dalam Dan 10:9-10.) Matius kiranya hendak mengatakan, Yesus sendiri kini mengajar para murid agar mengubah rasa tergetar menjadi sikap bersujud tanpa takut-takut! Sekali lagi, pembaca Injil Markus dapat pula mengambil manfaat dari olahan Matius tadi.
Penglihatan di gunung ini hanyalah dialami oleh tiga orang murid saja, yaitu Petrus, Yakobus, dan Yohanes. Mereka dipesan oleh Yesus agar jangan menceritakan kepada siapapun sebelum Anak Manusia dibangkitkan dari antara orang mati (Mat 9:10). Akan tetapi sekarang kita semua mendengarnya. Memang ini terjadi setelah Yesus telah dibangkitkan dari mati. Setelah Paskah.
Memang tadinya para murid yang terdekat pun – Petrus, Yakobus, dan Yohanes – belum seutuhnya menyadari pengalaman mereka sendiri. Mereka butuh waktu untuk menggarapnya dan mengendapkannya. Karena itulah dipesan agar tidak mengobral pengalaman yang belum utuh terolah. Perkara yang dipersaksikan perlu terjadi lebih dahulu. Yesus masih harus menanggung salib sampai wafat dan mencapai kebangkitan. Baru setelah itu mereka boleh membicarakan kepada orang banyak bahwa memang dia itu patut didengarkan. Inilah maksud larangan membicarakan yang mereka lihat tadi. Para pembaca Injil boleh merasa beruntung dapat menikmati buah pengalaman yang telah matang tadi.
Salam hangat,
Kredit Foto: https://www.google.com/url?
Pastor Yesuit, anggota Serikat Yesus Provinsi Indonesia; profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificum Institutum Biblicum, Roma.