Salah satu penyebab meningkatnya jumlah orang miskin di Indonesia adalah melambungnya angka kelahiran (baby booming) pertahun yang tidak disertai dengan peningkatan jumlah lapangan kerja serta sarana/prasarana kehidupan seperti rumah, air bersih, sekolah, rumah sakit, transportasi dll.
Setelah pemerintah menyadari kembali, program penekanan jumlah angka kelahiran mulai difokuskan lagi menjadi solusi masalah ledakan penduduk. Fungsi dan program Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mulai digalakkan kembali.
Berdasarkan pengalaman masa lalu, penetrasi program Keluarga Berencana (KB) di wilayah-wilayah pedesaan dirasakan belum optimal karena masyarakat adat dan pedesaan masih kental menganggap bahwa masalah seksualitas dalam keluarga adalah tabu (pantang dibicarakan secara publik) dan sakral (dosa dan untouchable). Oleh karena itu, meskipun media massa begitu gencar mempromosikan program tersebut, tetap saja masyarakat sulit menerima sehingga menyebabkan hambatan bagi suksesnya program Keluarga Berencana.
Dalam hal ini BKKBN mulai menggencarkan kembali “semangat ber-KB” dengan menggunakan jalur fasilitas telekomunikasi pedesaan yang akan dibangun dengan anggaran sebesar 1 trilyun rupiah oleh Departemen Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. Melalui program Universal Service Obligation (USO), fasilitas tersebut akan dibangun di 38.471 desa tertinggal, diikuti pembangunan Media Center di 10 daerah pedesaan, perbatasan dan terpencil. (Kompas, 10 Juli 2008)
Kini, BKKBN mulai melibatkan para tokoh agama dalam mempermudah penetrasi dan kerja para bidan di pelosok pedesaan. Mereka menyadari bahwa fatwa para tokoh agama akan lebih didengar serta dapat diterima semua agama dan lapisan masyarakat. Agar lebih resmi dan sahih, dibuatlah suatu kesepakatan (MoU). Tujuannya hanya satu: agar diterima oleh rakyat (umat beragama dan target sasar pemerintah untuk menggolkan proyeknya). Bagaimana dengan efeknya, itu adalah persoalan kedua. Pokoknya hanya sistem proyek. Mengapa tokoh agama dipakai? Inilah yang akan saya ulas sekitar peranan tokoh agama sebagai opinion leader.
Pemimpin Agama sebagai Opinion Leader
Pada dekade 1940an, Paul Lazarsfeld membuat survey di Amerika Serikat tentang dampak atau efek media massa terhadap perilaku pemilih dalam pemilihan presiden. Di akhir risetnya ia berkesimpulan bahwa, media massa tidak memiliki daya terpaan langsung terhadap para audiens. Massa audiens tidak akan mudah terpengaruh langsung oleh terpaan media massa. Perilaku para pemilih tidak banyak berubah lewat kampanye-kampanye politik pemilihan umum melalui media massa. Mengapa? Karena setiap komunitas manusia selalu memiliki seseorang atau beberapa orang yang memiliki pengaruh yang menentukan pilihan mereka. Itu berarti pesan yang disampaikan media massa akan tiba dan diolah terlebih dahulu oleh orang yang mempunyai pengaruh dalam sosial community dan kemudian diteruskan secara lisan kepada massa audience. Dalam teorinya, Lazarsfeld menyebut two-step flow communication (aliran komunikasi dua tahap). Dan orang yang berpengaruh itu disebutopinion leader (pemuka pendapat atau pemimpin pendapat). Mereka berperan sebagai sumber referensi dari massa audiens untuk bertanya dan meminta petunjuk. Opinion Leader bisa menjadi penginisiatip suatu pendapat sekaligus menjadi penjawab pertanyaan yang datang dari massa audiens. Pada umumnya, hubungan antara opinion leaders dan massa audiens bersifat komunikasi lisan dan berjejaring. Gosip-gosip dalam masyarakat merupakan salah satu dinamika sistem opinion leaders ini.
Untuk bangsa Indonesia, Opinion leader itu biasanya diperankan kepada kepala suku (ketua adat), pemimpin agama, dan guru. Kecuali pemimpin agama, daya pengaruh kepala suku (ketua adat) dan guru hanya sebatas social community di daerah. Dengan demikian, tidak heran, pemimpin agama sebagai opinion leader sangat didambakan oleh pelaku proyek untuk menggolkan cita-cita mereka. Termasuk dalam konteks kita, untuk menggolkan proyek keluarga berencana oleh BKKBN.
Opinion leader dan fungsi Profetis
Kita lantas bertanya, apakah opinion leader menjalankan fungsi profetis agamanya? Jawabannya: tidak. Karena opinion leader adalah ‘gatekeeper’ yang berfungsi menyaring pesan-pesan komunikasi yang masuk untuk bisa atau tidak bisa; baik atau tidak baik secara moral bagi masa audiensnya. Sedangkan Nabi, berfungsi sebagai jembatan dua arah yaitu menyampaikan aspirasi dari Allah kepada Umatnya dan sekaligus dari umat kepada Allah (proses timbal-balik). Dan terkadang, ia sendiri harus berusaha meyakinkan Allah akan nasib umatNya dan meyakinkan umat akan rencana Allah bagi mereka. Ada kerkah batin, ada pergolakan jiwa dalam diri seorang nabi. Musa misalnya, bukan saja menjadi Nabi penyalur aspirasi Allah untuk mengantar orang Israel keluar dari Mesir tetapi juga sekaligus sebagai Nabi penyalur aspirasi umat, menuntut Yahwe untuk menyediakan Air dari dalam wadas dan roti dari surga. (bdk. Kel. 15 -16).
Dalam perspektif komunikasi kristiani, seorang opinion leader sejati adalah dia yang bukan saja menjadi sarana pemerintah untuk menggolkan target program pemerintah (alat di tangan Pemerintah) tetapi terlebih dia yang mampu mengangkatlocal wisdom ( kearifan-kearifan lokal) masyarakat pedesaan yang jauh dari sentra-sentra politik dan ekonomi bangsa untuk dijadikan bahan pertimbangan untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia harus menjadi alat di tangan Tuhan yang mengidentikkan diri dengan orang kecil dan termarjinalkan (bdk Hosea 1:2 : Nabi Hosea harus sedemikian mengidentikkan dirinya dengan kemarjinalan orang Israel (kawin dengan Gomer yang adalah seorang perempuan berdosa) untuk menunjukkan situasi aktual dan manusia jaman itu kepada Allah) . Hemat saya, seorang opinion leader agama hendaknya menjadi seorang ‘Gembala Yang Baik’ dengan segala konsekwensinya.
Agus Alfons Duka, SVD
Penulis, Sekretaris Eksekutif Komisi KomSos KWI
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.