Kardinal Tagle mengeluh karena masalah-masalah keluarga dari Asia dan Afrika sama sekali tidak dibahas. Dia lebih heran lagi karena dari ratusan-ratusan wartawan yang meliput Sinode itu tidak ada satupun dari Asia dan Afrika. Bagaimana siatuasi kokret keluarga-keluarga di Asia dan Afrika bisa diangkat ke dalam Sinode dan menjadi perhatian Gereja kalau Sinode mengabaikannya dan tidak ada wartawan yang menjadikannya berita?
Uskup Suharya, sebagai utusan KWI untuk ikut Sinode di Roma itu, baik dalam laporannya yang diposting oleh Rm Leo Sugiyono, maupun sambutannya dalam Pembukaan Sidang KWI yang sedang berlangsung ini, juga tidak memberikan harapan tentang adanya terobosan-terobosan baru untuk pastoral keluarga bermasalah di Indonesia.
Kadinal Tagle mengeluh karena masalah hanya dikerucutkan pada soal: apakah orang katolik yang sudah cerai dan nikah lagi boleh sambut ekaristi dan apakah homo boleh menikah? Seolah-olah masalah keluarga hanya soal itu. Padahal masalah-masalah keluarga begitu beragam, kompleks dan tidak sederhana.
Kita belum tahu apakah dalam Sidang KWI dibahas juga tema Sinode Keluarga itu. Kalau melihat beritanya dari Mirifika KWI, sepintas saya melihat Romo Eddy Kristiyanto OFM yang diminta bicara tidak membahas tema keluarga, melainkan bagaimana Gereja Katolik Indonesia memperdalam konsep misi yang baru; kalau dulu harus membaptis, sekarang pada usaha pembaruan hati manusia agar hidup menurut semangat Injil.
Kalau Sinode Keluarga di Roma tidak representatif terhadap permasalahan keluarga di Asia, Afrika dan mungkin juga di Amerika Latin, dan Sidang KWI juga memilih tema lain lagi. Maka kita tidak perlu berharap bahnyak bahwa akan mendapatkan petunjuk-petunjuk pastoral untuk membantu keluarga-keluarga di paroki kita yang mengalami masalah. Biarlah mereka tetap dalam masalah mereka itu, tetap sabar, sampai mati.
Dari lain pihak sepertinya masalah semakin banyak. Angka perceraian semakin tinggi dan anak-anak korban perceraian semakin banyak. Dan anak-anak seperti itu nanti kalau menikah juga mengalami trauma perceraian orangtuanya dan secara psikologis mungkin juga cenderung broken home lagi.
Dari lain pihak, tidak adanya petunjuk dari Roma atau dari KWI tentang masalah pastoral keluarga, membuat para Uskup masing-masing dan para pastor masing-masing dapat dengan lebih bebas menjalankan kebijaksanaan pastoral keluarga sendiri-sendiri dengan motivasi kebaikan hati, sikap realitis dan sikap kebapaan dan kegembalaan mencari solusi bagi setiap situasi keluarga. Karena masalah keluarga adalah pasalah pastoral, bukan dogmatis.
Karena realitas hidup keluarga adalah realitas manusiawi dan keduniaan, maka memang memang realisasi kehidupan keluarga itu bemacam-macam; konteks Eropa, Asia, Afrika dan Amerika Lain bisa bervariasi dah khas. Realitas yang konkret itu menentukan sifat pastoral dari kerasulan keluarga. Karena sifatnya pastoral maka ada kebijakan-kebijakan pastoral yang khas untuk setiap situasi.
Ajaran perkawinan Gereja Katolik yang telah menjadi resmi – autentik – definitif adalah:
- Bahwa perkawinan itu harus monogami.
- Bahwa perkawinan yang sah adalah satu kali untuk seumur hidup atau indissolubilis (tidak terceraikan)
- Bahwa karena iman kepada Kristus, maka perkawinan di antara orang yang dibaptis (kan 1055) bersifat sakramental; artinya menjadi tanda dan sarana kehadiran Tuhan yang menyelamatkan manusia, dalam hal ini, suami-isteri itu.
Masalah ada di nomer 2; Perkawinan katolik yang sah adalah tidak terceraikan untuk seumur hidup. Tetapi kalau perkawinan itu tidak sah, maka bisa dinyatakan nol (declaratio nullitatis), jika dibuktikan dengan kepastian hukum dan moral dan berani dipuskan Dalam Nama Tuhan (kan. 1612,§ 1).
Karena setiap perkawinan yang kita saksikan di depan Altar Tuhan itu sebenarnya masih ada dua kemungkinan: Sah atau putatif (nampaknya sah). Arti perkawinan putatif di kan. 1061 § 3. Namun karena perkawinan itu adalah lembaga yang suci, maka dalam keragu-raguan mengenai sahnya pun, harus mendapat perlindungan hukum atau prioritas sahnya (favor iuris), dianggap sah.
Dalam perdebatan para kardinal pada Sinode itu (sekurang-kurangnya sejauh diekspos oleh wartawan) biarpun itu Kardinal Gerhard Müller, Walter Kasper atau Leo Burke sekalipun, argumen hanya muter-muter pada orang katolik yang sudah cerai itu boleh sambut atau tidak boleh. Paus Fransiskus karena mengutamakan belas kasih dituduh akan memberikan izin. Ketiga kardinal tadi memprotesnya. Perdebatan itu mengandaikan bahwa 100 % perkawinan katolik adalah SAH. Kalau SAH memang tidak terceraikan, lestari, langgeng, bahagia, sejahtera, rukun dan damai, saling mengasihi sampai di liang kubur seperti Habibie dan Ainun ( yang nota bene: muslim). Tetapi Paus Fransiskus berani menyatakan di pesawat terbang pulang dari Brasil ke Roma bahwa menurut Uskup pendahulunya di Buenos Aires, 70 % perkawinan di Argentina tidak sah (alias putatif), maka dengan mudah sebenarnya bisa dinyatakan tidak sah (declaratio itu).
Kabar baik sebenarnya muncul dari Kardinal Ahli Hukum, Francesco Coccopalmerio, (The President of the Pontifical Council for Legislative Texts – Presiden dewan kepausan urusan perumusan legislasi) yang mengetahui bahwa mungkin ada atau banyak perkawinan bercorak putatif, sehingga solusinya adalah: proses declaratio nullitatis lebih disederhanakan, tanpa mengurangi kepastian hukum dan moral seperti ditutut dalam kano 1085 § 2 yang menyatakan: kalau seorang imam sudah mempunyai kepastian moral dan hukum bahwa halangan nikah sebelumnya dari mempelai yang ia akan berkati itu secara legitim dibatalkan, maka ia boleh memberkati nikah itu.
Kalau usulan Kardinal Francesco diterima, maka perdebatan tiga kardinal melawan para kardinal lain yang lebih moderat dalam Sinode itu, tidak diperlukan lagi. Hasilnya: bukan Cuma remarried divorce boleh sambut pada masa natal dan paskah, melainkan relasi mereka menjadi sah dan boleh menerima Tubuh Kristus dengan tenang.