PAUS Fransiskus mengamandemen Kitab Hukum Kanonik, Selasa (26/3/2019) untuk menciptakan tata cara baru pemberhentian seorang pria atau wanita religius yang pergi meninggalkan komunitas religiusnya.
Perubahan atas Kitab Hukum Kanonik tersebut diumumkan Paus Fransiskus bersamaan dengan dikeluarkannya surat apostolik “Motu Proprio Communis Vita ”. Disebutkan di dalam peraturan itu bahwa seorang atasan atau pemimpin kongregasi dapat memberhentikan anggota ipso facto (“oleh kenyataan itu sendiri”) karena ketidakhadirannya secara tidak legitim dari komunitas religiusnya selama lebih dari satu tahun dan tidak ditemukan.
“Kehidupan komunitas merupakan bagian penting dari kehidupan religius,” kata Paus, sebagaimana diberitakan catholicnewsagency.
Dalam surat berjudul Communis Vita (“Common life”) yang dikeluarkan pada tanggal 26 Maret, Paus mengutip kanon 665 § 1 dari Kode Hukum Kanonik. Disebutkan di dalam Kanon ini bahwa “Para religius hendaknya tinggal di rumah religiusnya sendiri dengan menjalani hidup bersama, dan jangan pergi dari rumah kwcuali dengan izin Superiornya. Namun jika mengenai kepergian yang lama dari rumah, Superior Mayor, dengan persetujuan dewannya serta dengan alasan yang wajar, dapat mengizinkan anggota tinggal di luar rumah tarekat, tetapi tidak lebih dari satu tahun, kecuali karena alasan kesehatan, studi atau kerasulan yang dilaksanakan atas nama tarekat.”
Di bawah ketentuan kanon 694 saat ini, yang direformasi oleh “Motu Proprio”, pemberhentian ipso facto (“oleh kenyataan itu sendiri” ) terhadap anggota komunitas religius dapat dilakukan karena dua alasan: bahwa ia telah “yang secara terbuka meninggalkan iman katolik,” atau “yang melangsungkan perkawinan atau mencobanya, meski hanya secara sipil. ”
Sekarang, jika seorang anggota komunitas religius “pergi dari komunitasnya secara tidak legitim, sesuai dengan kanon 665 § 2, selama dua belas bulan tanpa ada pemberitahuan ”mereka juga dapat dinyatakan diberhentikan dari komunitas, asalkan atasan mereka tidak dapat menemukan atau menghubungi mereka. Tetapi, ini bergantung pada konstitusi setiap komunitas religius, pemberhentian tersebut harus dikonfirmasi ke Tahta Suci atau oleh uskup setempat.
Paus menegaskan bahwa hukum kanonik saat ini sudah menyediakan prosedur pemberhentian seorang anggota religius oleh karena ia telah absen secara tidak legitim dari komunitas religiusnya, di mana seorang pemimpin komunitas dapat memulai proses pemberhentian setelah setidaknya enam bulan absen. Meski diakui bahwa proses ini sulit untuk diputuskan berdasarkan kepastian hukum ketika keberadaan anggota religius tidak diketahui.
Disebutkan pula bahwa peraturan baru tersebut nantinya mulai diberlakukan pada 10 April 2019. Para uskup diosesan diyakini telah memiliki kemampuan dan pemahaman yang baik dari sisi hukum untuk dapat mengajukan petisi kepada Kongregasi khusus bagi anggota religius yang telah meninggalkan pelayanan mereka dan tidak dapat ditemukan. Sekalipun dalam kasus seorang anggota religius harus absen untuk lima tahun sebelum tindakan apa pun dilakukan.
Paus menerangkan bahwa perubahan kanon tersebut dilakukan “untuk membantu kongregasi-kongregasi guna mengamati disiplin yang diperlukan dan melakukan tindakan pemberhentian terhadap anggota komunitas religius yang absen secara tidak legitim,” terutama dalam kasus-kasus di mana keberadaan mereka tidak dapat ditemukan.
Peraturan baru yang ada mengharuskan seorang atasan untuk menghubungi anggota komunitas religiusnya yang telah tidak hadir dan mengajaknya untuk kembali ke komunitas religius serta membantunya untuk “bertahan dalam panggilannya,” sebelum keputusan pemberhentian benar-benar diambil.
Kanon 729 juga diperluas untuk memperjelas bahwa keanggotaan seseorang di sebuah lembaga sekuler dapat diberhentikan ipso facto karena telah kawin kontrak atau sedang melakukan proses pernikahan kontrak, atau karena telah meninggalkan iman Katolik, mereka tidak terikat dengan kehidupan komunitas lewat cara yang sama.
Uskup Agung José Rodríguez Carballo, Sekretaris Kongregasi untuk Lembaga Hidup Bakti dan Masyarakat Kehidupan Kerasulan, menanggapi perubahan tersebut dengan mengatakan bahwa para pemimpin komunitas religius memiliki kewajiban untuk menjaga dan merawat “kebaikan bersama yang dinyatakan dalam hidup berkomunitas,” yang merupakan elemen utama dari kehidupan beriman.
“Tapi, kasih bagi anggota komunitas religius yang telah pergi secara tidak legitim tetap dinyatakan sebagai sebuah keharusan,” pesan Uskup Carballo.
Sumber: catholicnewsagency.com
Penerjemah: John Laba Wujon
Editor: RD. Kamilus
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.