Ruteng, NTT – Indonesia merupakan salah satu negara pengeskpor tenaga kerja terbesar di dunia. Banyak masyarakat karena alasan kemiskinan bekerja di luar negeri seperti Malaysia, Arab Saudi, Singapura atau negara-negara lain untuk mengadu nasib. Diantara mereka ada yang sukses dan bisa mengubah nasib, tetapi tidak sedikit juga yang gagal dan harus menangung banyak derita.
Para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang gagal kebanyakan terjerumus menjadi korban dalam perdagangan manusia (human trafficking). Mereka bekerja tanpa kontrak kerja, tidak digaji, disekap, disiksa, dan tak jarang menjadi korban kekerasan. Tidak hanya sampai di situ, banyak Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang kembali ke Indonesia dalam keadaan hamil dan juga punya anak tanpa suami yang sah.
Sehubungan dengan itu, Komisi Keadilan, Perdamain dan Pastoral Migran (KKPPM) ingin terlibat khususnya dalam tata cara pencegahan, sehingga banyak bisa jiwa diselamatkan dari praktik human trafficking, kata R.D. Paulus Siswantoko, sekretaris KKPPM, dalam sambutan pada acara pembukaan Worksop paralegal terkait human trafficking, di Efata Ruteng, Senin (17/3)
“Banyak sekali kasus human trafficking saat ini dan itu menjadi keprihatian kita semua. Nusa Tenggara Timur termasuk salah satu daerah yang cukup banyak mengalami kasus perdagangan manusia. Untuk itu pelatihan paralegal menjadi keharusan bagi kita,” lanjutnya.
Paralegal adalah seseorang yang berperan menjadi jembatan bagi masyarakat pencari keadilan dengan advokat dan aparat penegak hukum lainnya untuk menyelesaikan masalah hukum yang dialami individu maupun kelompok masyarakat.
Workshop ini diikuti oleh sejumlah utusan dari berbagai Paroki dalam wilayah Keuskupan Ruteng, Flores, 17 sampai 19 Maret.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.