” Perempuan, Mengapa engkau menangis? Siapakah yang engkau cari? , tanya Yesus. Dan Maria Magdalena menjawab :” Tuanku diambil orang”.
Hari itu memang tidak selazim kemarin. Masih sangat pagi. Di hari pertama dalam pekan itu. Maria Magdalena, gadis desa yang selalu digosipkan oleh orang-orang Farisi dan penduduk desa bahwa ia memiliki hubungan khusus dengan Yesus sudah bangun mendahului warga setempat. Namun aktifitas rutinnya sebagai layaknya seorang anak perempuan desa tidak dilaksanakan. Ia tidak langsung mengurus kebersihan rumah dan mengambil air di sumur untuk keperluan rumah tangga di hari itu. Nampaknya ada sesuatu yang perlu dilaksanakan segera. Tergesa-gesa, ia lari ke pekuburan. Di sana ia menemukan kejanggalan. Batu penutup kubur Yesus telah terguling. Yesus tidak di ketemukan. Ajaib memang! Sesuatu yang tidak masuk akal walau Maria Magdalena tidak memiliki kemampuan untuk berpikir yang rumit-rumit seperti layaknya orang bersekolah. Yang ia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres terjadi dengan dirinya. Mungkin juga dengan orang lain? Ia cuma membatin. Maka ia lari untuk menyampaikan kepada para murid Yesus. Para Murid juga tidak percaya betapapun mereka tahu bahwa itu pertanda kebangkitan Yesus. Tetapi warta itu datang dari seorang perempuan, apalagi Maria Magdalena adalah seorang perempuan yang diklasifikasi sebagai perempuan berdosa, maka warta kebangkitan yang disampaikannya dianggap tidak akurat. Makanya ketiga murid Yesus itu berlari ke pekuburan dengan maksud untuk mengklarifikasi kebenaran kebangkitan. Ternyata mereka pun tidak menemukan sesuatu yang lebih baru dari yang dilihat oleh Maria Magdalena. Yang ada cuma gejala. Mereka tidak melihat Yesus karena mereka tidak percaya warta Maria Magdalena. Mereka tidak melihat Yesus karena mereka tidak menghargai perempuan.
Maria Magdalena cuma menangis. Ia memang sedih. Karena “Tuannya telah diambil orang”. Kebenaran yang diwartakan tidak diakui. Bukan karena yang diwartakannya salah. Tetapi karena dia perempuan. Kategori manusia yang tidak dianggap pemilik kebenaran. Kebenarannya telah dicuri dan diambil orang. Dalam situasi yang demikian, tak seorangpun datang untuk memberi jawaban . Maka Yesus sendiri datang menemukan perempuan itu. Perjumpaan itu mengasyikan. Karena diawali dengan sebuah salam dalam bentuk tanya: “Perempuan, mengapa Engkau menangis?” Tapi perlu kita simak apa kelanjutan perjumpaan itu. Tetapi yang satu ini sudah pasti, bahwa kalimat pertama Yesus setelah bangkit bukan ditujukan kepada para imam kepala (para uskup). Tidak juga kepada para ahli taurat (para teolog dan ekseget). Bukan juga kepada orang farisi(biarawan-biarawati). Juga tidak kepada murid-muridNya. Tetapi kepada Maria Magdalena, yang mewakili semua perempuan jamannya. Dengan itu sebuah kesimpulan sudah dapat kita tarik. Sebuah makna paskah sudah kita temukan. Bahwa paskah adalah momen bertemu dengan perempuan-perempuan tertindas. Tema pembicaraan paskah semestinya adalah perempuan.
Perempuan tertindas hampir kita alami dan jumpai setiap hari. Kekerasan rumah tangga selalu menghadirkan perempuan sebagai korban. Pelecehan seksual terjadi di mana-mana. Di rumah kediaman, di sekolah, di jalan, di tempat kerja bahkan di rumah ibadat. Perempuan-perempuan kita hampir sudah tidak mendapatkan lagi kenyamanan di segala lini kehidupan. Kaum perempuan memiliki posisi tawar yang paling kecil dalam berbagai aspek pengambilan keputusan dalam masyarakat dan malah dalam wilayah keagamaan. Dunia ini macamnya penjara saja bagi kaum perempuan. Mereka terpaksa hidup seturut norma kaum lelaki. Kesaksian yang diberikan oleh perempuan selalu dianggap tidak kuat. Tatanan masyarakat kita sudah sekian jauh terkungkung dalam bingkai patriarki (norma dan nilai laki-laki). Para penegak hukum kita tidak lagi peduli dengan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan. Para wakil rakyat kita kian hari kehilangan kepekaan sosial. Pemerintah pun tidak memiliki prakarsa dan selalu bertindak reaktif (memperhatikan kaum perempuan hanya tatkala terjadi masalah). Mereka lebih menyibukkan diri dengan kalkulasi proyek berduit. Ya …dunia ini sedang dipenuhi dengan perempuan yang tengah menangis, meratapi “tuannya yang telah diambil orang” .
Paskah Sejati adalah ambil waktu untuk mendengar kaum perempuan, mendengar keluhan-keluhan mereka, mengembalikan “tuan” nya, haknya, kebebasannya, kebenarannya, jati dirinya. Hanya dengan demikian, kita dapat merayakan paskah sejati. Bila kiat ini tidak kita jadikan sebagai opsi dalam keseharian hidup kita, maka sia-sialah perayaan paskah yang kita rayakan. Karena berbicara tentang paskah adalah berbicara tentang perempuan. Dan kalau kita yakin bahwa Gereja Katolik dibangun di atas paskah, maka jelas, yang tidak prihatin dengan perempuan tertindas bukanlah anggota Gereja Katolik sejati betapapun ia seorang pengunjung setia rumah sembahyang setiap hari.
Selamat Pesta Paskah, semoga kaum perempuan tidak lagi menangis karena “tuannya” telah dicuri orang, . . ..ya seperti itulah!
Agus Alfons Duka, SVD
Sekretaris Eksekutif Komisi Komsos KWI
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.