Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Pemilihan Uskup Diosesan

Pemilihan Uskup Diosesan

Kalau kita memerhatikan berita Takhta Suci sejauh ditayangkan dalam situs www. vatican.va, hampir setiap hari ada judul “Renuncie e Nomina” (Pengunduran diri dan pengangkatan). Ada masa bakti, orang pergi dan orang lain datang untuk mengantikannya. Hal ini normal.

Pada saat uraian ini ditulis di Indonesia ada 4 jabatan Uskup diosesan kosong, yakni Surabaya, Bandung, Sibolga dan Ende. Mungkin ada orang yang bertanya: bagaimana prosedur  pengangkatan itu? Mungkin juga ada yang bertanya: “Kok lama sekali”? Kiranya baik menguraikan peraturan yang berlaku sekarang dengan tetap menyadari kebiasaan dan faktor perkembangan dalam sistem pengangkatan orang menjadi Uskup, juga untuk mengurangi pelbagai spekulasi.

 

  1. Pencalonan seorang Uskup merupakan sesuatu yang delikat (dibebani banyak soal sehingga menuntut penanganan arif). Di Indonesia soal ini menjadi makin sulit dengan pemberlakuan  “otonomi daerah”. Di satu pihak dirahasiakan, tetapi di lain pihak juga disebut nama-nama, jadi, semacam rahasia umum.
  2. Hendaknya diingat bahwa pengangkatan seorang Uskup tak selalu dan di mana-mana sama. Ada perkembangan dan juga ada tradisi di kawasan tertentu yang mem-punyai kebijakan atau peraturan sendiri, misalnya berdasarkan konkordat (perjanjian antara Gereja dan Negara).
  3. Namun kecenderungan Gereja jelas (sekurang-kurangnya sekarang):

Pimpinan Gereja tak ingin ada campurtangan pihak lain (terutama penguasa politik), melainkan ingin memegang sendiri urusan pengangkatan seorang Uskup. Inilah salah satu kesulitan  “skisma” di RRC, Vietnam, tindakan Kardinal Lefebvre, mantan Uskup Agung Milingo. Soal lain yang patut dipertimbangkan ialah keterlibatan Gereja setempat yang bersangkutan, yang tak sama sekali diabaikan, melainkan juga diperhatikan, misalnya dengan pengajuan “terna” tiga nama dan proses informasi.

 

  1. ”Sede vacante” (bila takhta lowong), sebab-sebabnya (kan.416) terutama:
  2. Wafat (Surabaya, Bandung, Ende);
  3. Pengunduran diri yang disetujui oleh Paus;
  4. Pemindahan (Sibolga);
  5. Pemberhentian yang diberitahukan kepada Uskup ybs.

 

Sebaiknya juga diperhatikan bahwa dalam lampiran “Apostolorum successores” 22-02-2004 diingatkan pelbagai ketentuan tentang “sede  vacante” Keuskupan.

 

  1. Akibat-akibat kepindahan Uskup:
  2. ”Possessio canonica” (serah terima jabatan menurut hukum kanonik) di Keuskupan “baru” harus dilaksanakan dalam jangka waktu dua bulan setelah pengetahuan pasti tentang perpindahan itu (kan.418 paragraf 1);
  3.  ”Sede vacante” Keuskupan “lama” (yang ditinggalkan) ialah hari “possessio canonica” di Keuskupan “baru” itu;
  4. Kedudukan kanonik Uskup yang akan pindah, di Keuskupan “lama” ialah sebagai “Administrator diosesan” (kan.418 paragraf 2 no.1) dan ia mendapat balas karya sepenuhnya.
  5. Wewenang pejabat eksekutif (Vikaris Jenderal dan Vikaris Episkopal) berhenti, sedangkan pejabat yudikatif (Vikaris Yudisial) tetap dan tak dapat dihentikan oleh Administrator diosesan, tetapi membutuhkan peneguhan oleh Uskup yang baru.
  6. Dewan Imam dan Dewan Pastoral berhenti pada hari jabatan Uskup menjadi lowong.
  7. Prosedur berikutnya
  8. Pemerintahan Keuskupan beralih ke tangan Kolegium Konsultor;
  9. Dalam jangka waktu 8 hari harus dipilih seorang imam menjadi Administrator diosesan, bila hal ini dilalaikan, maka Uskup metropolit harus turun tangan.
  10. Administrator diosesan harus melaporkan pemilihan dirinya kepada Takhta Apostolik.
  11. Persyaratan pemilihan Administrator diosesan
  12. Tak boleh merangkap jabatan sebagai ekonom Keuskupan (kan.423 paragraf 2).

Pemisahan Pimpinan dan Ekonom ini bijaksana;

  1. Pemilihan menurut prosedur yang ditetapkan dalam kan.163-178 (kan.424);
  2. Demi keabsahan ia harus imam dan berusia sekurang-kurangnya genap 35 tahun;
  3. Kualifikasi lain: unggul dalam ajaran dan kearifan.
  4. Tanggungjawab dan wewenang Administrator diosesan
  5. Sede vacante nihil innovetur (Selama Takhta lowong jangan diadakan perubahan yang berarti); seringkali batas wewenang Administrator diosesan di masa “demisioner” dirasa kurang jelas. Ia dilarang melakukan tindakan yang dapat merugikan Keuskupan atau mengurangi hak-hak Uskup. Ia juga dilarang menyingkirkan, merusak atau mengubah dokumen-dokumen Kuria diosesan;
  6. Tugasnya seperti Uskup diosesan, kecuali tentu saja hal-hal yang menurut sifat atau perkaranya sendiri atau menurut hukum tak termasuk wewenang orang yang bukan Uskup diosesan.
  7. Ia harus mengucapkan pengakuan iman.
  8. Ia wajib berdomisili di tempat dan terkena kewajiban aplikasi Misa.
  9. Prosedur penyusunan daftar calon Uskup
  10. Pada umumnya

Dengan “pada umumnya” dimaksudkan: bila soalnya tak aktual, jadi tak hanya kalau kebetulan ada jabatan lowong dan harus diisi, melainkan secara berkala, jadi juga bila tak kebetulan ada jabatan lowong dan harus diisi,

1)      Pengangkatan bebas oleh Paus (kan.377 paragraf 1). “Bebas” berarti: tanpa membutuhkan persetujuan pihak lain. Di beberapa Negara berdasarkan konkordat ( = perjanjian antara Vatikan dan suatu Negara) memang dapat diperlukan persetujuan pihak lain, tetapi di masa mendatang tak akan diberikan hak demikian itu (kan.377 paragraf 5).

2)      Proses penyusunan daftar calon (kan.377 paragraf 2):

Secara berkala (setiap tiga tahun) harus disusun daftar “episcopabiles” (orang-orang yang dinilai paling tepat untuk menjadi Uskup), meskipun secara aktual tidak ada jabatan Uskup yang kosong dan harus diisi.

Catatan saya: keuntungan sistem ini antara lain ialah:

–               Sudah tersedia daftar nama, apabila sewaktu-waktu diperlukan.

–               Daftar berkala ini bukan penilaian sesaat belaka, melainkan teruji secara berkala sehingga lebih mantap, misalnya nama X muncul terus menerus, sedangkan nama Y muncul hanya sekali, lalu tak muncul lagi.

–        Lingkup “daerah pilihan” cukup luas: lintas-Keuskupan yakni Provinsi Gereja-wi atau bahkan wilayah Konferensi, tetapi memang dapat diajukan keberatan datangnya “orang luar”. Namun Uskup diosesan tetap berhak mengajukan daftarnya sendiri.

–               Keterbatasan pribadi dalam penilaian calon dan keterbatasan  “reservoir” imam dapat agak diatasi dengan sistem itu yang mengandaikan musyawarah konfiden-sial para Uskup ybs.

 

  1. Bila aktual ada jabatan lowong yang harus diisi (kan.377 paragraf 3-4), maka Dubes Takhta Suci mempunyai peran besar:

1)            Mencari daftar “terna” dengan mengindahkan pendapat Uskup Metropolit (Uskup Agung) dan Uskup-Uskup lain se Provinsi Gerejawi dan Ketua      Konferensi Uskup, untuk diajukan kepada Takhta Suci.

2)            Mencari informasi tentang para calon. Tentu saja mereka yang dimintai pandapat harus menjawab penuh tanggungjawab sesuai hatinurani yang tulus.

 

  1. Kualifikasi
  2. Iman teguh, moral baik, saleh, rajin dalam kerasulan, arif, unggul dalam keutamaan manusiawi dan bakat-bakat lain yang membuatnya  cakap, bdk.kan.378 paragraf 1 no.1).
  3. Nama baik (kan.378 paragraf 1 no.2)
  4. Berusia sekurang-kurangnya 35 tahun (kan.378 paragraf 1 no.3)
  5. Sudah lima tahun menjadi imam (kan.378 paragraf 1 no.4)
  6. Menyandang gelar akademis Dr.atau sekurang-kurangnya lisensiat dalam Kitab Suci, atau teologi atau hukum Gereja, atau sekurang-kurangnya sungguh ahli dalam hal-hal itu.

Dalam proses informasi akan diajukan pelbagai pertanyaan lain.

Keputusan terakhir terletak pada Takhta Suci (kan.378 paragraf 2).

 

Piet Go O.Carm.