Akar Agama dan Tradisi Eropa perlu Menghargai Martabat Manusia dan Demokrasi
Hari ini, 25/11, Bapa Suci Fransiskus telah mengadakan kunjungan ke Parlemen Eropa di Strasbourg. Kedatangan Sri Paus yang bersejarah itu diliput oleh sekitar lebih dari 900 wartawan dari seluruh dunia dan disambut dengan sistem pengamanan yang luar biasa. Saat tiba di gedung Parlemen UE, Sri Paus disambut oleh President UE, Martin Schulz.
Paus Fransiskus mengawali diskurs-nya di hadapan para deputi Parlemen UE dengan berkata: “Martabat manakah yang dapat dimiliki seorang pria atau seorang wanita yang menjadi korban dari segala bentuk diskriminasi? Martabat manakah yang dapat ditemukan seorang manusia yang tidak memiliki makanan atau sedikit esensial untuk hidup, dan yang lebih parah lagi, tidak memiliki pekerjaan yang memberikan martabat kepadanya?”. Sri Paus menambahkan: “Martabat manakah yang ada ketika tidak ada kemungkinan untuk menyatakan pemikiran diri secara bebas atau untuk menjalankan ibadah keagamaan tanpa paksaan? Martabat manakah yang memungkinkan tanpa sebuah bingkai hukum yang jelas, yang membatasi domain dari kekuatan dan membuat pengesahan hukum di atas tirani kekuasaan?”
“Salah satu penyakit yang saya lihat paling umum saat ini di Eropa adalah keterasingan, dari seorang yang tidak memiliki ikatan-ikatan”, kata Paus Fransiskus. “Hal itu dapat dilihat khususnya dalam diri orang-orang lanjut usia (lansia), yang kerap kali ditelantarkan pada nasib mereka, serta dalam diri kaum muda yang tidak memiliki titik acuan dan tanpa kesempatan untuk masa depan mereka; terlihat di dalam diri banyak orang miskin yang memadati kota-kota kita; terlihat di pandangan mata yang kelam dari para pendatang (kaum imigran) yang datang ke sini untuk mencari masa depan yang lebih baik.”
“Selama beberapa tahun terakhir – kata Paus Fransiskus kepada Parlemen Eropa – di samping proses pembesaran Uni Eropa, telah berkembang ketidakpercayaan warga terhadap lembaga yang dianggap menjauh, yang berkomitmen untuk mengesahkan aturan-aturan yang dianggap jauh dari sensitivitas masyarakat individu, bahkan merusak. Dari banyak pihak telah didapatkan pula kesan umum seperti kelelahan dan penuaan dari nenek Eropa yang tidak lagi subur dan bersemangat.”
Cita-cita besar yang telah menginspirasi benua Eropa tampaknya telah kehilangan kekuatan yang menarik, akibat teknisisme birokrasi dari lembaga-lembaga tersebut.” Hal ini dinyatakan oleh Sri Paus dalam sambutannya di Parlemen Eropa di Strasbourg.
Suatu Eropa “yang mampu menghargai akar keagamaannya dan mengetahui cara menyambut kekayaan dan potensi dari akar keagamaannya”, dapat menjadi “lebih mudah kebal terhadap banyak hal-hal ekstrim yang merajalela di dunia saat ini, bahkan untuk kekosongan cita-cita besar yang kita lihat di dalam dunia Barat.” Kata Paus Bergoglio, “Di sini kita tidak bisa untuk tidak mengingat banyaknya ketidakadilan dan penganiayaan yang setiap hari menimpa umat beragama minoritas, terutama orang-orang Kristen, di berbagai belahan dunia.” Sri Paus menggarisbawahi, “Masyarakat dan orang-orang yang menjadi obyek dari kekerasan barbar: diusir dari rumah-rumah dan kampung halaman mereka; dijual sebagai budak; dibunuh, dipenggal, disalib dan dibakar hidup-hidup, di bawah keheningan yang memalukan dan keterlibatan dari banyak orang.”
“Keluarga yang bersatu, subur dan tak terpisahkan membawa elemen-elemen mendasar untuk memberikan harapan bagi masa depan. Tanpa kekukuhan seperti ini kita akan berakhir dengan membangun di atas pasir, dengan konsekuensi sosial yang serius.”
“Sangat diperlukan menghadapi bersama masalah migrasi. Kita tidak dapat mentolerir bahwa Laut Mediterania akan menjadi kuburan besar!” Di kapal yang tiba setiap hari di pantai-pantai Eropa ada banyak pria dan wanita yang membutuhkan penerimaan dan bantuan – kata Bergoglio -. Eropa, katanya, “akan mampu mengatasi masalah yang berkaitan dengan imigrasi jika dapat mengusulkan dengan jelas identitas budaya mereka dan menerapkan undang-undang yang sesuai yang mampu pada saat yang sama melindungi hak-hak warga negara Eropa dan memastikan penerimaan kaum imigran; jika mampu mengadopsi kebijakan yang benar, berani dan dengan nyata membantu negara asal para imigran di dalam pertumbuhan sosial-politik dan di dalam mengatasi konflik internal – penyebab utama atas fenomena ini – dan bukan sebaliknya mengadopsi kebijakan yang meningkatkan kepentingan-kepentingan yang menambah dan membakar konflik ini.” Paus Fransiskus menambahkan, “Diperlukan untuk bertindak atas penyebab-penyebab dan bukan hanya atas akibat-akibatnya.”
Diterjemahkan oleh: Shirley Hadisandjaja/Sumber: Ansa)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.