MIRIFICA.NET – Para fungsionaris pastoral lintas komisi (PSE, KKP-PMP, SGPP) dan Caritas keuskupan se-Regio Nusra baru saja pada akhir pekan lalu, di kota wisata super premium Labuan Bajo, selesai melakukan pembelajaran bersama mengenal dan memahami pendekatan ABCD sebagai pola untuk pengembangan masyarakat (umat).
Di penghujung kegiatan berlaber Training of Trainers (ToT) Asset Based Community-driven Development (ABCD) itu, terlontar harapan agar pola ABCD ini sungguh dipahami dan dilaksanakan umat maupun masyarakat dampingan, maka penting sekali menghidupkan pastoral atau spiritualitas kehadiran.
Sekretaris Eksekutif Komisi PSE KWI, RD. Ewaldus, yang mengikuti kegiatan itu sampai tuntas mengatakan, penting sekali para agen pastoral atau pendamping komunitas itu untuk meihat situasi nyata yang ada di tengah masyarakat (umat) dan mengalami kenyataan itu bersama mereka.
Romo Ewal, demikian sapaan akrabnya, mengingatkan kembali kata-kata Paus Fransiskus yang berkali-kali baik dalam ensiklik maupun dalam sapaannya bahwa dalam pesan pastoralnya selalu mengajak kita (Gereja) untuk ‘pergi keluar’.
“Itu artinya kita diajak melihat situasi nyata yang ada di tengah masyarakat, dialami bersama dengan mereka dan Paus Fransiskus selalu juga mengungkapkan betapa dalam dunia atau bumi rumah kita bersama ini ternyata masih banyak saudara kita yang miskin, terpinggirkan atau yang mengalami ketidakadilan dan seterusnya,” katanya.
Menurut Romo Ewal, keadaan seperti itu ada di mana-mana termasuk juga di Regio Nusa Tenggara (Nusra) ini. Oleh karena itu, Rm. Ewal mengajak untuk bersama-sama mewujud-nyatakan dan menanggapi seruan Paus itu supaya berpihak pada kaum miskin, mereka yang terpinggirkan atau mereka yang mengalami ketidakadilan termasuk juga ketidakadilan ekologis.
“Kita tahu ada orang yang menguasai satu lahan besar dan mengeksploitasinya hanya untuk dirinya sendiri atau kelompoknya sedangkan yang lain dipingggirkan. Nah Gereja harus ada di situ, kita harus bersama dengan mereka, kita mengajak mereka agar punya harapan untuk membangun kehidupannya sendiri dengan potensi yang ada,” harapnya.
Seruan Paus itu, katanya lebuh lanjut, ada kaitannya dengan metode ABCD yang dipelajari dalam beberapa hari di Labuan Bajo. Maka, saatnya dalam pendampingan umat atau masyarakat supaya mereka punya harapan dan secara bersama-sama dari apa yang mereka miliki untuk memperbaiki hidupnya agar semakin sejahtera baik untuk dirinya sendiri, untuk orang lain dan juga untuk alam semesta.
Harapan senada diungkapkan RD. Markus Manurung, dari Badan Pengurus PSE KWI yang juga Ketua Komisi PSE Keuskupan Agung Medan. Romo Markus mengungkapkan bahwa metode ABCD ini juga ditopang dengan metode appreciative inquiry (pertanyaan apresiasi).
Metode appreciative inquiry itu tujuangnya untuk menggali hal-hal yang baik, cerita-cerita menarik atau pengalaman yang berharga di masa lalu. Itu sebenarnya yang mesti dikembangkan dalam setiap orang.
“Jadilah seorang pribadi yang berpikir positif terutama masa-masa lalu. Jangan meratapi kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalan yang membuat orang tidak mau maju. Itu yang ditekankan oleh metode appresiative inquiry yang bisa ditopang dengan metode ABCD ini,” katanya.
kedua, lanjut Romo Markus, untuk bisa menerapkan Metode ABCD, setiap orang juga harus menyadari spiritualitas kehadiran, artinya seorang Ketua Komisi PSE atau fungsionaris pastoral lainnya, mesti mengunjungi paroki-paroki, hadir di sana, sehingga punya gambaran yang menjadi potensi-potensi ataupun ada cerita sukses yang bisa dikembangkan sehingga dia akan gampang memakai metode ini dan dalam skup-skup kecil.
Sementara Direktur Caritas Indonesia (Karina) RD. Fredy Rante Taruk menegaskan dengan metode ABCD, pendekatan dalam menyelesaikan persoalan di tengah masyarakat atau umat, tidak lagi pertama-tama diarahkan dengan melihat bantuan-bantuan dari luar, namun sembari memanfaatkan potensi-potensi yang ada, Karitas-karita atau PSE dalam kolaborasi dengan komisi terkait harus membuat proses dari masyarakat itu sendiri dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan mereka sendiri baik dari sisi SDM, aset-aset sosial dan budaya, asset fisik dan alam, dan sebagainya.
Menurut Romo Fredi, beberapa masalah yang diangkat baik dalam pertemuan-pertemuan terdahulu maupun dalam pertemuan ini, dari Regio ini masalah yang muncul antara lain migran, trafficking, stunting, masalah masyarakat berkebutuhan khusus serta masalah peningakatan pendapatan (terkait mata pencaharian).
“Masyarakat di Nusra ini, khususnya di NTT, tentu tidak kalah dari tempat-tempat lainnya. Namun perlu disadari dan disenergikan agar program terkait masalah-masalah yang disebutkan tadi, yang memang paling banyak juga kita rasakan, data-datanya juga cukup memberitahu kita bahwa hal ini menjadi hal penting bagi daerah di Nusra, maka kita ingin ada pendekatan-pendekatan yang lebih membantu kita memperhatikan persoalan ini agar ke depan ada solusi yang lebih baik dan kalau boleh mengurangi perdagangan manusia dan mengurangi adanya migran yang gagal dan persoalan-persoalan yang terkait dengan itu,” harapnya.
“Itu harapan kami ke depan dan bersama komisi-komisi terkait kita ingin bersinergi dan penanganannya tidak parsial tetapi memperhatikan dari hulu ke hilir, memperhatikan aspek aspek relasi masyarakat dan komisi-komisi yang membantu secara keseluruhan. Jadi pendekatannya dari berbagai sisi, sejauh itu berbasis dari kemampuan atau dari asset yang telah ada di tengah-tengah kita dan di tengah keuskupan,” imbuhnya.
Terkait dengan proses latihan ini, baik Romo Ewal, Rm. Fredy maupun Rm. Markus, sangat apresiasi atas semangat dan antiusias peserta di Regio Nusra. “Sungguh luar biasa teman-teman di sini, dari hari pertama sampai hari terakhir mengikutinya dengan penuh antusias lalu juga berupaya semaksimal mungkin mengikuti proses yang ada secara aktif dan juga kreatif,” ungkap Rm. Ewal.
Rm. Fredy mengungkapkan, “Mereka mengikutinya dengan baik dan kita memang membutuhkan pelatihan-pelatihan lagi yang lebih teknis untuk mereka yang akan memberikan pendampingan di komunitas-komunitas. Namun dalam tataran komisi-komisi di keuskupan pelatihan ini memberi bekal untuk perubahan paradigma dalam pendekatan pemberdayaan dan memberikan tools atau alat-alat yang akan dipakai dalam perecanaan program dalam setiap komisi terkait dan bahkan dalam kolaborasi lintas komisi di keuskupan masing-masing.”
Sebaliknya, peserta pertemuan ini mengungkapkan sukacita dan apresiasinya terhadap fasilitator atau instruktur pertemuan. Ibu Paulina Pede, dari Keuskupan Agung Ende mengungkapkan, dinamika pertemuan luar biasa, fasilitatornya sangat bagus, dan peserta tidak bosan, duduk sampe sore pun tidak terasa.
“Pertemuan yang menyenangkan karena prosesnya menarik karena dituntun oleh instruktur-instruktur yang menguasai materi pelatihan ini,” ungka RD. Hironimus Mazu dari Atambua.
Hal senada disampaikan Asri Bahi dari Larantuka, RD. Marcelinus Seludin dari Kupang, RD. Evensius Dewantoro Boli Daton dari Denpasar dan Herinimus Gesing dari Ruteng.
“Awalnya, terbayang ini sangat panjang tetapi ketika masuk dalam proses yang dibawakan oleh para instruktur itu ternyata hidup dan banyak permainan. Pembicara juga berganti-ganti itu menghidupkan suasana dan tidak membuat jemu,”ungkap RD. Evensius Dewantoro, Ketua PSE Keuskupan Denpasar.
Menurut Hery Gesing dari Ruteng, “Proses yang didalami itu sangat partisipatif dan sungguh menunjukkan ada suasana keakraban, kekeluargaan dan kebersamaan.”
Para utusan dari 8 Keuskupan di Regio ini telah membuat rencana tindak lanjut yang akan dilaksanakan di Keuskupan masing-masing.
Ketua Penguhubung Komisi PSE Regio Nusra RD. Marianus D. Welan, selain mengucapkan terima kasih kepada Pantia Lokal maupun Fasilitator juga berharap agar pola pendekatan ABCD ini dapat segera diimplementasikan dalam keuskupan masing-masing paling tidak kajian-kajian yang telah dilakukan sesusai situasi kongkret di gereja lokal dan bisa menjadi fasilitator di keuskupan masing-masing dan teruskan kolaborasi antara komisi di rumpun kemasyarakatan. *Penulis: Hironimus Adil (Komsos Keuskupan Denpasar)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.