Beranda OPINI Pelecehan Seksual Terhadap Anak-Anak di Bawah Umur Oleh Imam Dan Tanggapan...

Pelecehan Seksual Terhadap Anak-Anak di Bawah Umur Oleh Imam Dan Tanggapan Gereja

Pelecehan Seksual Terhadap Anak-Anak di Bawah Umur Oleh Imam

Dan Tanggapan Gereja

 Rikardus Jehaut

 Pendahuluan

More than 300 Catholic priests across Pennsylvania sexually abused children over seven decades”, demikian laporan Juri Kejaksaan Pennsylvania, Amerika Serikat, Josh Shapiro awal bulan Agustus 2018 (http://www.washingtonpost.com/pennsylvania-grand-jury-report). Gereja kembali tergoncang. Beragam opini ‘miring’ melesat ke permukaan bak anak panah yang menikam jantung Gereja. Otoritas moral dan tanggung jawab para pimpinan Gereja kembali dipertanyakan secara galak. Hal ini dapat dimengerti karena kejahatan yang dapat berbentuk pelecehan fisik maupun visual ini bukan baru sekali terjadi. Tahun 2002, shocking news seperti ini muncul dari Amerika Serikat: ratusan imam terlibat dalam kejahatan seksual terhadap anak-anak sejak tahun 70-an. Laporan yang sama datang dari Belanda di tahun 2011, kemudian Spanyol di tahun 2015 dan Australia pada tahun 2017.  Belum terhitung kasus-kasus lainnya yang masih belum dilaporkan secara terbuka.

Berhadapan dengan realitas faktual problematis yang mengerikan ini, Gereja secara institusional telah memberikan tanggapan, baik melalui seruan-seruan Magisterium maupun melalui dokumen-dokumen resmi yang berbicara tentang kejahatan pelecehan seksual terhadap anak-anak dibawah umur, sanksi kanonik, dan berbagai  upaya kuratif-preventif dalam menyikapi persoalan ini.

Suara Magisterium

Dalam sambutannya dihadapan para kardinal Amerika Serikat, Santo Yohanes Paulus II memberikan pernyataan yang sangat keras terkait kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak dibawah umur oleh imam. Beliau menegaskan bahwa orang-orang harus tahu di dalam imamat dan kehidupan religius tidak ada tempat bagi siapapun yang dapat membahayakan kaum muda (http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii, speaches/2002). Pernyataannya ini mempengaruhi opini publik menyangkut sikap dan posisi Gereja sekaligus menjadi bahan pemikiran yang serius bagi para uskup dan pimpinan tarekat sedunia dalam mengambil langkah-langkah konkrit yang diperlukan untuk menyembuhkan para korban dan memastikan bahwa para pelaku kejahatan dihukum secara adil.

Pernyataan senada ditegaskan oleh Paus Benediktus XVI dihadapan para uskup Irlandia dalam kunjungan ad limina pada tahun 2006. Para uskup diminta untuk mengambil sikap tegas dan langkah-langkah yuridis-pastoral yang perlu dalam menyelesaikan kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak dibawah umur oleh imam ini, menyembuhkan para korban dan pihak lain yang terkena dampaknya, memulihkan kembali kepercayaan yang telah rusak, mencegah terulangnya kejahatan yang sama di kemudian hari, serta menegakkan prinsip keadilan (http://w2.vatican.va/content/benedict-xvi/en/speeches/2006).

Paus Fransiskus juga mengambil sikap yang pada prinsipnya sama dengan para pendahulunya. Dalam “Letter to the People of God”, pimpinan tertinggi Gereja Katolik ini, di satu pihak, mengakui beratnya penderitaan yang dialami oleh anak-anak di bawah umur yang menjadi korban pelecehan seksual, dan di lain pihak, penyalahgunaan kekuasaan dan hati nurani sejumlah imam dan orang-orang yang dikuduskan. Sebuah kejahatan yang menorehkan luka yang dalam dan ketidakberdayaan, terutama bagi para korban, juga bagi anggota keluarga mereka dan komunitas umat beriman serta masyarakat luas. Rasa sakit yang dialami para korban dan keluarga mereka juga merupakan rasa sakit umat Allah seluruhnya, dan hal ini mendesak Gereja untuk sekali lagi menegaskan kembali komitmennya untuk memastikan perlindungan anak-anak di bawah umur yang rentan terhadap pelecehan. Paus juga mengakui secara jujur bahwa Gereja bertindak lamban atau tidak menerapkan sanksi secara tegas pada waktunya dalam menyelesaikan kasus pelecehan yang telah merusakan kehidupan banyak anak-anak di bawah umur ini (http://w2.vatican.va/content/papa-francesco_lettera-popolo-didio.html).

Apa yang disuarakan oleh magisterium di atas merupakan tanda bahwa Gereja tidak berdiam diri dihadapan kejahatan seksual yang membawa luka dan penderitaan yang mendalam bagi para korban ini. Selain himbauan pastoral, Gereja juga memberikan tanggapannya melalui berbagai dokumen resmi yang hingga kini menjadi rujukan dalam menangani berbagai kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur oleh imam.

Dokumen-Dokumen Resmi Gereja

Sacramentorum Sanctitatis Tutela (SST)

Pada tahun 2001, Santo Yohanes Paulus II, atas prakarsanya sendiri, menerbitkan sebuah dokumen bernama Sacramentorum Sanctitatis Tutela (Giovanni Paolo II, m.p. Sacramentorum sanctitatis tutela, 30 April 2001, dalam “Acta Apostolica Sedis”, 93 (2001) hlm. 738-739).  Dokumen ini mengklarifikasi dan memperbaharui daftar kejahatan (delictum) yang tercantum dalam Kitab Hukum Kanonik yang selama ini ditangani oleh Kongregasi Ajaran Iman, seperti kejahatan melawan iman: kemurtadan, heresi, skisma (bdk. KHK kan. 1364, §1) dan kejahatan-kejahatan yang paling berat (graviora delicta) melawan sakramen, seperti mencemari Ekaristi, membocorkan rahasia pengakuan dosa (bdk. KHK, kan. 1388, §1), termasuk mengajak peniten untuk berdosa melawan perintah keenam Dekalog (bdk. KHK, kan. 1387). Santo Yohanes Paulus II secara eksplisit memasukan pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur oleh imam ke dalam kategori kejahatan paling berat.  Atas dasar motu proprio SST ini semua kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh imam harus dilaporkan ke Kongregasi Ajaran Iman. Kongregasi inilah yang akan mempelajari kasus lebih lanjut sekaligus memberikan arahan bagi para pimpinan Gereja terkait langkah-langkah pastoral-yuridis yang harus diambil dalam menangani kasus yang ada.

Kendati Gereja telah berusaha memberikan tanggapannya, baik melalui seruan-seruan pastoral maupun berbagai instrumen yuridis namun, fakta menunjukkan bahwa kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak dibawah umur oleh imam terus meningkat secara dramatis di beberapa tempat. Dalam kajian kritisnya atas ribuan kasus yang dilaporkan ke Tahta Suci, Kongregasi Ajaran Iman menegaskan bahwa hal ini diakibatkan oleh adanya ketidakseriusan dari sebagian pimpinan gereja lokal, kebijakan pastoral yang keliru dengan memindahkan imam yang bermasalah ke tempat lain, menutup-nutupi kasus (covered-up) demi menjaga nama baik gereja, serta ketidakpahaman terhadap aturan hukum terkait cara penanganan kasus. Kongregasi Ajaran Iman melihat pentingnya sebuah respons yang lebih komprehensif dan berbagai upaya kuratif-preventif dalam mengatasi persoalan yang kompleks ini. Penanganan terhadap kasus yang ada tidak hanya terfokus pada upaya menyembuhan korban dan hukuman yang adil bagi imam yang terbukti bersalah, melainkan juga bagaimana mempromosikan program perlindungan terhadap anak-anak dan orang muda, mendidik umat untuk ikut bertanggungjawab dalam memelihara lingkungan yang kondusif serta bagaimana mempersiapkan calon imam dengan baik.

Sembilan tahun setelah promulgasi SST, dan berdasarkan pengalamannya dalam menangani ribuan kasus dari berbagai belahan dunia, Kongregasi Ajaran Iman memandang perlu untuk memodifikasi SST (bdk. Congregazione per la Dottrina della Fede, Lettera ai Vescovi della Chiesa Cattolica e agli altri Ordinari e Gerarchi, dalam “Osservatorio Romano”, 16 Juli 2010, hlm. 1). Pada prinsipnya, pokok-pokok pemikiran yang tertuang dalam SST tetap dipertahankan; yang dimodifikasi hanyalah norma-noma substansial dan proseduralnya. Modifikasi ini dipandang perlu untuk menjadikan hukum lebih responsif dan mampu menjawabi kebutuhan secara lebih konkrit. Beberapa modifikasi yang dibuat antara lain hak untuk dibebaskan dari tuntutan hukum atas dasar prinsip limit waktu yang ditentukan secara yuridis untuk memproses kasus pelecehan seksual telah lewat (statue of limitation principle); fakultas untuk memberikan dispensasi dari proses formal yudisial ke proses administratif ekstra-yudisial untuk kasus tertentu yang mengandung fakta yang jelas dan tidak diragukan lagi; fakultas untuk membawa kasus-kasus berat secara langsung kepada Bapa Suci untuk pemecatan dari status klerikal. Juga ditambahkan kejahatan kepemilikan dan/ atau distribusi pornografi anak di bawah umur 14 tahun serta beberapa spesifikasi lainnya menyangkut kejahatan melawan Sakramen Ekaristi, Sakramen Tobat, dan Sakramen Tahbisan Suci.

Kongregasi Ajaran Iman, dari berbagai fakta yang ditemukannya, juga menggarisbawahi kenyataan tentang kesiapan otoritas Gereja di seluruh dunia dalam menanggapi krisis pelecehan seksual anak di bawah umur. Banyak Konferensi Para Uskup seperti Kanada, Amerika Serikat, Brasil, Inggris dan Kanada, Jerman, Belgia dan Prancis di Eropa, Afrika Selatan, Australia dan Selandia Baru,  telah mengembangkan pedoman, bahkan norma, sebagai pijakan dasar dalam memberikan  tanggapan yang seragam terhadap masalah rumit ini.

Surat Edaran Kongregasi Ajaran Iman 2011

Pada tanggal 3 Mei 2011 Kongregasi Ajaran Iman mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada seluruh Konferensi Wali Gereja sedunia (Congregatio pro Doctrina Fidei,  Circular Letter to Assist Episcopal Conferences in Developing Guidelines for dealing with cases of sexual abuses of minors perpetrated by Clerics, dalam http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_con_cfaith_doc_20110503_abuso-minori_it.html). Dalam surat edaran tersebut, Konferensi Waligereja diminta untuk: menerapkan disiplin kanonik terhadap klerus yang terbukti melakukan kejahatan pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur; memiliki standar evalusi menyangkut  suitability imam yang melayani Gereja atau lembaga-lembaga tertentu; mengawasi program pendidikan keluarga dan komunitas Gereja berkaitan dengan perlindungan terhadap anak-anak dari kejahatan pelecehan seksual di masa depan;  menjadi gembala dan bapa bagi setiap korban pelecehan seksual yang membutuhkan bantuan tertentu.

Surat edaran ini dibagi menjadi tiga bagian: pertama, beberapa pertimbangan umum; kedua, ringkasan ketentuan hukum kanonik yang diaplikasikan dalam penyelesaian kasus; dan ketiga, beberapa saran untuk Ordinaris menyangkut berbagai hal prosedural. Setiap bagian dari Surat Edaran ini menyertakan pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk membantu Konferensi Waligereja menyediakan pedoman yang seragam bagi  para uskup diosesan dan para Pemimpin Tarekat yang berada di wilayah Konferensi Waligereja tersebut dalam menanggapi kasus dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengeliminir kasus tersebut. Dalam hukum Gereja, apa yang menjadi tanggung jawab para uskup diosesan dan para pimpinan tarekat berkaitan dengan tuduhan pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur oleh imam telah digariskan secara jelas. Peran Konferensi Waligereja, di satu pihak, adalah menawarkan bantuan kepada para uskup dan di lain pihak, mengkoordinasi tanggapan yang efektif dan seragam. Apa yang ditegaskan dalam Surat Edaran ini tidak bermaksud untuk mengalihkan tanggung jawab para uskup diosesan dan pimpinan tarekat ke Konferensi Waligereja. Sebaliknya, mereka berkewajiban untuk bekerjasama dalam mengembangkan pedoman-pedoman ini dan mengawasi pelaksanannya demi kebaikan Gereja setelah disetujui oleh Kongregasi Ajaran Iman. Tidak ada uskup atau pimpinan tarekat yang dapat membebaskan dirinya dari kolaborasi semacam itu.

Untuk menjaga konsistensi dengan judul tulisan kecil ini, saya akan membatasi diri pada komentar singkat tentang bagian pertama dari Surat Edaran yang memuat beberapa pertimbangan umum sebagai tanggapan Gereja atas kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur oleh imam:

Pertama, para korban pelecehan seksual. Gereja menyadari bahwa ia harus berbela rasa dengan para korban: mendengarkan kisah tragis dan merasakan beratnya penderitaan yang mereka alami, memberikan keyakinan bahwa Gereja ingin menemani mereka di jalan penyembuhan yang panjang serta bersedia mengambil langkah-langkah efektif untuk memberikan jaminan bahwa anak-anak lain akan terlindung dari pelecehan semacam itu. Kepada para korban pelecehan seksual di Irlandia, Paus Benediktus XVI menyatakan bahwa ia sangat sedih dengan penderitaan luar biasa yang mereka alami dan sadar bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk memulihkan secara sungguh-sungguh penderitaan tersebut dan bahwa kepercayaan yang mereka berikan kepada klerus telah disalahgunakan dan martabat mereka dilanggar secara keji. (http://w2.vatican.va/content/benedict-xvi/en/speeches/2006). Pernyataan Paus yang simpatik ini semestinya menjadi bahan permenungan para uskup dan imam, oleh karena mereka – seperti Kristus Gembala Baik – harus mencari yang terluka, mendengarkan para korban, merasakan penderitaan yang mereka alami dan  berkomitmen untuk menawarkan berbagai bantuan yang mereka butuhkan dalam proses penyembuhan yang panjang.

Kedua, perlindungan anak-anak dibawah umur. Di beberapa negara, berbagai program telah dikembangkan oleh otoritas Gereja setempat dalam upaya menciptakan “lingkungan yang aman” bagi anak-anak di bawah umur.  Hal ini antara lain dilakukan lewat screening dan pelatihan bagi para klerus yang terlibat dalam karya penggembalaan di Gereja, di sekolah-sekolah dan paroki, berhubungan dengan program-program yang melibatkan anak-anak, terutama menawarkan pelatihan untuk mengenali tanda-tanda pelecehan.  Program pelatihan seperti ini diharapkan membantu para klerus dalam meningkatkan kepekaan terhadap masalah dan dengan itu mencegah munculnya kasus di masa depan.

Ketiga, formasi calon imam dan religius masa depan. Gereja sungguh menyadari pentingnya pembentukan calon imam dan religius yang berkualitas dalam keseluruhan aspeknya. Dalam sambutannya kepada para Kardinal Amerika pada tahun 2002, Santo Yohanes Paulus II menyatakan semua orang harus tahu bahwa di dalam kehidupan imamat dan religius, tidak ada tempat bagi mereka yang dapat membahayakan kaum muda (http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/speeches/2002/april/documents/hf_jp ii_spe_20020423_usa-cardinals.html). Pernyataan tegas ini menjadi peringatan bagi para uskup dan pimpinan tarekat religius tentang pentingnya pengawasan yang lebih ketat lagi dalam menerima calon imam dan religius serta menyediakan program-program formasi yang memperhatikan berbagai pembentukan manusia yang fundamental, termasuk bidang seksualitas manusia. Secara khusus, para calon imam dan religius harus dibentuk ke arah penghargaan terhadap selibat dan kesadaran yang tercerahkan akan tanggungjawab mereka sebagai bapa rohani. Juga ditegaskan pentingnya saling tukar menukar informasi menyangkut calon yang berpindah dari seminari yang satu ke seminari lain di antara keuskupan yang berbeda, atau antara tarekat religius dengan keuskupan tertentu.

Keempat, dukungan terhadap para imam.  Bagi para imam, Uskup (seharusnya) adalah seorang ayah dan saudara.  Ia hendaknya menyediakan program-program pembinaan berkelanjutan, khususnya di tahun-tahun awal kehidupan imamat. Sebagai seorang ayah, Uskup harus memperhatikan kehidupan doa para imamnya, mendorong mereka untuk saling mendukung dan bekerja sama sebagai saudara serta mengupayakan hidup yang lebih suci dan pelayanan yang lebih sempurna bagi kawanan domba Kristus. Dalam hubungan dengan pembinaan berkelanjutan bagi para imamnya, Uskup memiliki tanggung jawab untuk memberikan dukungan material yang wajar, termasuk kepada para imam yang dituduh atau dinyatakan bersalah melakukan pelecehan seksual, sesuai dengan norma-norma hukum kanonik. Di satu pihak, ia dapat membatasi pelaksanaan pelayanan seorang imam yang dituduh, bahkan selama proses investigasi kasus berlangsung (bdk. KHK kan. 1722; SST art.19), namun di lain pihak, sebagai ayah dan saudara, ia juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi nama baik para imamnya (bdk. KHK, kan. 220), dan harus berusaha semaksimal mungkin untuk merehabilitasi nama seorang imam yang terbukti tidak bersalah.

Kelima, kerjasama dengan otoritas sipil. Dasar kerjasama adalah bahwa pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur oleh imam bukan hanya merupakan kejahatan secara hukum kanon, tetapi juga secara hukum pidana sipil. Oleh karena ketentuan perundang-undangan sipil berbeda setiap negara, termasuk dalam hal interaksi antara otoritas Gereja dan otoritas sipil, cara dan bentuk kerja sama di antara kedua institusi ini juga akan berbeda di berbagai negara. Apapun cara dan bentuk kerjasama tersebut, namun yang pasti bahwa Gereja memiliki kewajiban untuk bekerja sama dengan otoritas sipil dalam hal melaporkan kejahatan pelecehan seksual kepada pihak yang berwenang. Tentu saja, para pimpinan Gereja harus menghindari kompromi apa pun menyangkut forum internal sakramental, yang secara hukum (kanon), tidak pernah boleh dilanggar.

Surat Edaran Tentang Komisi Kepausan Untuk Perlindungan Anak-Anak 2015

Seperti para pendahulunya, Paus Fransiskus juga memiliki kepedulian yang besar terhadap kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur oleh imam yang terjadi dewasa ini. Ia melanjutkan pekerjaan yang dilakukan oleh para pendahulunya, dengan mengeluarkan Surat Edaran yang ditujukan kepada Presiden Konferensi Episkopal dan Pemimpin Lembaga Kehidupan Bakti dan Perkumpulan Kehidupan Kerasulan tentang Komisi Kepausan untuk Perlindungan Anak di bawah umur pada tanggal 2 Februari 2015 (https://w2.vatican.va/content/francesco/en/letters/2015/documents/papafrancesco_20150202_lettera-pontificia-commissione-tutela-minori.html).

Dalam surat edaran tersebut, Paus menegaskan beberapa hal penting, antara lain bahwa Pembentukan Komisi Kepausan untuk Perlindungan Anak-Anak bertujuan untuk menawarkan berbagai proposal dan inisiatif demi memperbaiki berbagai norma dan prosedur berkaitan dengan perlindungan anak-anak dan orang dewasa yang rentan. Komisi ini diyakini dapat menjadi sarana baru yang penting dan efektif dalam mendorong dan memajukan komitmen Gereja di setiap level (Konferensi Wali Gereja, Keuskupan, Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, dan lain sebagainya) untuk mengambil langkah yang diperlukan demi menjamin perlindungan terhadap anak-anak di bawah umur dan orang dewasa yang rentan serta menanggapi kebutuhan mereka dengan adil dan penuh belas kasih. Hal lain yang ditegaskan Paus dalam surat edaran tersebut adalah bahwa segala kemungkinan harus dilakukan untuk membersihkan wajah Gereja dari kotoran pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur dan membuka jalan rekonsiliasi dan penyembuhan bagi mereka yang menjadi korban pelecehan. Keluarga juga perlu mengetahui bahwa Gereja berusaha melindungi anak-anak mereka dan bahwa mereka berhak untuk kembali ke pangkuan Gereja dengan penuh keyakinan karena itu adalah rumah mereka yang aman. Konsekuensinya, prioritas perhatian tidak boleh diarahkan pada usaha untuk menghindari skandal, karena sesungguhnya tidak ada tempat dalam pelayanan bagi mereka yang melecehkan anak-anak di bawah umur.

Paus juga mengingatkan pentingnya memperhatikan ketentuan yang tertuang dalam Surat Edaran Kongregasi Ajaran Iman 2011 dan mengingatkan para Uskup Diosesan dan Superior untuk memastikan bahwa keselamatan anak-anak dibawah umur terjamin di paroki-paroki dan lembaga-lembaga Gereja lainnya. Secara konkrit hal tersebut harus ditunjukkan lewat serangkaian program penggembalaan yang meliputi bantuan psikologis dan pelayanan spiritual. Para gembala jiwa harus siap sedia setiap waktu untuk bertemu dengan para korban dan keluarga mereka, mendengarkan keluh kesah dan merasakan penderitaan mereka yang berat serta memohon pengampunan mereka.

Penutup

Pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur oleh imam merupakan sebuah kejahatan yang berat. Gereja, sejauh ini, telah memberikan tanggapan sekaligus mengambil langkah-langkah pastoral-yuridis dalam mengatasi persoalan ini. Hemat saya, berbagai seruan magisterium dan dokumen-dokumen resmi gereja merupakan tanda bahwa Gereja tidak berdiam diri melainkan berusaha memberikan tanggapan dengan mengambil langkah-langkah konkrit yang diperlukan dalam mengatasi persoalan ini.  Tentu saja masih banyak hal yang harus dibenahi di sana sini. Termasuk keberanian dan sikap terbuka dari pimpinan Gereja Lokal, sebab sebagaimana diungkapkan oleh seorang rekan imam, anggota Komisi Kepausan untuk Perlindungan Anak-Anak, dalam Konferensi Canon Law Society of Australia and New Zealand baru-baru ini: “cover-ups and denial are still too prevalent in the Church”.

Kredit Foto: http://www.foggiatoday.it