HARI KOMUNIKASI SOSIAL SEDUNIA merupakan satu-satunya perayaan yang dimasukkan dalam kalender liturgi Gereja Katolik atas anjuran Konsili Vatikan II. Anjuran dalam dekrit Inter Mirifica ini dipertegas oleh Paus Paulus VI dengan menetapkannya sebagai perayaan liturgi tahunan yang dirayakan pada hari minggu sebelum hari Raya Pentekosta. Dia sendiri juga yang menyampaikan Pesan untuk Hari Komunikasi Sedunia yang pertama dengan tema “Gereja dan Komunikasi Sosial”. Sejak saat itu, setiap tahun pada hari minggu Paskah VII, Gereja Katolik merayakan Hari Komunikasi Sosial Sedunia, yang saat ini sudah memasuki usia ke-52.
Dalam perayaan Hari Komunikasi tahun 2018 ini, Paus Fransiskus memilih tema: “Kebenaran itu akan Memerdekakan Kamu (Yoh 8:32): Berita Palsu dan Jurnalisme Perdamaian”. Menurut Paus penyebaran berita palsu di media daring dan cetak, telah menimbulkan kebingungan dan kecemasan di hati manusia. Lebih dari itu, mempengaruhi opini publik untuk mempercayai kepalsuan itu sendiri. Hal yang sudah tidak benar, menjadi seolah-olah benar. Sebaliknya, hal yang sudah benar bisa diplintir menjadi tidak benar.
Paus memang memiliki perhatian khusus tentang maraknya penyalahgunaan media sosial sebagai wadah penyebaran konten negatif. Itulah sebabnya, selama dua tahun terakhir dalam Pesan untuk Hari Komunikasi Sedunia, Bapa Suci mengajak umat agar tidak takut menghadapi khabar bohong dan berita palsu (Hoax dan fake news). Ancaman penyalahgunaan media sosial perlu dihadapi dengan menggunakan kacamata “Khabar Baik” yakni Yesus sendiri. Dia telah menunjukkan bukti kesetian menghadapi penderitaan, sengsara dan wafat di salib. Namun Dia bangkit sebagai pemenang atas dosa dan maut. Dalam keyakinan yang sama, Paus Fransiskus mengajak umat katolik agar tidak gentar menghadapi ancaman penyalagunaan media sosial. Dalam Kristus, Allah menunjukkan solidaritasNya dengan situasi hidup manusia. Ia Bapa yang tinggal bersama manusia dan yang selalu memperhatikan anak-anakNya. “Janganlah takut, sebab Aku ini menyertai Engkau” (Yes 43:5) (Bdk. Pesan Paus untuk Hari Komunikasi 2017).
Dalam Pesan untuk Hari Komunikasi 2017, Paus Fransiskus mengakui kemudahan bagi manusia untuk mengakses media informasi dan komunikasi. Begitu mudah bagi setiap orang untuk mendapat berita dan menyebarkannya dengan cakupan wilayah yang tak terbatas. Berita yang dishare bisa baik namun tak sedikit juga berupa hoax dan fake news. Dalam hitungan detik ada banyak informasi yang masuk dalam pikiran manusia, sampai ketiadaan waktu untuk membedakan baik-buruknya berita yang diterima. Dalam gaya analogi, Sri Paus membandingkan pikiran manusia ibarat “penggiling”. Dengan cara kerja seperti penggiling, pikiran manusia diharapkan bisa menyaring, memisahkan aneka informasi yang diterima. Pola kerja seperti penggiling tersebut dialamatkan juga kepada para pelaku media, terutama para wartawan, agar memiliki kemauan dan kemampuan mengolah berita secara baik dan benar sebelum disampaikan kepada masyarakat umum.
Harapan yang sama ditujukan juga kepada semua masyarakat. Paus menghimbau agar setiap orang terlibat dalam membangun komunikasi yang konstruktif. “Bahasa dan gerak/ekspresi harus mengirimkan rahmat belaskasih, sehingga dapat menyentuh hati setiap orang dan menginspirasi mereka untuk menemukan jalan yang mengarah kepada yang mahakuasa”. Dalam konteks hidup harian, bahasa dan ekspresi saat kita berkomunikasi, saat berada bersama dengan yang lain hendaknya mengungkapkan penyambutan, kesediaan menerima satu sama lain dan kerelaan mengampuni kesalahan sesama.
Sri Paus Fransiskus dalam pesan untuk Hari Komunikasi Sedunia tahun ini juga menegaskan tentang bagaimana kita bersikap menghadapi berita palsu (termasuk berita bohong dan ujaran kebencian). Sri Paus mengaajak kita untuk menangkalnya dengan komitmen yang total pada Kebenaran. Kebenaran yang dimaksudkan Paus adalah kebenaran alkitabiah. Tempat dimana manusia merasa aman, bisa bersandar agar tidak jatuh dalam godaan. Dia yang bisa diandalkan, tempat manusia bersandar adalah Tuhan sendiri. “Akulah Kebenaran” (Yoh 14:6). Di dalam Tuhan kita menemukan kebebasan sebagai anak Allah dalam menyikapi godaan apapun dalam hidup kita termasuk dari media sosial sekalipun. “Inilah satu-satunya yang dapat membebaskan kita: “Kebenaran itu Akan Memerdekakan kamu” (Yoh 8:32).
Hal ini terkait dengan media sosial yang digunakan lebih dari 1,76 miliar manusia di seluruh dunia itu, beberapa tahun terakhir ini begitu identik dengan berita bohong (hoax), berita palsu (fake news), penyebaran pesan kebencian (hate speech). Penyebarannya di media sosial menjadi masif karena telah dijadikan industri baru oleh sebagian masyarakat. Industri ini hadir bukan hanya untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan, melainkan terutama untuk mempengaruhi prilaku atau keputusan masyarakat. Mereka berasumsi bahwa dengan mengosumsi produk yang mereka hasilkan, masyarakat akan mudah panik dan terpengaruh.
Maka yang penting untuk dilakukan bukan meminta masyarakat menghindari hoax, fake news, hate speech karena hal itu tidak realistis dilakukan. Hal yang lebih realistis untuk dilakukan adalah mengondisikan umat untuk lebih rileks, tidak reaktif dan tidak panik menghadapi segala rupa informasi di dunia maya. Pada saat yang sama meningkatkan gerakan bersama pemangku kepentingan mengadakan literasi media.
Guna meminimalisir dampak penyebaran konten negatif di media daring dan cetak maka pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, lembaga agama, komunitas dan semua manusia berkehendak baik membangun sinergitas gerakan literasi nasional. Gerakan literasi yang mulai digalakan di sekolah, kelompok kategorial seperti yang dilakuan kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Konferensi Waligereja Indonesia di 7 kota tahun 2017, perlu didukung dengan gerakan literasi masyarakat pada semua kategoria usia. Gerak bersama ini sebagai ungkapan kepedulian menyelamatkan manusia terutama orang muda dan anak-anak dari ketersesatan informasi dan pengiringan opini. (KP)
Kredit Foto: http://sentimeter.corriere.it/
Imam diosesan (praja) Keuskupan Weetebula (Pulau Sumba, NTT); misiolog, lulusan Universitas Urbaniana Roma; berkarya sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) KWI, Juli 2013-Juli 2019