Dua kali dalam beberapa baris, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia merujuk kepada Allah yang Maha Kuasa dan perlunya berkat Allah turun atas negara Indonesia yang baru lahir. Dengan cara yang sama, kalimat pembuka undang-undang dasar ini merujuk dua kali pada keadilan sosial sebagai fondasi tatanan internasional yang diinginkan dan sebagai salah satu tujuan yang harus dicapai demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Demikian disampaikan Bapa Suci Paus Fransiskus dalam pidatonya di hadapan Presiden Joko Widodo di Istana Negara dalam pertemuan dengan otoritas sipil, korps diplomatik, dan masyarakat sipil di Istana Negara, Rabu (04/09/2024).
Bhineka Tunggal Ika, keadilan sosial dan berkat ilahi, kata Paus, merupakan prinsip-prinsip hakiki untuk menginspirasi dan menuntun tatanan sosial. Prinsip-prinsip ini dapat disamakan dengan struktur pendukung, sebuah fondasi yang kokoh untuk membangun rumah. “Bukankah kita pasti menyadari bahwa prinsip-prinsip ini sangat sesuai dengan moto kunjungan saya ke Indonesia: Iman, Persaudaraan, Bela Rasa?”tanya Paus.
Sayangnya, bagaimanapun, jelas Paus, kita melihat dunia saat ini, kecenderungan-kecenderungan tertentu yang menghalangi perkembangan persaudaraan universal (bdk. Surat Ensiklik, Fratelli Tutti, 9).
“Di berbagai daerah kita menyaksikan munculnya konflik, kekerasan, yang sering kali terjadi akibat kurangnya sikap saling menghargai, dan dari keinginan intoleran untuk memaksakan kepentingan sendiri, posisi sendiri dan narasi historis sepihak dengan segala upaya, bahkan kalaupun hal ini membawa kepada penderitaan tiada akhir bagi seluruh komunitas dan berujung pada peperangan dan banyak pertumpahan darah,”ujar Paus.
Kadang-kadang, ketegangan-ketegangan yang disertai kekerasan juga timbul di dalam negara karena mereka yang berkuasa ingin menyeragamkan segala sesuatu dengan memaksakan visi bahkan dalam hal-hal yang seharusnya diserahkan kepada otonomi individu-individu atau kelompok-kelompok terkait.
Terlepas dari kebijakan-kebijakan yang mengesankan, kata Paus, ada juga kurangnya komitmen yang berorientasi ke depan dalam menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Akibatnya, sebagian besar umat manusia terpinggirkan, tanpa sarana dalam menjalani hidup yang bermartabat dan tanpa perlindungan dari ketimpangan sosial yang serius dan bertumbuh, yang memicu konflik-konflik yang parah.
Dalam konteks lainnya, masyarakat percaya bahwa mereka dapat atau boleh mengabaikan kebutuhan untuk memohon berkat Allah, menilainya sebagai sesuatu yang dangkal bagi manusia dan masyarakat sipil, kata Paus.
Sebaliknya, mereka lebih mengedepankan usaha-usaha sendiri, meski kerap kali hal ini menyebabkan frustrasi dan kegagalan. Meski demikian, ada masa-masa ketika iman akan Allah terus menerus diletakkan di garis depan, tapi sayangnya dimanipulasi untuk menciptakan perpecahan dan meningkatkan kebencian. “Dan bukan untuk memajukan perdamaian, persekutuan, dialog, rasa hormat, kerja sama dan persaudaraan,”ujar Paus.
Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI